Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

NEGOSIASI CEPA: Indonesia Agresif di Inisiasi, Melempem di Realisasi

Agresivitas Indonesia dalam membuka pakta kerja sama perdagangan dan ekonomi komprehensif untuk memacu ekspor belum dibarengi dengan sinergi yang kuat dari tubuh pemerintah untuk merealisasikannya sesuai tenggat.
Ratifikasi perjanjian perdagangan CEPA banyak yang tertunda.
Ratifikasi perjanjian perdagangan CEPA banyak yang tertunda.

Bisnis.com, JAKARTA — Agresivitas Indonesia dalam membuka pakta kerja sama perdagangan dan ekonomi komprehensif untuk memacu ekspor belum dibarengi dengan sinergi yang kuat dari tubuh pemerintah untuk merealisasikannya sesuai tenggat.

Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Karyanto Suprih mengakui, beberapa comprehensive economic partnership agreement (CEPA) meleset dari target yang ditentukan. Menurutnya, persoalan tersebut saat ini tengah menjadi fokus pemerintah.

Dia mengatakan, dari sisi dalam negeri, proses percepatan penyamaan persepsi antarkementerian dan lembaga (K/L) terkait terus diperkuat. Hal itu dilakukan untuk meminimalisasi hambatan yang muncul dari Indonesia sendiri.

“Kami [Kemendag] posisinya adalah negosiator dalam setiap perundingan. Dari dalam negeri, kendala ada pada percepatan penyamaan persepsi di K/L. Namun, kami sudah berupaya selesaikan itu. Contohnya, dengan mengajukan tujuh perjanjian dagang yang sudah diteken oleh presiden ratifikasinya,” ujarnya kepada Bisnis.com, pekan lalu.

Di tingkat perundingan internasional, lanjutnya, Indonesia tidak bisa memaksakan diri untuk mempercepat penyelesaian perundingan.

Pasalnya, seluruh negara anggota memiliki hak yang sama dalam proses negosiasi. Indonesia, lanjutnya, juga tidak bisa serta merta memaksakan kehendak kendati menjadi negara pemimpin proses perundingan, seperti di Regional Economic Comprehensive Patnership (RCEP).

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyebutkan, percepatan proses negosiasi untuk mencapai tahap konklusi terus diupayakannya. Langkah itu sangat penting untuk mendongkrak kinerja ekspor-impor dan pertumbuhan ekonomi Indonesia, di tengah era globalisasi.

“Beberapa pakta dagang dan kerja sama ekonomi kami targetkan mencapai konklusi pada tahun ini, atau paling lambat tahun depan. Itu sudah saya tekankan dalam setiap perundingan,” katanya kepada Bisnis, baru-baru ini.

Terkait dengan proses ratifikasi pakta kerja sama yang telah mencapai konklusi pada tahun ini, seperti Indonesia-Australia CEPA (IA CEPA) dan Indonesia-EFTA CEPA (IE CEPA), Enggar menargetkan dapat selesai dalam kurun satu tahun atau paling cepat satu semester sejak konklusi.

Namun demikian, keinginan besar pemerintah tersebut harus teredam, terutama pada proses ratifikasi IA-CEPA dan konklusi RCEP. Pasalnya, dalam pertemuan Asean Economic Minister (AEM) di Singapura pekan lalu, target penyelesaian negosiasi RCEP pada November 2018 harus tertunda menjadi tahun depan.

Sementara itu, proses ratifikasi IA-CEPA juga terancam molor lantaran meningkatnya friksi politik internasional antara Jakarta dan Canberra.

Alhasil, proses percepatan keikutsertaan Indonesia dalam sejumlah pakta CEPA harus tertunda. Praktis, dari 7 pakta kerja sama yang dijalin Indonesia, baru satu pakta yang telah berjalan yakni Indonesia-Chile CEPA. (Lihat grafis)

PENYELESAIAN HAMBATAN

Kepala Ekonom Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri berpendapat, persoalan hambatan penyelesaian CEPA sering kali terjadi dari sisi domestik. Indonesia dinilainya kerap gagal menunjukkan kapasitasnya baik sebagai inisiator maupun ketika ditunjuk sebagai chairman dalam beberapa pakta kerja sama.

“Ketika di tahap negosiasi, sering kali kita kekurangan bekal untuk mengarahkan negosiasi itu seperti apa hasilnya dan apa yang ingin kita tawarkan. Bekal kita lebih banyak, apa yang kita tidak inginkan dari kerja sama itu dibandingkan dengan apa yang kita mau tawarkan,” jelasnya.

Akibatnya, sebut Yose, proses konklusi sering kali meleset dari target yang ditentukan. Dia mencontohkan dalam pakta RCEP, yang pada awalnya memiliki misi liberalisasi berupa pembebasan bea masuk di hampir 92% pos tarif yang akan dikerjasamakan.

Namun, Indonesia masih keberatan dengan kesepakatan awal tersebut.  Alhasil, ujarnya, interupsi pun muncul dari negara-negara anggota lain dengan keinginannya masing-masing.

Sementara itu, ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah menilai, Indonesia tidak memiliki perencanaan baku ketika melakukan negosiasi dagang maupun ekonomi komprehensif.

Standing position kita harus jelas dari dalam negeri dahulu, dan itu didapatkan ketika kita sudah punya pedoman yang jelas, mau seperti apa Indonesia dibawa di perundingan internasional. Selama itu belum jelas, kita akan terombang-ambing di tengah kepentingan negara lain. Misi kerja sama pun hasilnya tidak maksimal,” katanya.

Dihubungi terpisah, Ketua Komite tetap Pengembangan Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Handito Juwono menjelaskan, tertundanya proses ratifikasi maupun konklusi berbagai CEPA yang dilakukan RI justru menjadi kesempatan untuk berbenah dari dalam negeri.

Bagaimanapun, dia mengapresiasi upaya pemerintah untuk membuka ruang yang luas bagi pengusaha Tanah Air untuk mengeksplorasi pasar internasional melalui CEPA maupun perjanjian dagang bebas (free trade agreement/FTA).

“Pengusaha sudah diajak untuk ikut merumuskan negosiasi RI di kerja sama internasional. Namun, apakah sudah ada hitungan, seberapa kuat kapasitas industri kita mengisi ceruk yang dibuka itu? Kami pikir tertundanya ratifikasi atau konklusi ini jadi peluang kita untuk evaluasi di dalam negeri,” katanya.

Ketua Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Benny Soetrisno menambahkan, percepatan penyelesaian pakta kerjasama baik CEPA maupun FTA harus dilakukan Indonesia. Pasalnya, langkah tersebut menjadi salah satu cara untuk memperkuat kinerja perdagangan dan ekonomi Indonesia.

“Tetap harus didorong percepatan penyelesaiannya. Sebab kita harus balapan dengan negara tetangga kita yang lain, yang sudah jauh lebih agresif dalam membuka pasar internasionalnya seperti Vietnam,” ujarnya.

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper