Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekspor TPT Indonesia Diadang Kompetisi dengan Ethiopia

Para pelaku industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia dihadapkan pada tantangan ekspor baru yang cukup pelik, yakni kemunculan Ethiopia sebagai ‘kuda hitam’ di sektor tersebut.
Pekerja meyelesaikan pembuatan pakaian di pabrik garmen PT Citra Abadi Sejati, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (8/9/2018)./JIBI-Nurul Hidayat
Pekerja meyelesaikan pembuatan pakaian di pabrik garmen PT Citra Abadi Sejati, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (8/9/2018)./JIBI-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA — Para pelaku industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia dihadapkan pada tantangan ekspor baru yang cukup pelik, yakni kemunculan Ethiopia sebagai ‘kuda hitam’ di sektor tersebut.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan, Indonesia harus mewaspadai kehadiran Ethiopia sebagai pemain raksasa baru di sektor tekstil.

Pasalnya, dia melihat negara tersebut mulai masuk ke dalam jajaran produsen kompetitor produk TPT Indonesia, selain Vietnam dan Bangladesh.

“Ethiopia ini on the track sebagai negara industri baru, terutama di sektor tekstil. Mereka sangat ekspansif dalam dua tahun terakhir dan mulai menjadi pesaing bagi kita selain Vietnam,” katanya kepada Bisnis, Selasa (16/8/2018).

Ade menyebutkan, situasi tersebut terjadi lantaran negara asal Benua Afrika itu telah menerapkan insentif yang sangat produktif bagi industri tekstil.

Menurutnya, Ethiopia mencontoh skema industri di Vietnam dan China dalam menciptakan infrastruktur penunjang industri TPT. Salah satunya adalah dengan memberikan tarif pajak yang murah kepada investor tekstil.

“Seluruh kebijakan, mulai pembebasan lahan pabrik, tax holiday, hingga tax allowance [di Ethiopia] mencontoh China. Tak heran jika investor China sangat tertarik masuk ke negara itu. Maka akhirnya dalam beberapa tahun terakhir, mereka bisa mencapai fase high-level rapid production,” katanya.

Di sisi lain, dia menyebutkan, Ethiopia sangat aktif menjalin kerja sama dagang dengan negara-negara tujuan ekspor tekstil utama seperti Amerika Serikat (AS) maupun Uni Eropa (UE).

Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta W. Kamdani membenarkan bahwa Indonesia harus mewaspadai Ethiopia. Pasalnya, infrastruktur pendukung sektor tekstil di negara tersebut telah berkembang pesat.

“Mereka punya pusat logistik berikat [PLB] khusus untuk tekstil.  Akses logistik untuk sektor tekstil ke negara-negara Barat, terutama Eropa lebih dekat dibandingkan dengan Indonesia. Maka, kita harus meningkatkan daya saing produk kita, karena lawannya kini tidak hanya Vietnam dan Bangladesh,” ujarnya.

Dia berharap, dengan adanya pakta kerja sama ekonomi Indonesia-EFTA Comprehensive Economic Patnership Aggreement (IE CEPA) dan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Patnership Aggreement (IEU CEPA), para eksportir TPT merah putih dapat menunjukkan daya saingnya di negara tersebut.

Seperti dikutip dari Bloomberg, Ethiopia berhasil  meraup pendapatan hingga US$25,3 juta dari ekspor tekstilnya pada Juli—Agustus 2018.

Perolehan tersebut tumbuh 8% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu atau secara year on year (yoy).

Saat ini, jumlah pabrik tekstil di negara tersebut telah mencapai 11 unit dan berpeluang bertambah setelah adanya kunjungan kerja asosiasi pengusaha China pada September tahun ini. 

Selain itu, berdasarkan data Pemerintah Ethiopia, industri tekstil dan pakaian jadi  di negara tersebut tumbuh 51% per tahun selama tiga tahun terakhir

Menanggapi kemunculan Ethiopia sebagai ‘momok’ baru bagi industri TPT Indonesia, Sekretaris Perusahaan PT Pan Brothers Tbk. Iswar Deni mengklaim, produk tekstil Ethiopia belum dapat menyaingi produk-produk asal Indonesia.

Menurutnya, mayoritas segmen pasar tekstil yang disasar Ethiopia saat ini masih pada posisi menengah ke bawah.

“Segmentase produk tekstil Indonesia, terutama yang kami produksi, masih berbeda dengan Ethiopia. Untuk itu, negara tersebut saat ini masih belum menjadi kekhawatiran utama kami,” jelasnya.

KOREKSI EKSPOR

Pada perkembangan lain, Ade Sudrajat menyebutkan, terkoreksinya ekspor TPT dan alas kaki pada September 2018 secara month to month (mtm) lebih disebabkan oleh anomali cuaca yang terjadi di beberapa negara tujuan utama ekspor, seperti AS.

Dia mengatakan, proses transisi dari musim semi menuju musim dingin di Negeri Paman Sam tertunda pada September.

Alhasil, permintaan produk tekstil pun ikut tertunda, sehingga ekspor TPT Indonesia yang seharusnya mulai naik pada September, justru terkoreksi.

“Penurunan ekspor seperti ini pasti terjadi dan lebih karena anomali musim di negara tujuan ekspor. Kami yakin, [industri TPT pada] Oktober akan mengalami pertumbuhan ekspor kembali, baik secara volume maupun nilai,” katanya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor pakaian jadi bukan rajutan terkoreksi hingga 75,4% secara mtm pada September.

Tercatat, pada bulan tersebut, ekspor komoditas manufaktur andalan RI itu berjumlah US$357,8 juta, turun dari Agustus yang bernilai US$$433,2 juta.

Adapun, ekspor produk alas kaki juga mengalami penurunan sebesar 58,1% secara mtm pada September. 

Pada Agustus, ekspor alas kaki mencapai US$424,6 juta, yang lalu turun pada bulan berikutnya menjadi sejumlah US$366,5 juta.

Ade optimistis, kendati terjadi koreksi ekspor pada bulan lalu, target ekspor tekstil RI pada tahun ini tidak akan terganggu.

Menurut data API, prognosa ekspor TPT pada 2018 pada awalnya ditaksir senilai US$13,07 miliar, terdiri atas ekspor serat US$0,64 miliar, benang US$2,48 miliar, kain lembaran US$1,20 miliar, pakaian jadi US$8,12 miliar, dan produk tekstil lainnya US$0,64 miliar.

Target tersebut didasari oleh sejumlah faktor yakni iklim usaha yang dinilai telah membaik, serta sejumlah infrastruktur pendukung industri yang telah dibangun oleh pemerintah.

Selain itu, penetrasi pasar ekspor TPT tahun ini akan lebih dikebut ke wilayah China dan Australia. Selama ini ekspor TPT ke China baru sekitar US$700 juta per tahun, dan ditargetkan dapat mencapai US$1 miliar pada tahun ini.

Target ekspor TPT pada 2019 dipatok sejumlah US$15 miliar, terdiri atas ekspor serat US$0,73 miliar, benang US$2,84 miliar, kain lembaran US$1,38 miliar, pakaian jadi US$9,32 miliar, dan produk tekstil lainnya US$0,73 miliar.

Sementara itu, United States Department of Agriculture (USDA) memperkirakan, kenaikan konsumsi kapas RI untuk kebutuhan TPT pada tahun depan mencapai 3,30 juta sebal. Adapun, realisasi konsumsi kapas untuk TPT tahun lalu adalah 3,25 juta ton, turun dari proyeksi awal sejumlah 3,45 juta ton.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper