PALANGKARAYA: Sampai saat ini belum ada model kebijakan dari pemerintah untuk memberikan pengakuan terhadap tanah adat masyarakat Dayak dan masyarakat adat lainnya.Hal itu menyebabkan tidak adanya jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pemegang hak tanah adat, tidak hanya di Dayak, tapi juga di beberapa wilayah Indonesia yang lain.Menurut Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Tengah, Siun Tarias, dengan tidak adanya model kebijakan dari pemerintah itu maka konflik mengenai tanah adat mungkin berkembang di waktu mendatang.“Masyarakat adat itu lemah dalam pembuktian tanah adat selain hanya pengakuan semata,” ujarnya dalam Journalist Class Demonstrasi Activity REDD dan Kalimantan Forest and Climate Partnership(KFCP) di Palangkaraya, Kamis, 28 Juni 2012.Dia menyatakan masyarakat adat juga tidak memiliki izin atau dokumen resmi, karena pemerintah daerah setempat pun tidak menerbitkan sertifikat atas hak tanah adat.Jadi, lanjutnya, yang perlu dilakukan pemerintah adalah memberi pengakuan hak masyarakat atas tanah adat dengan menerbitkan regulasi untuk batasan jumlah luasan tanah tersebut.“Jangan sampai tanah adat habis dan masyarakat harus ‘bertempur’ dengan para investor, sehingga hanya menjadi pembantu di tanah sendiri,” tegas Siun Tarias.Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah dan Tim Sengketa Lahan mencatat sampai dengan Maret 2012, jumlah kasus gangguan usaha perkebunan sebanyak 372 kasus di perusahaan yang terjadi pada 14 kabupaten/kota.Kasus gangguan tersebut di antaranya merupakan kasus lahan antara masyarakat dan perusahaan maupun masalah perizinan investasi. (faa)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
