Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dolar AS Perkasa Saat Mata Uang Emerging Market Tertekan

Dolar AS bertahan di kisaran level tertingginya dalam 13 bulan pada perdagangan pagi ini, Kamis (16/8/2018), saat pergolakan politik di Turki dan kekhawatiran tentang kesehatan ekonomi China terus menyokong aset safe haven sekaligus membebani mata uang emerging market.
Dolar AS./.Bloomberg
Dolar AS./.Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA – Dolar AS bertahan di kisaran level tertingginya dalam 13 bulan pada perdagangan pagi ini, Kamis (16/8/2018), saat pergolakan politik di Turki dan kekhawatiran tentang kesehatan ekonomi China terus menyokong aset safe haven sekaligus membebani mata uang emerging market.

Dilansir Reuters, indeks dolar AS, yang melacak pergerakan dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama, berada di posisi 96,756 setelah naik ke 96,984, level tertinggi 13 bulan, pada hari sebelumnya.

Greenback diuntungkan kondisi sulit yang melanda mata uang emerging market akibat terseret pelemahan nilai tukar lira Turki.

Lira melemah ke titik terendahnya dalam sejarah pada awal pekan ini saat ketegangan diplomatik antara pemerintah Turki dan AS memanas dan kekhawatiran tentang pandangan ekonomi Presiden Erdogan meningkat.

Lira kemudian mampu pulih dan menguat hingga mencapai level 6 per dolar AS, setelah merosot ke rekor rendahnya di posisi 7,24 pada hari Senin (13/8).

Namun, rebound yang dialami lira tidak banyak mengangkat mata uang emerging market lainnya. Rupee India terjebak di kisaran level terendahnya, rand Afrika Selatan merosot lebih dari 2% dalam semalam, dan yuan China bergerak di posisi terlemahnya dalam 15 bulan menyusul serangkaian data yang mengarah pada perlambatan ekonomi di Negeri Tirai Bambu.

“Penguatan dolar baru-baru ini mencerminkan pelemahan dalam mata uang emerging market dan euro, aliran pun terdorong masuk ke dalam mata uang AS," kata Junichi Ishikawa, pakar strategi FX senior di IG Securities, dikutip Reuters.

Pelemahan baru-baru ini pada aset-aset China telah membantu meningkatkan aksi penghindaran risiko di pasar. Investor saat ini sedang menantikan apakah pemerintah China akan melancarkan langkah terbaru untuk menahan kejatuhan yuan.

Ishikawa menambahkan bahwa fokus pasar sebenarnya lebih tertuju pada perkembangan risiko politik.

"Alih-alih ekonomi Turki, situasi politik saat ini dipandang sebagai risiko yang jauh lebih besar. Perselisihan Turki dengan Amerika Serikat dapat mendorongnya lebih dekat ke negara-negara seperti Rusia, China, dan Iran, sehingga meningkatkan risiko geopolitik yang terkait dengan kawasan itu,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper