Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

TGRA Fokus Garap Renewable Energy Hingga Indonesia Timur dan Australia

Agar target tercapai, perusahaan membutuhkan belanja modal (capital expenditure/capex) hingga US$ 1 miliar. Perusahaan memperkirakan pendanaan itu akan dipenuhi dalam bentuk pinjaman sebesar 70%. Sisa 30% dari kas internal.
Komisaris Independen PT Terregra Asia Energy Tbk Supandi WS (dari kiri) berbincang dengan Komisaris Utama Ngurah Adnyana, Direktur Utama Djani Sutedja, Wakil Direktur Utama Lasman Citra, Direktur Kho Sawilek dan Direktur Independen Paul  Herbert Turney, di Jakarta, Jumat (11/5/2018)./JIBI-Dedi Gunawan
Komisaris Independen PT Terregra Asia Energy Tbk Supandi WS (dari kiri) berbincang dengan Komisaris Utama Ngurah Adnyana, Direktur Utama Djani Sutedja, Wakil Direktur Utama Lasman Citra, Direktur Kho Sawilek dan Direktur Independen Paul Herbert Turney, di Jakarta, Jumat (11/5/2018)./JIBI-Dedi Gunawan

Bisnis.com, JAKARTA – Perusahaan renewable energy PT Terregra Asia Energy Tbk (TGRA) menargetkan dapat membangun pembangkit listrik yang memanfaatkan energi baru terbarukan (EBT) dengan kapasitas 500 megawatt (MW) hingga 2023 mendatang.

Agar target tercapai, perusahaan membutuhkan  belanja modal (capital expenditure/capex) hingga US$ 1 miliar. Perusahaan memperkirakan pendanaan  itu akan dipenuhi dalam bentuk pinjaman sebesar 70%. Sisa 30% dari kas internal.

Managing Director TGRA Lasman Citra mengungkapkan, perusahaan juga memiliki rencana right issue di tahun depan.  Adapun sepanjang tahun ini perseroan telah menyerap Rp28 miliar. Total yang dianggarkan oleh perusahaan adalah sekitar Rp 50-60 miliar untuk equity.

“Karena kalau capex, kan, pada saat pembangkit beroperasi,” jelas Lasman, dalam rilis yang Bisnis terima, Selasa (14/8/2018). 

Dalam beberapa tahun ke depan TGRA akan fokus ke investasi sehingga diharapkan akan mendapat hasil maksimal ketika pembangkit telah mulai beroperasi. Kata Lasman, kalau diibaratkan  ladang, masa panen tak akan  kunjung datang tanpa menanam. 

Sejauh ini, Terregra masih bertumpu dari modal sendiri termasuk dana dari hasil initial public offering (IPO) yang digelar pada Mei 2017 lalu. Saat IPO emiten bersandi saham TGRA di Bursa Efek Indonesia tersebut meraih dana segar Rp110 miliar atas penjualan 20% saham.

Adapun kebutuhan dana menurutnya akan dipenuhi secara bertahap karena menggunakan skema  turnkey lumpsum, artinya ketika proyek sudah COD baru dilakukan pembayaran pada kontraktor. Ini berarti TGRA tidak bisa lagi mengandalkan full equity.

Meski begitu, kata Lasman, pihaknya tetap harus meningkatkan ekuitas karena pembiayaan eksternal biasanya menggunakan skema 30:70, artinya 30% kebutuhan investasi harus dari kocek sendiri. Oleh karena itu selain pinjaman pihak ketiga, TGRA juga membidik dana lewat aksi korporasi, termasuk right issue. Ada juga opsi menerbitkan medium term notes.

“Untuk memenuhi kebutuhan investasi US$1 miliar, kami butuh tambahan ekuitas sebesar US$200 juta–US$300 juta,” kata Lasman.

Sementara itu untuk kebutuhan investasi tahun ini TGRA  sudah mendapatkan persetujuan pemegang saham mencari pendanaan eksternal hingga Rp 500 miliar. TGRA sendiri sudah melakukan pembicaraan dengan SMI dan sejumlah   bank asing yang concern terhadap pengembangan renewable energy.

Khusus bisnis solar power sendiri, kata Lasman, TGRA fokus di wilayah Indonesia timur dalam bentuk proyek rooftop. Skema bisnis ini business to business, di mana perangkat dipasang langsung ke user seperti hotel, vila maupun perkantoran.

Tarif yang dibebankan tergantung jumlah pemakaian user. Bisnis rooftop TGRA dioperasikan oleh anak usaha bernama PT Ananta Surya Kencana (ASK).

Menurut Lasman, hingga akhir 2018 ASK akan memasang rooftop dengan kapasitas 2-3 MW. Sementara itu sekitar 15 lokasi sedang dalam tahap negosiasi pemasangan rooftop. Semuanya fokus di Indonesia timur karena pertimbangan tingkat radiasi matahari yang berbeda hingga 30% dibanding bagian barat Indonesia.

Pengembangan EBT dari sumber daya solar power bahkan dilakukan Terregra hingga Australia Selatan. Ada lima proyek PLTS yang dikembangkan dengan kapasitas masing-masing 5 MW. Untuk setiap proyek, TGRA menggelontorkan investasi sebesar 1,7 juta dolar Australia dan masuk tahap development approval.

Lasman mengatakan izin pengembangan PLTS di Australia relatif tak rumit karena hanya butuh dua izin, sedangkan proses konstruksi engineering-nya hanya butuh waktu sekitar 6 bulan. Kondisinya berbeda dengan di Indonesia yang butuh hingga 30 perizinan.

Meski semua proyek masih dalam tahap investasi, TGRA berharap pemodal tak galau sebab untuk revenue di tahun ini masih akan dikontribusi dari bisnis legacy yakni penjualan barang dan jasa pembangkit listrik.

Oleh karena itu Lasman meyakini hingga akhir 2018 angka penjualan TGRA akan tumbuh sebesar 150%-200%. Target itu menurutnya merupakan lanjutan dari capaian kinerja 2017 di mana pendapatan perseroan tercatat melonjak 243,79% year-on-year (yoy) menjadi Rp37,92 miliar.

Sementara itu laba bersih sejumlah Rp857,94 juta atau 452,26% yoy pada 2017.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper