Amankah Bisnis Digital di Indonesia?

Wike Dita Herlinda
Minggu, 26 Februari 2017 | 08:38 WIB
/Ilustrasi
/Ilustrasi
Bagikan

Saat ini, hampir semua negara di dunia tak bisa luput dari tuntutan untuk melakukan digitalisasi. Serbuan era digital melanda hampir seluruh aspek kehidupan, tak terkecuali dunia bisnis.

Sebagai salah satu negara dengan geliat bisnis yang banyak diincar oleh pemain skala global, Indonesia diharapkan mampu meningkatkan sistem keamanan siber (cyber security) guna mempercepat proses digitalisasi tersebut serta menciptakan iklim usaha yang nyaman.

Permasalahannya, selama ini masih belum banyak perusahaan di Indonesia yang menyadari peran krusial proteksi siber. Padahal, isu tersebut menjadi salah satu sorotan utama untuk mempercepat digitalisasi dalam organisasi.

Sebuah laporan bertajuk NTT 2016 Global Threat Intelligence Report dari Dimension Data mengungkapkan saat ini serangan di dunia siber semakin gencar ditujukan kepada dunia bisnis, termasuk ritel dan manufaktur yang menjadi tulang punggung Indonesia.

Berdasarkan riset tersebut, sepanjang tahun lalu serangan siber paling banyak terjadi pada sektor bisnis keuangan (16%), manufaktur (15%), layanan bisnis (14%), kesehatan (11%), ritel (10%), dan lainnya (34%).

“Tren yang terjadi sejak tahun lalu itu akan berlanjut pada 2017. Oleh karena itu, berbagai pelaku industri sedang memperkuat sistem keamanan siber mereka guna memantapkan diri sebagai pelaku bisnis digital,” tutur CEO Dimension Data Indonesia Hendra Lesmana.

Dalam laporan yang dilansir awal Februari itu, terungkap fakta bahwa ritel adalah sektor bisnis dengan pertumbuhan serangan siber tercepat saat ini. Serangan digital terhadap bisnis ritel di Indonesia bahkan lebih pesat ketimbang serangan siber terhadap sektor keuangan.

Dari kecenderungan tersebut, Hendra memprediksi pada tahun yang akan datang, pengawasan dan kepemilikan data serta metadata akan berpotensi menimbulkan konflik antarindustri di Indonesia.

“Hal ini terjadi karena data dan metadata adalah hal yang sangat penting. Dengan keduanya, Anda bisa menganalisis perilaku pelanggan. Tidak hanya itu, dengan mengidentifikasi metadata, Anda bisa membuat intelijen bisnis untuk pengambilan keputusan.”

Dengan meneliti berbagai gejala dan fenomena di dunia bisnis digital Indonesia sepanjang 2016, Hendra memproyeksikan setidaknya lima tren yang akan terjadi pada industri digital Tanah Air tahun ini.

Pertama, tahun ini keamanan siber akan menjadi isu penting. Sebab, faktor tersebut akan semakin menentukan apakah sebuah perusahaan memiliki tingkat keamanan yang baik atau tidak. Jika keamanan siber telah terjamin, proses sharing data akan menjadi semakin cepat.

Kedua, tahun ini akan semakin banyak perusahaan yang menggunakan sensor sebagai predictive intelligence, sehingga dapat memantau data dan metadata mereka.

“Data tersebut nantinya akan dapat memprediksi tren di masa yang akan datang. Namun, hal ini bukan merupakan hal yang gampang, karena menurut Forbes, pada 2020 akan ada sekitar 80 juta perangkat yang saling terkoneksi,” papar Hendra.

Ketiga, identitas akan menjadi sangat penting. Sebab, pengguna merupakan bagian terlemah yang ada pada rantai keamanan digital.

Keempat, tren penggunaan artificial intelligence (AI) sebagai motor penggerak keamanan siber akan semakin gencar digunakan untuk mengidentifi kasi ancaman dalam dunia siber. Sebab, kejahatan siber telah diakui sebagai isu besar di dunia bisnis kekinian.

Kelima, sistem keamanan siber tidak lagi sekadar proaktif, tetapi prediktif. Dalam lingkungan teknologi informasi hibrida, teknologi akan semakin mudah dikendalikan dan diawasi.

Amankah Bisnis Digital di Indonesia?

TINGKATKAN PENGAWASAN

Kebutuhan untuk meningkatkan pengawasan keamanan siber di dunia bisnis dijawab oleh perusahaan-perusahaan teknologi informasi (TI) internasional. Misalnya saja Microsoft, yang menawarkan program Enterprise Mobility + Security (EMS) untuk pasar Indonesia.

“Menyadari transformasi digital yang dilakukan oleh berbagai industri di Indonesia, kami menawarkan perlindungan EMS. Ini adalah solusi keamanan berbasis identitas yang membawa pendekatan menyeluruh dan menjawab tantangan keamanan era mobile fi rst, cloud fi rst saat ini,” jelas EMS Product Marketing Manager Microsoft Indonesia Pravina Halim, dalam siaran persnya belum lama ini.

Security Chief Information Officer PT Visionet Data Internasional Kirby Chong menambahkan, EMS adalah sistem keamanan tingkat lanjut yang bisa mengidentifi kasi aksi serangan siber secara mobile sebelum sempat membawa kerusakan bagi perusahaan.

“Sistem keamanan merupakan kunci penting dalam mendukung transformasi digital dan gaya kerja mobile saat ini. Pada 2014, 70% dari 10 perangkat yang paling umum digunakan memiliki kerentanan serius dalam hal pelanggaran data,” ungkapnya.

Dia menjabarkan masalah itu diperburuk dengan melesatnya kasus cybercrime di Indonesia setiap tahunnya.

Berdasarkan data Security Incident Response Team on Infrastructure Indonesia (ID-SIRTII), kasus kejahatan siber pada 2015 meroket 389% dari tahun sebelumnya.

Data yang sama mengungkapkan industri perbankan adalah lini industri yang paling rentan terhadap serangan kejahatan siber. Sebab, kata Kirby, industri perbankan RI tengah pengoptimalkan layanan digital mereka untuk mendorong pertumbuhan ekonomi digital.

“Industri perbankan berperan penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi digital Indonesia. Sayangnya, bahkan saat perusahaan telah berinvestasi besar pada keamanan TI, masih saja sering terganggu oleh cybercrime.”

Lebih lanjut, dia mengungkapkan kasus cybercrime dunia bisnis di Indonesia sudah merambah ke tahap nyata dimana pelaku berusaha mencuri uang, menghilangkan jejak, dan masuk ke hal-hal lain yang tidak diperkirakan.

Termasuk melakukan mata-mata, manipulasi, eksploitasi informasi, dan memblokir akses sistem organisasi.

Perusahaan lain yang turut terjun ke bisnis keamanan siber bagi perusahaan adalah PT Virtus Technology Indonesia. Mereka berpendapat Indonesia adalah negara target serangan siber favorit dunia.

Sekitar 89 juta serangan terjadi selama dua bulan pertama 2017. Dari serangan itu, sebanyak 46,2 juta di antaranya adalah serangan malware.

Sementara itu, tercatat sejumlah 6.000 situs di Indonesia berhasil dibobol peretas dan hampir 16.000 celah keamanan siber ditemukan pada sistem website di Tanah Air.

Menurut Direktur Virtus Christian Atmadjaja, akibat tren serangan siber itu, rata-rata perusahaan skala besar di Indonesia harus membayar kompensasi senilai US$551.000/ kasus dan untuk perusahaan skala UKM senilai US$38.000/kasus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Sumber : Bisnis Indonesia (25/02/2017)
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper