Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Komentar Dovish The Fed Bebani Dolar AS, Rupiah Makin Perkasa

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berhasil memperpanjang apresiasinya pada perdagangan hari ini, Senin (19/11/2018), saat mata uang lainnya di Asia bergerak variatif.
Petugas menghitung mata uang rupiah dan dolar AS di salah satu tempat penukaran uang di Jakarta, Selasa (9/10/2018)./ANTARA-Akbar Nugroho Gumay
Petugas menghitung mata uang rupiah dan dolar AS di salah satu tempat penukaran uang di Jakarta, Selasa (9/10/2018)./ANTARA-Akbar Nugroho Gumay

Bisnis.com, JAKARTA — Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berhasil memperpanjang apresiasinya pada perdagangan hari ini, Senin (19/11/2018), saat mata uang lainnya di Asia bergerak variatif. 

Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah di pasar spot berakhir menguat 24 poin atau 0,16% di level Rp14.588 per dolar AS, setelah ditutup terapresiasi 53 poin atau 0,36% di Rp14.612 per dolar AS pada perdagangan Jumat (16/11).

Padahal, mata uang Garuda sempat tergelincir melemah setelah dibuka dengan penguatan 67 poin atau 0,46% di level Rp14.545 pagi tadi. Sepanjang perdagangan hari ini, rupiah bergerak fluktuatif di level Rp14.545 – Rp14.625 per dolar AS.

Bersama rupiah, sejumlah mata uang di Asia ikut menguat dipimpin rupee India dan peso Filipina yang masing-masing terapresiasi 0,38% dan 0,36%.

Sebaliknya, yuan offshore China dan baht Thailand yang masing-masing terdepresiasi 0,25% dan 0,15% pada pukul 18.24 WIB berada di antara mata uang yang terdepresiasi.

Sementara itu, indeks dolar AS yang melacak kekuatan greenback terhadap sejumlah mata uang utama terpantau lanjut melemah 0,108 poin atau 0,11% ke level 96,357 pada pukul 18.15 WIB.

Indeks dolar mulai melanjutkan pelemahannya dengan dibuka turun 0,039 poin atau 0,04% di level 96,426 pagi tadi, setelah pada perdagangan Jumat (16/11) berakhir melemah 0,462 poin atau 0,48% di posisi 96,465.

Dilansir dari Bloomberg, mata uang Asia bergerak variatif saat pesimisme seputar hubungan perdagangan antara AS dan China diimbangi dengan spekulasi mengenai laju pengetatan suku bunga yang lebih lambat oleh bank sentral AS The Federal Reserve.

Dalam KTT APEC yang berlangsung selama akhir pekan kemarin, Wakil Presiden AS Mike Pence melontarkan komentar sengit terhadap China mengenai keberlanjutan pengenaan tarif pada barang-barang asal Tiongkok juga negara ini tidak mengubah cara kerjanya.

Komentar Pence serta merta menekan harapan membaiknya hubungan perdagangan antara kedua negara setelah pada Jumat (16/11) Presiden Donald Trump mengutarakan optimismenya tentang penyelesaian perang dagang dengan China.

Perselisihan perdagangan yang kembali mencuat antara AS dan China tersebut turut menyebabkan KTT Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) yang telah berlangsung di Papua Nugini berakhir tanpa deklarasi akhir.

Pada saat yang sama, terdapat ketidakpastian atas prospek suku bunga AS. Para pembuat kebijakan Federal Reserve memang masih mengisyaratkan kenaikan suku bunga lebih lanjut.

Tapi The Fed juga terdengar lebih prihatin tentang potensi perlambatan global, sehingga menimbulkan spekulasi bahwa siklus pengetatan mungkin tidak akan berjalan lebih jauh. Prediksi peluang kenaikan suku bunga pada Desember pun turun menjadi 75% dari lebih dari 90%, seperti dilansir Reuters.

Sementara itu, komentar yang disampaikan oleh Wakil Ketua The Fed Richard Clarida pada hari ini diinterpretasikan oleh pasar sebagai indikasi bahwa ia tidak menginginkan kenaikan suku bunga secara agresif.

“Tampaknya ada sedikit kemajuan tentang pembicaraan [perdagangan] antara China-AS berdasarkan komentar Trump, tetapi pada saat yang sama fakta bahwa APEC tidak dapat menghasilkan deklarasi akhir menunjukkan masih adanya beberapa tantangan,” kata Dushyant Padmanabhan, pakar strategi mata uang strategi di Nomura.

“Pasar juga sedang mencerna komentar The Fed dan apa yang mereka maksud untuk jalur suku Fed,” tambahnya, seperti dikutip Bloomberg.

Dalam wawancara terpisah dengan Fox Business, Presiden Federal Reserve Bank wilayah Dallas Robert Kaplan, mengatakan bahwa dia melihat perlambatan pertumbuhan di Eropa dan China.

Komentar keduanya datang pada saat posisi dolar telah membengkak ke level terbesarnya dalam hampir dua tahun terlepas dari penurunan yang moderat pekan lalu, menurut data futures.

“Komentar dovish sejumlah pejabat The Fed pada hari ini memberikan dorongan kepada investor untuk mengambil keuntungan terhadap posisi dolar yang telah meningkat dalam beberapa pekan terakhir,” kata Jane Foley, kepala strategi valas di Rabobank, seperti dikutip Reuters.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Sutarno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper