Pongki Pamungkas/Jibi
Relationship

Hakikat Kekuasaan

Bagikan

“Manakala kekuatan cinta mengalahkan nafsu kekuasaan, dunia akan mengenal indahnya kedamaian.” (Jimmy Hendrix)

Sesuai dengan pandangan umum, setiap pria, khususnya dianggap mendambakan 3 TA, yakni tahta, harta, wanita. Secara logika, 3 TA itu bersumber dari Tahta. Tahta adalah dambaan setiap pria. Apakah dalam realitanya semua pria demikian?

Sulit menyangkal adanya hasrat para pria terhadap 3 TA itu. Siapa yang tak tergiur untuk menjadi orang yang memiliki tahta atau kursi (jabatan) yang tinggi dan kekuasaan besar, harta berlimpah, dan dikelilingi oleh para wanita cantic nan molek?

Dengan kursi itu, secara lahiriah kehidupan memang menyenangkan. Ingin apa pun, bisa. Mau punya ini itu bisa. Mau mencicipi atau pun melahap segalanya gampang. Mau berdandan dalam dandanan paling mahal tidak masalah. Mau mondar mandir menggunakan pesawat pribadi, tak masalah. Padahal, jika kita tilik banyak segi soal kursi ini, tiada sedikit derita yang harus Anda korbankan.

Mulai dari saat memperolehnya. Coba kita lihat, dalam skala nasional perjuangan para petarung yang ikut pilkada. Mereka harus memiliki modal besar, harus bersantun ria dan berbasa basi dengan mamasang topeng seribu wajah. Mereka juga harus membungkuk kepada orang yang mempunyai kuasa lebih tinggi, serta harus berkeliling ke berbagai tempat. Belum lagi harus bertarung melawan petarung lain. Saling menghujat, kadang harus memfitnah. Bahkan, bisa jadi membunuh orang lain. Beraat ...

Demikian juga dalam skala yang lebih kecil, dalam organisasi atau manajemen di instansi ataupun perusahaan swasta. Sering tak terhindar aksi saling sikut, saling fitnah dan aksi office politicking yang tidak pantas. Padahal, sekadar untuk kursi ataupun posisi, bukan kekuasaan.

Kekuasaan (yang efektif) adalah kekuatan yang merupakan kombinasi antara kompetensi (keahlian, kepandaian, keterampilan ) dan karakter (watak yang positif yang selalu menjunjung tinggi etika kemanusiaan ). Dengan kekuasaan itu, kesemuanya diarahkan untuk membangun kemaslahatan segenap orang yang dipimpin pemegang kekuasaan itu.

Abraham Lincoln mengatakan, “hampir setiap orang tangguh menjalani penderitaan. Tapi kalau Anda ingin mengenal karakter seseorang, berikanlah ia kekuasaan.”

Kalimat itu terbukti dalam banyak kejadian, yang sering kita baca dalam keseharian kehidupan kita. Seorang yang sebelumnya dikenal baik-baik saja, hidup bersahaja, begitu terpilih menjadi bupati, terlihatlah watak aslinya. Dia penuh dengan nafsu duniawi yang tak terkendali. Dia nekad mengambil risiko tertangkap sebagai koruptor. Demikianlah yang terjadi. Dia terkena OTT oleh KPK dalam kasus penyuapan.

Kekuasaan, secara riil, bukanlah sekadar ihwal seputar surat keputusan. Kekuasaan efektif bukanlah hanya atas landasan prosedur dan bukti administrasi. Kekuasaan sejati bukanlah karena surat pengangkatan, bukan sekadar posisi resmi. Kekuasaan yang genuine adalah “keberanian pemimpin besar menciptakan visinya dengan hasrat membara (passion) bukan dengan posisi,”kata John C. Maxwell.

Sekali lagi, kekuasaan efektif adalah soal pengetahuan plus karakter, sebagaimana dikatakan master kungfu tiada tergantikan ini, Bruce Lee. “Pengetahuan memberi Anda kekuasaan. Tapi respek (kehormatan) hanya diperuntukkan bagi karakter.”

Informal Leader

Tak heran, kita suka mendengar seorang informal leader, pemimpin yang tak berdasarkan pengangkatan formal administratif tetapi sangat disegani segenap pihak yang terkait dengannya. Dia efektif menjalankan “kekuasaannya” ketimbang para pemimpin formal. Pemimpin semacam ini ada dalam banyak bidang kehidupan. Di pemerintahan, swasta, dan dunia bisnis, organisasi kemahasiswaan, hingga di angkatan bersenjata dan dalam dunia politik.

Derita lain yang berpotensi dialami oleh para pemegang kekuasaan adalah fenomena berikut ini. Suatu tagline produk mebel yang cukup terkenal, “sudah duduk, lupa berdiri”. Ini ditujukan kepada banyak orang yang memiliki kursi kekuasaan, dan tak rela melepaskannya. Kursi itu seakan milik pribadinya, yang tak boleh digantikan atau dipakai orang lain. Dia lupa bahwa segala sesuatu di dunia ini bersifat sementara. Segala sesuatu adalah titipan Nya kepada kita.

Petitih bijak menyatakan, “jauhkan kemelekatan ego Anda terhadap posisi Anda, sebab bilamana posisi Anda runtuh ego Anda akan menyertainya.”

Terhadap orang yang dikuasai oleh egonya ini, pada saat kekuasaan harus lepas dari genggaman, dia berpotensi mengalami penyakit kejiwaan yang populer disebut sebagai post-power syndrome. Mereka berubah menjadi orang-orang yang ‘aneh’, seperti menjadi pemarah, sangat sensitif, mudah tersinggung, dan menyalahkan apa pun dan siapa pun yang tak berkenan di hati.

Sebaliknya, dia menjadi depresi. Menjadi seorang pemurung, lebih suka menyendiri, serta sering bersedih dan menangisi keadaan yang dialaminya.

Rasanya, sebelum Anda mendapat kekuasaan, sebelum Anda mabuk, atau apalagi menderita post power syndrome, Anda perlu mempersiapkan hal yang paling penting dalam kehidupan kita, yaitu soal pemikiran akan tujuan Anda meraih kekuasaan itu.

Peace Pilgrim memberi nasihat,”bila Anda menyadari betapa hebatnya daya pikir Anda, tak akan pernah terlintas dalam benak Anda, pikiran-pikiran negatif.”

Manfaatkanlah pikiran Anda seoptimal mungkin dalam alur yang selalu positif. Anda ingin memegang kekuasaan karena Anda ingin melakukan tindakan positif bagi segenap masyarakat Anda. Kata para tetua, “kekuasaan adalah kemampuan berbuat baik kepada orang lain.”

Dalam bahasa legenda film cowboy, Clint Easywood, “hormati segenap usahamu, hormati dirimu. Penghormatan terhadap diri sendiri akan membuahkan disiplin pribadi. Bila Anda menjalankan itu semua, itulah kekuasaan sejati.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bagikan

Tags :


Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro