Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bank Indonesia Rilis Aturan Utang Luar Negeri Korporasi Swasta

Bank Indonesia akhirnya merilis aturan rasio pengelolaan utang luar negeri (ULN) korporasi swasta nonbank untuk mengamankan posisi ULN negara dengan 'efek samping' pertumbuhan ekonomi yang kian terkontraksi.

Bisnis.com, JAKARTA--Bank Indonesia akhirnya merilis aturan rasio pengelolaan utang luar negeri (ULN) korporasi swasta nonbank untuk mengamankan posisi ULN negara dengan 'efek samping' pertumbuhan ekonomi yang kian terkontraksi.

Aturan itu termaktub dalam Peraturan BI tentang Penerapan Prinsip Kehati-Hatian Dalam Pengelolaan ULN Korporasi Nonbank yang dirilis, Kamis (30/10/2014). Beleid tersebut mengatur tentang kewajiban rasio lindung nilai (hedging) dan rasio likuiditas.

Rasio hedging menentukan persentase keharusan korporasi melakukan hedging dari total nilai utang valasnya. Adapun, rasio likuiditas mengukur ketersediaan aset valas untuk memenuhi kewajiban valas dalam kurun waktu 3 bulan ke depan.

Penerapannya dibagi dalam 2 tahap, yakni per 1 Januari 2015 dan tahap kedua per 1 Januari 2016. Perusahaan diwajibkan untuk melaporkan posisi keuangannya pada BI per triwulan dan membuat laporan akhir tahun secara komprehensif. 

Kepala Ekonom PT Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih mengatakan aturan itu sangat positif jika dilihat dari sisi manajemen risiko. "Selama ini kan belum ada yang mengontrol risiko ULN, tapi keterbatasan itu bisa menyebakan pertumbuhan ekonomi melambat," katanya.

Dia menuturkan selama ini korporasi swasta memilih berutang di luar negeri karena seretnya likuiditas dalam negeri akibat kebijakan uang ketat yang diterapkan BI sejak medio tahun lalu. Alhasil pinjaman dari bank dalam negeri pun lebih sulit didapat dan lebih mahal.

Jika kondisi tersebut masih berlangsung sedangkan BI membatasi gerak korporasi untuk memperoleh pinjaman murah dari ULN, dengan sendirinya performa ekspansi dan produksi usaha akan berkontraksi.

Ujungnya, investasi melambat dan turut menekan pertumbuhan ekonomi nasional. Berdasarkan catatannya, Lana menuturkan investasi sektor swasta paling tidak menyumbang 30% terhadap total produk domestik bruto (PDB).

Padahal data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan investasi sudah menurun tajam. Hal itu terefleksikan dari pertumbuhan pembentukan modal tetap bruto yang tergerus dari level 6,4% pada kuartal I/2012 menjadi hanya 4,5% di kuartal II/2014.

Gubernur BI Agus Martowardojo pun mengakui aturan ini punya konsekuensi membuat pertumbuhan melambat. "Jangan mengejar hanya bottomline karena kita punya risiko foreign exchange. Kita instruksikan untuk memperbaiki manajemen risiko kalau enggak akan menyesal," katanya pada jajaran atas korporasi swasta BUMN.

Hasnul Suhaimi, Direktur Utama PT XL Axiata Tbk. menyambut baik aturan ini. Namun, dia mengatakan akan mengkaji lebih lanjut soal imbauan untuk mengerem pertumbuhan. "Kalau saat ini kita melihat dari sisi hedging-nya dulu dan proporsi valasnya. Itu dulu nanti ke depan kita lihat lagi," ungkapnya.

Pelaksana Tugas (Plt) Dirut PT Pertamina (Persero) Muhammad Husein pun menegaskan perusahaan pelat merah ini sebenarnya membutuhkan aturan tersebut. Aturan hedging bagi BUMN sudah dibicarakan dengan kementerian dan lembaga terkait pada tengah Oktober.

Data dari BI menunjukkan tren pertumbuhan ULN swasta yang menyalip ULN pemerintah. Per Agustus 2014 ULN swasta mendominasi hingga 53,8% dari total ULN dengan nilai nominal US$156,2 miliar. Terlebih peningkatan ini dibarengi dengan tingkat debt to service ratio (DSR) yang ikut melambung.

DSR adalah rasio yang mengukur kemampuan untuk melunasi utang, semakin tinggi angkanya menunjukkan risiko gagal bayar atau default yang meningkat. Selama kuartal II/2014 DSR Indonesia tercatat pada level 45,5%.

Utang swasta menyumbang 41,3% sedangkan DSR pemerintah hanya 4,3%. Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan angka itu sudah melampaui best practice DSR yang aman pada kisaran 30%. Kondisi tersebut diperparah dengan prospek pengetatan likuiditas global akibat normalisasi kebijakan moneter Bank Sentral AS Federal Reserve (the Fed) tahun depan.

"Kita tidak membatasi tapi kita ingin agar risikonya bisa dimitigasi. Kami mohon kekompakkan karena 2015 adalah tahun yang cukup waspada," ungkap Agus.

Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Juda Agung mengatakan dalam jangka panjang aturan ini ditujukan untuk menurunkan DSR hingga level aman dalam 3-4 tahun ke depan. Selain itu beleid tersebut bisa memperdalam pasar keuangan dalam negeri sekaligus menstabilkan nilai tukar rupiah.

Pasalnya kebutuhan valas yang mendadak dalam jumlah besar untuk membayar utang bisa diminimalisasi. Adapun bagi yang melanggar aturan ini BI akan mengirimkan surat teguran pada yang korporasi dan lembaga terkait, yaitu kreditur korporasi di luar negeri, Menteri BUMN (untuk perusahaan BUMN), Bursa Efek Indonesia (untuk emiten), Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, dan Otoritas Jasa Keuangan.

"Ini akan berpengaruh pada reputasi perusahaan dan bisa mempengaruhi kepercayaan," kata Juda.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Nurbaiti
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper