Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rupiah Melemah, Industri Hindari Kontrak Impor Jangka Panjang

Industri yang mengandalkan bahan baku impor dan pasar domestik bakal jadi korban utama depresiasi rupiah yang berkelanjutan. Untuk menyiasatinya pebisnis lebih memilih kontrak impor bahan baku jangka pendek.
Bongkar buat barang impor di pelabuhan/Bisnis
Bongkar buat barang impor di pelabuhan/Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA--Industri yang mengandalkan bahan baku impor dan pasar domestik bakal jadi korban utama depresiasi rupiah yang berkelanjutan. Untuk menyiasatinya pebisnis lebih memilih kontrak impor bahan baku jangka pendek.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Franky Sibarani berpendapat pelaku industri cenderung akan menhindari kontrak impor bahan baku jangka panjang. "Tidak lebih dari tiga bulan," katanya saat dihubungi Bisnis, Selasa (23/9/2014).

Cara tersebut ditempuh untuk menyiasati fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS agar pukulan terhadap biaya produksi tak sampai melumpuhkan. Alternatif lain yang bisa dilakukan pelaku bisnis ialah mengurangi volume produksi.

Jika bisnis yang digeluti pengusaha harus mendatangkan bahan baku impor tetapi penjualan merambah ekspor, mungkin penjualan tidak terlalu tertekan. Lain halnya bagi pebisnis yang lebih dari 50% kebutuhan bahan baku diimpor sedangkan penjualan hanya terpusat di dalam negeri.

Lazimnya pelaku industri hanya memilih satu dari dua opsi, kontrak impor bahan baku bersifat jangka pendek atau pengurangan kuantitas produksi. Tapi perubahan skema kontrak pembelian bahan baku perlu disertai penaikan harga jual.

Franky menilai opsi tersebut pada umumnya dipilih oleh industri makanan dan minuman. Pasalnya sektor ini mengalami tren pertumbuhan penjulan menjelang akhir tahun.

"Mendekati Desember, mamin cenderung meningkat 5% samoai 10%. Tapi menaikkan harga jual pun tak mudah karena daya beli masyarakat belum membaik," ujar Franky.

Kendati pamor rupiah semakin lemah hingga sempat menyentuh Rp12.000 per dolar AS, Apindo menilai kondisi ini takkan berlangsung hingga pertengahan tahun depan. Pasalnya perekonomian dan iklim investasi domestik diyakini menguat sejalan dengan sentimen positif dunia usaha terhadap pemerintahan Jokowi-JK.

Pilpres membuat pelaku industri menahan diri untuk memantau arah kebijakan yang dibawa presiden baru. Kini dunia usaha menantikan jajaran kabinet yang akan dibentuk dan bagaimana sikap mereka terhadap subsidi bahan bakar minyak (BBM).

"Penaikan harga BBM bersubsidi akan memperbaiki cash flow neraca perdagangan. Ada tekanan dari luar (ekonomi global) tapi kalai sentimen di dalam negeri positif maka investasi tetap lebih pasti," kata Franky.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Aromatik, Olefin, dan Plastik Indonesia (INAplast) Fajar Budiyono  memproyeksikan biaya produksi industri plastik perantara akan terdongkrak seiring kurs rupiah yang semakin melemah. "[Harga sumber petrokimia impor naik] biaya produksi jadi naik sekitar 5% sampai 10%," katanya saat dihubungi Bisnis.

Lonjakan biaya produksi tidak hanya terpengaruh depresiasi rupiah melainkan pula kenaikan harga minyak mentah. Pada saat yang sama pemenuhan bahan baku dari dalam negeri minim sehingga harus mengandalkan impor.

Indonesia masih kekurangan pasokan petrokimia. Secara keseluruhan impor petrokimia sekitar 55% dari kebutuhan di dalam negeri.

Pada tahun lalu impor seluruh kelompok petrokimia nasional mencapai US$16 miliar dengan ekspor US$6 miliar. Artinya terdapat defisit hingga US$10 miliar
"Kondisi ini akhirnya akan menaikan harga plastik dan ini akan berlanjut sampai akhir tahun," kata Fajar.

Sejauh ini pertumbuhan industri petrokimia di dalam negeri terbilang minim hanya 6,5% per tahun. Sektor ini tergolong kuat manakala setiap tahun mampu tumbuh 3% di atas pertumbuhan ekonomi.

Sepanjang tahun lalu ekonomi nasional merangkak sejauh 5,7% tetapi industri petrokimia cuma tumbuh 6,5%. Sektor ini sempat mendulang pertumbuhan hingga
12% pada masa lampau.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Dini Hariyanti
Editor : Ismail Fahmi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper