Akhir dari Cerita Bakar Duit Grab-Gojek

Bisnis.com,20 Apr 2021, 08:48 WIB
Penulis: Rio Sandy Pradana

Sekitar 6 tahun lalu, aplikasi transportasi daring, yakni Gojek dan Grab getol dalam memberikan promo harga kepada penggunanya. Waktu itu, tarif ojek online (ojol) bisa di bawah Rp10.000 dengan jarak kurang dari 5 km atau ada skema jauh dekat bayar Rp10.000 untuk sekali antar.

Pamor aplikator ojol ini langsung meroket seiring dengan manfaat dan kemudahan yang diterima masyarakat saat mengakses layanan. Alasannya, tarif mereka jauh lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan angkutan umum, taksi konvensional, atau ojek pangkalan dalam rute yang sama.

Keuntungan lain adalah ojol bisa menjadi andalan untuk menembus kemacetan di Jabodetabek. Selain itu, mereka menawarkan layanan antar point-to-point dengan tarif yang jelas tanpa harus nego.

Promo yang mereka tawarkan kepada pengguna bahkan tak terbatas pada layanan angkutan ojek, melainkan terdapat juga pada taksi online, jasa layanan antar makanan, pengiriman barang dalam waktu yang instan (1-2 jam), hingga alat pembayaran digital.

Langkah ini dinilai sebagian pihak ‘aksi bakar uang’ yang mengarah pada dugaan predatory pricing. Istilah tersebut merupakan tindakan suatu perusahaan yang menetapkan harga di bawah biaya produksi pada umumnya dengan maksud menyingkirkan pesaing. Biasanya praktik tersebut menyebabkan bisnis pesaing lain terganggu.

Waktu itu, kehadiran aplikasi ini sempat menjadi kontroversi dan dianggap sebagai 'pengganggu' kemapanan pelaku angkutan umum, taksi konvensional, dan ojek pangkalan. Sampai-sampai Kementerian Perhubungan sebagai regulator transportasi ikut turun tangan untuk menengahi dengan menerbitkan sejumlah aturan yang menjadi payung hukum.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha juga sempat mengimbau perusahaan aplikator ini untuk menghindari praktik predatory pricing. Berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau memastikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan.

Capaian Status Decacorn

Kini, bisnis startup yang dirintis oleh kedua entitas tersebut berjaya. Terlebih pada masa pandemi Covid-19 yang meluluhlantakkan sebagian sektor bisnis, mereka justru nampak resisten seiring dengan tren aktivitas digital masyarakat.

Grab yang hadir di delapan negara Asia Tenggara memiliki nilai valuasi lebih dari US$14 miliar, sedangkan Gojek yang hadir di Indonesia, Singapura, Filipina, Thailand, dan Vietnam memiliki nilai valuasi sekitar US$10 miliar. Keduanya tergolong ke dalam kategori decacorn atau perusahaan rintisan dengan valuasi mencapai lebih dari US$10 miliar.

Kendati demikian, berdasarkan laporan Cento Ventures menunjukkan, pendanaan ke startup di Asia Tenggara turun 3,5 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi US$8,2 miliar pada 2020. Pada semester I/2020, pendanaan mencapai US$5,9 miliar, sedangkan di semester II/2020 susut hingga US$2,3 miliar. Jumlah kesepakatan investasi sepanjang tahun lalu 645, turun dibandingkan 2019 yang mencapai 704.

Namun, berdasarkan nilainya, Indonesia berkontribusi sebesar 70 persen terhadap total pendanaan. Disusul Singapura (14 persen), Malaysia (5 persen), Thailand (5 persen), Vietnam (4 persen), dan Filipina (2 persen).

Dari sisi jumlah kesepakatan investasi, Singapura memimpin dengan porsi 37 persen. Lalu Indonesia (27 persen), Vietnam (14 persen), Malaysia (12 persen), Thailand (6 persen), dan Filipina (5 persen). Adapun, besarnya nilai investasi yang diperoleh startup ditopang oleh pemain besar termasuk Grab Holdings, Gojek, Bukalapak, dan Traveloka.

Kinerja Moncer

Pada kuartal I/2020, investor yang menanamkan modal di startup-startup Indonesia mulai meninggalkan metode bakar uang dan fokus ke investasi berorientasi profit. Perusahaan-perusahaan rintisan diseleksi sesuai dengan prospek yang dimiliki dan banyak investor yang memilih wait and see.

Penurunan tren pendanaan diimbangi dengan perputaran arus kas internal nampaknya memengaruhi kelanjutan aksi bakar uang. Gojek secara blak-blakan mengumumkan telah berhasil mencetak laba operasional di luar biaya headquarter (contribution margin positive) pada akhir 2020

Sebelumnya, Co-CEO Gojek Andre Soelistyo menjelaskan dalam konteks contribution margin positive, setiap transaksi Gojek sudah menghasilkan cash flow yang belum dikurangi biaya headquarter.

“Investasi kan ada perpaduan pendanaan dari luar dan internal cash flow. Jika ada profit dari titik produk itu, investasi yang kami lakukan tidak hanya dari luar. Sejak tahun ini investasi bisa dihasilkan dari internal cash flow, ini penting sekali,” jelasnya dalam siaran pers, Senin (16/11/2020).

Dia menuturkan semakin besar cash flow internal, maka inovasi yang dilakukan tidak lagi terlalu terbebani pendanaan dari luar. Gojek mengumumkan jika fundamental perusahaan pada 2020 semakin kuat didukung total nilai transaksi di dalam platform Gojek group (gross transaction value/GTV) yang mencapai US$12 miliar (sekitar Rp170 triliun) atau meningkat 10 persen dibandingkan dengan tahun lalu.

Pencapaian itu didorong antara lain oleh transaksi dari pengguna aktif bulanan (monthly active users) Gojek yang telah mencapai 38 juta pengguna di seluruh Asia Tenggara. Sementara itu, GTV dari layanan pembayaran digital, GoPay, saat ini telah melampaui total GTV pada masa pra-pandemi seiring dengan semakin banyaknya konsumen dan merchant yang beralih ke layanan digital dan bertransaksi secara online.

Pada tahun yang sama, tercatat ada sejumlah investor yang rela menggelontorkan dananya ke Gojek. Sebut saja Facebook, PayPal Holdings Inc., Mitsubishi Corporation, Mitsubishi Motors, Mitsubishi UFJ Financial Group, Visa, Telkomsel, dan Zulu.

Sementara itu, rival utama Gojek, yakni Grab juga mampu memperlihatkan kinerja yang solid sepanjang 2020 kendati diterpa pandemi Covid-19. Grab mencatatkan GMV sekitar US$12,5 miliar, melebihi level sebelum pandemi, dan meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan pada 2018.

Grab juga mengklaim telah menjadi pemimpin kategori untuk layanan-layanan utamanya di Asia Tenggara. Di Asean, Grab memiliki sekitar 72 persen total GMV untuk ride-hailing, 50 persen total GMV untuk layanan pesan-antar makanan, dan 23 persen Total Payments Volume (TPV) untuk layanan pembayaran dengan dompet digital pada 2020.

Pada saat bersamaan, Grab juga telah mencatatkan kemajuan signifikan untuk menuju profitabilitas, dengan fokus utama yang dititikberatkan pada upaya untuk membangun bisnis yang tangguh serta memberikan pertumbuhan yang berkelanjutan, mencapai positive segment EBITDA pada layanan transportasi di seluruh pasar, dan positive segment EBITDA pada layanan pengantaran di 5 dari 6 negara.

Mereka menyadari bahwa untuk melayani kebutuhan para penggunanya, serta mitra pengemudi, pengiriman dan merchant adalah melalui strategi superapp. Strategi tersebut memicu efek flywheel untuk mendorong pertumbuhan sekaligus menurunkan biaya layanan.

Faktanya, proporsi pengguna Grab yang memakai dua layanan atau lebih telah tumbuh lima kali lipat dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Seiring dengan berkembangnya daya belanja konsumen, dan meningkatnya peluang pendapatan bagi para mitra merchant dan mitra pengemudi, telah mendorong lebih banyak pihak yang masuk ke dalam ekosistem Grab.

Hal ini mengarah pada pilihan yang lebih banyak, nilai tambah yang lebih baik, dan waktu pengiriman yang lebih cepat bagi pengguna, dengan memberikan manfaat jangka panjang kepada para pengguna yang loyal.

Rencana Konsolidasi

Capaian positif tersebut memicu startup decacorn untuk terus berkembang. Salah satunya rencana realisasi merger Gojek dengan Tokopedia. Kedua perusahaan itu akan membentuk entitas gabungan yang bernama GoTo.

Dilansir dari KrASIA, Kamis (14/4/2021), informan yang tidak disebutkan namanya menyampaikan pembahasan mengenai merger terus dilakukan. Kesepakatan itu diharapkan bisa rampung pada April 2021.

Gabungan keduanya akan melahirkan sebuah perusahaan senilai US$18 miliar. Nantinya perusahaan gabungan tersebut diberi nama GoTo dan akan diisi oleh para pemimpin senior dari kedua perusahaan, termasuk co-CEO Gojek Andre Soelistyo dan Kevin Aluwi, serta CEO Tokopedia William Tanuwijaya dan presiden Tokopedia Patrick Cao.

GoTo akan menyediakan layanan yang berupa perjalanan, e-commerce, pengiriman makanan, pembayaran, dan logistik. Dalam laporan lain, Gojek dikatakan memiliki 60 persen saham di entitas bersama itu, dan Tokopedia 40 persen sisanya.

Rumor merger Gojek-Tokopedia sudah beredar sejak awal 2021, tak lama setelah pembicaraan merger Gojek dan Grab gagal, karena diterpa isu monopoli. Sementara merger Gojek dan Tokopedia dinilai saling melengkapi.

Seakan tak mau kalah, upaya merger juga ditempuh oleh Grab yang telah mengumumkan rencananya untuk menjadi perusahaan terbuka di Amerika Serikat bekerja sama dengan Altimeter Growth Corp.

“Strategi superapp kami yang terdiversifikasi telah membantu mitra pengemudi kami untuk beralih ke layanan pengiriman, dan mendorong kami untuk mencapai pertumbuhan seraya meningkatkan keuntungan. Seiring dengan langkah kami untuk menjadi perusahaan publik, kami akan terus bekerja lebih keras untuk mendorong pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat, karena ketika Asia Tenggara sukses, maka Grab juga sukses,” kata Anthony Tan, Group CEO dan Co-founder Grab, dalam situs resmi yang dikutip, Kamis (15/4/2021).

Berdasarkan rencana transaksi yang diajukan, Altimeter Growth dan Grab bersama-sama akan dimiliki penuh oleh perusahaan induk baru ini. Gabungan perusahaan ini diprediksi akan memiliki valuasi ekuitas berdasarkan pro-forma sekitar US$39,6 miliar.

Pada saat penutupan transaksi, gabungan perusahaan ini diprediksi akan menerima sebesar US$4,5 miliar dalam bentuk aliran dana tunai dari investasi yang baru masuk, termasuk komitmen penuh dari penawaran PIPE yang lebih dari US$4 miliar yang telah ditingkatkan karena minat investor yang besar.

PIPE tersebut dipimpin oleh Altimeter yang berkomitmen US$750 juta, dan peserta lainnya termasuk dari BlackRock, Counterpoint Global (Morgan Stanley Investment Management), dan T.Rowe Price Associates, Inc., termasuk juga Fidelity International, Fidelity Management and Research LLC, Janus Henderson Investors, Mubadala, Nuveen, Permodalan Nasional Berhad dan Temasek.

Yang perlu diketahui adalah upaya Grab melantai di Wall Street ini ada bagian komitmen dengan Uber Technologies Inc.

Bahkan, investor terkemuka dari Indonesia seperti Djarum, Keluarga Sariaatmadja, dan Sinar Mas juga berpartisipasi dalam penawaran PIPE ini.

Yang perlu diketahui adalah upaya Grab melantai di Wall Street ini ada bagian komitmen dengan Uber Technologies Inc. Saat Uber hengkang dari Asia Tenggara, asetnya diambil alih Grab.

Uber pun memegang 23,2 persen saham Grab sejak akhir 2018. Komitmen dari saham itu membuat Grab harus membayar US$ 2 miliar ke Uber jika mereka tak go public, atau menjual sahamnya ke pasar modal pada tenggat Maret 2023.

Roh Startup

Lantas, apakah rencana kedua decacorn ini untuk menjalin merger merupakan jalan untuk mencapai profit atau justru menjadi tambahan modal untuk lebih 'gila' dalam strategi bakar uang?

Ketua Umum Asosiasi Startup Teknologi Indonesia (Atsindo) Handito Joewono berpendapat merger dan akuisisi merupakan dinamika yang lumrah terjadi pada startup. Pandemi pada 2020 membuat aksi korporasi ini tersendat dan seakan terjadi secara serempak pada tahun ini.

"Rohnya startup disitu. Gara-gara pandemi aksi korporasi itu berkurang drastis. Begitu masuk 2021 kelihatan banyak [yang merger, tetapi] sebenarnya karena tertunda," katanya kepada Bisnis.com, Kamis (15/4/2021).

Pandemi ternyata bisa merontokkan bisnis startup yang tidak mampu bertahan. Tidak jarang mereka menjadikan merger dan akuisisi sebagai langkah penyelamatan jika tidak mau babak belur ataupun hilang.

Startup memiliki pergerakan yang jauh lebih dinamis, sehingga mau tidak mau mereka harus terkonsolidasi dengan entitas lain. Konsolidasi tersebut ada yang terencana ada yang tidak, misalnya by accident atau kebetulan memiliki kesamaan visi.

Hal tersebut dinilai telah menjadi bagian dari proses konsolidasi yang menjadi roh dari startup. Sifatnya yang ingin selalu menjadi nomor satu dengan rumus the winner takes all yang tak jarang menuntut mereka untuk saling bergabung.

"Kalau merger, pemainnya pasti berkurang. Apakah tidak bakar uang lagi? Tidak juga, karena mergernya masih menyisakan kompetisi. Semakin besar startup, rasa takut akan matinya lebih besar, sehingga masih ada ruang untuk mereka tetap bakar uang," jelasnya.

Akan tetapi, Handito menuturkan saat ini sudah ada kesadaran umum yang mulai benar bahwa startup adalah perusahaan normal yang tetap mengutamakan profit. Pihak yang sudah rela menggelontorkan modalnya pasti tidak ingin jadi buntung gara-gara startup melakukan blunder.

Menurutnya, investor sudah tidak mengincar startup yang hanya mengandalkan kreativitas dan potensi valuasi saja melainkan persentase keuntungan yang bisa didapatkan. Terlebih, kini ada istilah yang muncul pada masa pandemi, yakni cash is the king.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor: Hendri T. Asworo
Terkini