Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Generasi Milenial Tidak Suka Dipimpin Bos yang Terlalu Dominan

Bagi Reynold Wijaya, Co-Founder & CEO PT Mitrausaha Indonesia Grup, pola kepemimpinan yang terlalu mendominasi tidak cocok diterapkan untuk karyawan generasi milenial, seperti perusahaannya.
Generasi milenial China./Istimewa
Generasi milenial China./Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA – Bagi Reynold Wijaya, Co-Founder & CEO PT Mitrausaha Indonesia Grup, pola kepemimpinan yang terlalu mendominasi tidak cocok diterapkan untuk karyawan generasi milenial, seperti perusahaannya.

Pola kepemimpinan bos yang dominan itu biasanya ditunjukkan dengan sikap yang selalu suka mengatur segala hal asalkan sesuai dengan selera dan keinginan bos meski bertentangan dengan hati nurani karyawan.

Selain itu, gaya bos yang dominan biasanya selalu antikritik, lebih suka dilayani daripada melayani, lebih senang dengan gaya komunikasi satu arah karena selalu ingin didengarkan daripada mendengarkan aspirasi bawahan, sok berkuasa, dan egois. 

Menurutnya, sumber daya manusia (SDM) generasi milenial cenderung smart dan idealis. Oleh karena itu, dalam memimpin perusahaan teknologi finansial yang akrab disebut Modalku ini, dia tidak berusaha menjadi dominan.

Gaya kepemimpinan yang lebih melayani atau memfasilitasi agar SDM mampu menunjukkan taring mereka lebih penting. Menciptakan tantangan juga menjadi salah satu cara jitu. Apalagi, dia menyadari bahwa membawa perusahaan lebih baik dimulai dengan membangun tim yang jagoan.

Intellectually curious mereka itu harus di-challenge. Mereka itu lebih idealis sehingga dikasih gaji dua kali [oleh pihak lain] belum tentu langsung pindah,” tutur Reynold kepada Bisnis.com, seperti dikutip, Rabu (14/2/2018).

Sebagai pemimpin, hal yang selalu dilakukan kepada bawahan yakni berkomuniikasi dengan baik, memberikan keputusan yang tepat, dan menjalankan coaching. Selain itu, menciptakan kultur perusahaan yang nyaman setidaknya akan membuat SDM betah bekerja.

Di sisi lain, dia tidak segan untuk memecat pegawai. Menurutnya, langkah ini harus diambil karena baginya, mempertahankan orang yang salah lebih berbahaya dari pada enggak memiliki orang. Indikator yang bisa menjadi patokan yakni value pegawai.

Bisnis rintisan (startup), sambungnya, tidak bisa disamakan dengan institusi besar. Setiap SDM dalam start-up harus membuat perbedaan. Walhasil, jika ada satu orang yang mempunyai kesalahan hingga berdampak pada kerugian secara lingkungan usaha, harus dihilangkan.

“Bisa jadi, orang-orang yang benar itu maunya dipecat anyway. Orang-orang yang benar pasti pengen kerja dengan orang-orang yang benar juga. Secara moral, mempertahankan orang yang salah justru racun,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Sumber : Bisnis Indonesia
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper