Kepala BPPT Unggul Priyanto: Inovasi Adalah Kelemahan Kita

Fitri Sartina Dewi/Thomas Mola
Senin, 4 Juni 2018 | 12:21 WIB
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Di tengah upaya pemerintah menguatkan sektor industri manufaktur, kehadiran dan peran Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi menjadi sorotan. Untuk menggali berbagai kontribusi inovasi yang dihadirkan BPPT guna mendorong industri dalam negeri, Bisnis mewawancarai Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Unggul Priyanto. Berikut kutipannya:n

Bagaimana peranan BPPT saat ini dan apa tugas pokoknya?

Saya melihat tugas pokok BPPT adalah yang tertuang dalam Perpres BPPT, yaitu melakukan pengkajian dan penerapan teknologi. Kalau hanya dari tugas pokok itu kurang berbunyi maka harus ada visi dan misi.

Saya berpikir harus ada target. Targetnya apa? Saya sampai pada kesimpulan BPPT ini bukan seperti LIPI. BPPT harus bermain di hilir yakni mendukung industri dalam bentuk inovasi.

Kalau orang mengatakan industri bisa tumbuh karena riset, itu sebenarnya kurang. Riset hanya salah satu alat untuk menghasilkan invoasi. Dari riset menuju ke inovasi itu jalannya panjang sekali, dan tidak semua riset itu bisa menjadi inovasi.

Kita suka dengan meneliti, tapi hasilnya ditumpuk penuh di lemari, tidak menghasilkan apa-apa. Saya ingin BPPT tidak seperti itu. Saya ingin ujung tombaknya inovasi.

Visi dan misinya saya ubah untuk menghasilkan inovasi dan layanan teknologi karena kami memiliki banyak balai kerja. Balai itu untuk memberikan layanan teknologi kepada masyarakat, pemerintah, dan stakeholder lainnya.

Apakah sudah ada hasilnya dengan perubahan visi dan misi tersebut?

Setelah dilantik, saya cek banyak sekali yang dihasilkan BPPT tetapi semua hanya dalam bentuk riset dan prototipe, hampir tidak ada yang masuk ke industri. Saya minta keluarkan semua prototipe itu. Saya minta harus ada kerja sama dengan industri, dan target saya semua harus menjadi inovasi.

Itu kemudian dimulai, dan sekarang ini ada ADS-B, ada di pangan, LRT. Itu salah satu fungsi BPPT. Pertama, saya genjot inovasi dan kemudian kami makin dipercaya, mulai dapat tugas buat studi kelayakan kereta api Jakarta—Surabaya.

Pada tahun lalu saya minta visinya diubah. Misinya bukan hanya inovasi dan layanan, melainkan juga ada audit teknologi, clearing house dan rekomendasi kebijakan nasional terkait dengan teknologi.

Apakah clearing house sendiri berjalan?

Semua itu saya serahkan kepada pimpinan di BPPT. Saya hanya memberikan arahan. Alasan saya memperkenalkan clearing house karena ini penting sebagai acuan bagi pemerintah.

Misalnya, dengan INKA, BPPT memberikan fungsi clearing house melalui Pak Luhut , bahwa kalau hanya bikin rolling stock, gerbong kereta api, kita sudah bisa kenapa harus ditender dan memberikan kue itu ke China, Spanyol? INKA ternyata memang bisa, dan harganya murah, kualitas juga tidak kalah dengan yang lain.

Artinya, Anda setuju tak perlu memberikan order itu ke luar negeri?

Kalau saya, bahkan lebih mahal 10% pun seharusnya diambil karena buatan dalam negeri karena di situ ada peran BPPT. Kita ingat zaman Pak SBY orang berteriak mobil listrik. Sekarang? Enggak bunyi. Sekarang teriak lagi mobil listrik tapi saya enggak tahu bunyi atau tidak.

Mengapa untuk soal mobil listrik ini selalu timbul tenggelam?

Karena keputusan itu tidak didasarkan pada rekomendasi dari lembaga yang berperan pada bidang itu. Semestinya BPPT dilibatkan. Kami tidak akan sembarang kasih tahu. Pada zaman Pak Habibie begitu, tapi sekarang kementerian sendiri-sendiri.

Artinya koordinasi antara kementerian dan lembaga masih kurang?

Dari dulu, bukan sekarang. Saat ini paling tidak Pak Luhut sering bertanya, bagaimana? Kami tidak tahu kementerian lain. Kami ada Kongres Teknologi Nasional, maksudnya sebagai sarana untuk memberikan masukan.

Adakah gambaran mengenai lemahnya koordinasi ini?

Contohnya, industri perkapalan. Indonesia katanya negara maritim, tapi industri perkapalan share-nya di internasional itu hanya nol koma sekian. Ini jauh di bawah Vietnam 2%, Filipina 3%. Jangan tanya lagi China, Jepang, dan Eropa.

Share China sekitar 30%—40% untuk industri kapal. Pertanyaannya kenapa? Karena pengguna dalam negeri lebih suka order ke luar negeri. Alasannya macam-macam mulai dari dalam negeri kekurangan modal, kalah tender, tidak bisa kasih bank garansi, masalah finance, delivery, dan enggak siap.

Bagaimana lantas jalan keluarnya?

Untuk itu, kami kasih rekomendasi sebaiknya instansi yang membutuhkan kapal seperti KKP atau lainnya sudah membuka rencananya 5 tahun ke depan butuh berapa kapal, tipe apa saja, dan kapasitas berapa. BPPT siap buka dan perlu disiapkan standar.

Ini jeleknya, di Indonesia, orang mau bikin kapal itu, dia desain dulu, desain harus di-approve, disertifikasi, jelas lama.

Kalau di luar negeri, mereka sudah punya kapal kapasitas berapa, tinggal dikasih lengkap dengan sertifikat. Oleh karena itu, BPPT siap membantu dalam hal desain . BPPT itu sebenarnya di situ tugasnya.

Mengapa hal yang seharusnya menjadi peluang Indonesia justru tidak terjadi?

Terus terang ini perlu suatu kepemimpinan. Kita tengah berupaya menghinari middle income trap. Enggak bakalan tembus kalau kita masih jualan barang mentah dan impor barang jadi.

Pemerintah membangun infrastruktur bagus tapi fungsinya hanya memperlancar arus barang. Namun, komponen ekspor dikurangi impor kalau masih defisit atau plus sedikit saja, jangan harap akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional.

Makanya, saya katakan bahwa salah satu kelemahan Indonesia ialah inovasi. Ini tidak cukup hanya dengan riset karena teknologi zaman beheula, sampai sekarang banyak yang belum ada.

Contohnya, turbin listrik kita enggak punya. Jadi, kita mau membangun 35.000 MW semua turbinnya beli dari luar entah dari China, Jepang, Eropa, boiler pun juga tidak semua. Ironisnya, 35.000 MW beserta transmisi itu bisa mencapai Rp1.000 triliun dalam 5 tahun. Kalau TKDN hanya 30%, artinya 70% impor atau Rp700 triliun, padahal di satu sisi ingin mandiri sebagai bangsa.

Bagaimana mengejar teknologi zaman kuno yang kita sendiri masih lemah?

Untuk teknologi zaman dulu, tidak perlu diriset, sudah ada semua. Contohnya China untuk turbin, mereka beli lisensi, diproduksi, disertifikasi, dibuat prototipe, lolos kemudian produksi. Begitu saja kerjaanya.

Jadi, kalau kita mau maju ya industri dan inovasi itu satu mata uang dengan dua sisi yang berbeda. Kalau industrinya maju, inovasi digunakan, kalau inovasi maju, industri ikut maju. Kalau industri enggak ada, apa yang mau diinovasi? Kira-kira begitu permasalahnnya.

Dengan banyak peluang yang bisa digarap, apa yang menjadi fokus BPPT?

Saya coba melakukan revolusi, misalnya semua kegiatan penelitian di BPPT targetnya harus inovasi. Bahwa dalam perjalanannya baru menghasilkan jurnal itu oke, itu bonus, tapi kalau tidak pun tidak masalah. Hasilkan jurnal tapi tidak hasilkan inovasi, saya bilang gagal.

Oleh karena itu, semua kegiatan di sini baru saya kasih biaya kalau dia punya partner industri mau bikin apa. Kalau sejak awal kita tidak bicara bareng dengan industri bisa ngelatur nanti, enggak jelas.

Tentu saja bidang-bidangnya sesuai dengan arahan yakni enam bidang prioritas; energi, pangan, material maju, ICT, teknologi jankam, dan teknologi kesehatan. Itu intinya, tapi kami tambahkan juga kebencanaan untuk layanan. Kemudian, ada lagi maritim, karena ini menjadi perhatian khusus presiden.

Apakah Anda melihat perlu adanya penyederhanaan urusan administrasi?

Memang tidak gampang negara seperti Indonesia mau inovasi. Orang gampang saja bilang inovasi. Inovasi dikira gampang? Dari hasil riset, menjadi prototipe, prototipe menjadi desain, desain kemudian mau menjadi produk itu enggak gampang.

Bangun pabrik harus izin pemda, Kemenperin, produk harus disertifikasi kementerian terkait, nanti kalau sudah dijual, kita diatur sama barang impor.

Ini masalah koordinasi. Harus ada kemauan kuat dari atas bahwa ini dibantu, dipermudah. Oleh karena itu, saya sempat usulkan ada kemudahan bagi inovasi misalnya pajak dapat tax holiday, kalau perlu juga dibantu urusan administrasi.

Kalau terjadi kegagalan teknologi, jangan langsung penelitinya dihukum, dijadikan tersangka, kriminal. Banyak kasus-kasus begitu karena kita ini niatnya bukan niat baik.

Bagaimana agar komunikasi dengan kementerian bisa lebih baik?

Saya berusaha terus. Saya termasuk pejabat yang paling sering audiensi ke menteri-menteri, supaya kami bisa bekerja sama lebih baik. Paling intens dengan Menkomaritim, Pak Luhut, karena beliau suka dengan teknologi.

Terkait dengan mobil listrik, apakah mereka tidak meminta masukan BPPT?

Satu hal tentang ini, saya cuma katakan apakah kereta api di Indoensia sudah pakai listrik semua? Banyak yang belum, hanya di Jabodetabek. Itu yang teknologinya sudah terbukti, dan secara komersial juga sudah. Menurut saya kerja itu dulu.

Mobil listrik di luar negeri pun juga belum komersial benar. Memang sudah banyak peminatnya, tapi yang beli itu orang kaya semua, orang pencinta lingkungan dan berduit. Kita semestinya berorientasi ke transportasi publik dulu. Kereta api diberesin dulu, pakai listrik semua kalau perlu.

Selama kepemimpinan Anda, adakah proyek yang paling menantang?

Sebenarnya yang susah adalah inovasi. Kami tidak melakukan riset dasar, kemudian layanan teknologi seperti kelayakan kereta api Jakarta—Surabaya. Sudah kelar prastudi, sekarang studi kelayakan, desain belum. Setelah ada pemenangnya baru melakukan DED .

Yang susah seperti itu, karena ada muatan politik, ekonomi, sehingga kami yang maunya idealis terpaksa harus menelan ludah begitu. Namun, kami sadar semua tidak bisa lepas dari itu.

Apa yang BPPT harapkan dari para pelaku industri dan stakeholder?

Harus ada regulator yang membantu. Regulator itu kementerian-kementerian yang punya kemampuan membikin regulasi. BPPT bukan regulator. BPPT lebih operasional, membantu, memberikan rekomendasi, advice.

BPPT siap mem-back up kementerian, kementerian membuat regulasi bagaimana barang dalam negeri ini laku di dalam negeri dan mampu bersaing. Harus ada keberpihakan itu dulu.

Kemudian barulah lembaga pemerintah yang berkepentingan yang membeli, ditekan untuk menggunakan produk dalam negeri, baru bisa jalan.

Salah satu kendala kita adalah terbelenggu dengan pengadaan barang yang murah karena kalau lebih mahal dibilang korupsi, dan masalah ketakutan korupsi lebih besar. Susah tapi faktanya memang ada. Itu harus diatasi dengan aturan yang ketat.

BIODATA

Nama: Unggul Priyanto

Tempat tanggal lahir: Malang, 30 September 1958

Riwayat Pendidikan:

- S3 Electronic & Material Kyushu University (2001)

- S2 Chemical Engineering University of Leeds (1991)

- S1 Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (1985)

Riwayat Karier:

- Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (2014—Sekarang)

- Deputi Bidang Teknologi Informasi, Energi, dan Material BPPT (2010—2014)

- Kuasa Pengguna Anggaran BPPT (2009)

- Direktur pusat Teknologi Sumber Daya Energi (2006—2010)

*) Artikel di rubrik Policy Talk koran cetak Bisnis Indonesia edisi Senin 4 Juni 2018.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper