Alarm Sri Mulyani dan Lonjakan Utang di Kementerian Prabowo

Bisnis.com,19 Des 2023, 20:02 WIB
Penulis: Annasa Rizki Kamalina

Tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba Sri Mulyani, Menteri Keuangan, bersuara lantang. Dia mengungkapkan lonjakan belanja alat utama sistem pertahanan (alutsista) oleh Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto.

Lompatan belanja alutsista bukan tanpa soal. Sri Mulyani membeberkan bahwa pengadaan alutsista telah menyebabkan melonjakan utang luar negeri pemerintah.

Pasalnya, belanja yang dilakukan kementerian Prabowo itu dilakukan di luar anggaran yang telah diberikan pemerintah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Terjadi kenaikan yang cukup signifikan dari US$20,75 miliar ke US$25 miliar. Itu yang kemarin disepakati,” ujarnya kepada awak media usai Penyerahan DIPA dan Daftar Alokasi TKD TA 2024 di Istana Kepresidenan, Rabu (29/11/2023). 

Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, pemerintah telah meningkatkan perhatian dalam aspek pertahanan negara. Anggaran untuk aspek pertahanan tercatat terus naik tiap tahun.

Pada tahun anggaran 2018–2021, realisasi anggaran fungsi pertahanan secara nominal mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 5,6%, yaitu dari Rp106,83 triliun pada tahun anggaran 2018 menjadi Rp125,79 triliun pada tahun anggaran 2021.

Anggaran fungsi pertahanan terus dikerek pada 2022 menjadi Rp133,3 triliun, dan lagi-lagi meningkat menjadi Rp134,3 triliun pada 2023.

Pada 2023, pos pertahanan akan melanjutkan belanja prioritas dan strategis dalam rangka mendukung terwujudnya pemenuhan Minimum Essential Force (MEF) secara bertahap untuk menjamin tegaknya kedaulatan, menjaga keutuhan NKRI serta penguatan pertahanan dibarengi Confident Building Measures (CBM).

Selain itu, anggaran digunakan untuk penanganan kejahatan konvensional, trans nasional dan pelanggaran hukum di wilayah laut dan perbatasan, serta keamanan perbatasan NKRI terutama Pos Lintas Batas Negara dan Lokasi Prioritas.

Sri Mulyani juga mengungkapkan bahwa kenaikan anggaran baik dari sisi DIPA maupun pinjaman luar negeri seiring dengan kondisi geopolitik yang tengah memanas. 

“Kemenhan menganggap kebutuhan sesuai kondisi alutsista dan kemudian ancaman serta peningkatan dinamika geopolitik dan geosecurity dan di sisi lain masih sesuai dengan rencana kita dari sisi perancanaan penganggaran jangka panjang,” jelasnya. 

Utang Melesat di Era Prabowo

Pernyataan yang dilontarkan Sri Mulyani tidak hanya menjadi buah bibir belaka. Pasalnya, berdasarkan data yang dihimpun Bisnis, tren belanja alutsista pemerintah tercatat meningkat pada era Prabowo menjabat sebagai menteri pertahanan.

Tren belanja itu juga diikuti dengan meningkatnya pinjaman luar negeri dari Kementerian Pertahanan.

Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mencatat, nilai komitmen pinjaman luar negeri Kementerian Pertahanan tercatat meningkat menjadi US$4,35 miliar pada 2019.

Jumlah itu, melonjak dari catatan pinjaman luar negeri pada periode 2018, masa terakhir pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) Jilid 1 sebesar US$1,56 miliar.

Satu tahun setelahnya, posisi pinjaman luar negeri Kementerian Pertahanan kembali meningkat menjadi US$4,41 miliar dan sempat turun menjadi US$3,57 miliar pada 2021.

Namun, penurunan pinjaman utang luar negeri Kementerian Pertahan tidak berlangsung lama, jumlah itu kembali naik menjadi US$5,96 miliar pada 2022 dan US$7,13 miliar per kuartal III/2023.

Kenaikan itu juga diikuti dengan realisasi belanja Kementerian Pertahanan yang bersumber dari dana pinjaman luar negeri.

DJPPR Kementerian Keuangan, pagu belanja Kementerian Pertahanan dengan sumber dana pinjaman luar negeri pada 2020 dipatok Rp9,05 triliun dengan realisasi Rp8,49 triliun.

Pemerintah sedikit mengerem belanja Kementerian Pertahanan pada 2021 dengan hanya mematok pagu Rp7,33 triliun dan dengan realisasi Rp7,28 triliun.

Tren belanja Kementerian Pertahanan dengan sumber dana pinjaman luar negeri kembali naik pada 2022 dengan pagu Rp9,05 triliun meski hanya dapat direalisasikan Rp8,04 triliun.

Pada tahun ini, pagu yang ditetapkan sama dengan tahun lalu. Realisasi belanja Kementerian Pertahanan sedikit tersendat dengan hanya Rp1,76 triliun per kuartal III/2023.

Tren belanja Kementerian Pertahanan juga dikonfirmasi dengan data Stockholm International Peace Research Institute (Sipri) yang mencatat adanya kenaikan belanja militer sejak 2019 hingga 2022.

Belanja pemerintah untuk militer pada 2019 mulai meningkat menjadi US$8,15 miliar dibandingkan dengan posisi belanja militer pada 2018 senilai US$7,49 miliar.

Belanja militer pemerintah sempat tembus di angka US$9,38 miliar pada 2020     dan turun menjadi US$8,8 miliar pada 2021, serta US$8,98 miliar pada 2022.

Koleksi Alutsista

Kementerian Pertahanan tercatat paling banyak membeli pesawat terbang untuk pertahanan militer dalam negeri.

Sejak 2019, tercatat sebanyak 258 unit kendaraan tempur udara yang terdiri atas pesawat terbang, jet tempur, hingga helikopter yang diborong oleh pemerintah.

Melansir data Flight Global, pemerintah diantaranya telah memesan sejumlah unit pesawat seperti F-15IDN sebanyak 24 unit dari Amerika Serikat yang diproduksi oleh Boeing.

Selain itu, terdapat pembelian sebanyak 50 unit jet tempur KF-21 yang diproduksi oleh Korea Selatan. Deretan jet tempur itu akan melengkapi deretan alutsista pertahanan udara RI.

Prabowo juga tercatat memborong jet tempur buatan Prancis yang diproduksi oleh Dassault Aviation. Pemerintah memborong sebanyak 42 unit pesawat berjenis Rafale.

Pemerintah juga tercatat membeli jet tempur F-16A/C sebanyak 25 unit, Hawk 209 sebanyak 22 unit, Su-27/30/35 sebanyak 16 unit, dan yang paling kontroversial adalah pembelian pesawat bekas Mirage 2000-5 sebanyak 12 unit dari Qatar.

Dalam pernyataan resminya, Kementerian Pertahanan menyatakan untuk meningkatkan kemampuan tempur TNI AU, Kementerian Pertahanan memiliki rencana upgrade dan overhaul/repair pada pesawat SU-27/30, Hawk 100/200 dan F-16 dimana hal ini sesuai dengan surat Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor: R.387/D.8/PD.01.01 /05/2023.

Selain pelaksanaan upgrade dan Overhaul/repair pada pesawat SU-27/30, Hawk 100/200 dan F-16 juga terdapat pembelian Alutsista berupa Pesawat baru seperti pesawat Dassault Rafale dan F-15 Super Eagle. 

Namun berdasarkan kontrak, dinyatakan bahwa kedatangan 3 pesawat Rafale pertama baru akan terlaksana pada Januari 2026, sedangkan kontrak pesawat F-15 masih dalam tahap pembahasan Letter of Offer and Acceptance oleh Pemerintah Amerika Serikat.

Untuk itu, Kementerian Pertahanan berdalih pembelian pesawat bekas tersebut karena Indonesia membutuhkan alutsista pesawat tempur yang bisa melaksanakan pengiriman secara cepat untuk menutupi penurunan kesiapan tempur TNI AU yang disebabkan oleh banyaknya pesawat tempur yang habis masa pakainya.

Peremajaan Alat Tempur Mendesak

Kondisi alutsista Indonesia yang sudah uzur mendesak pemerintah untuk melakukan peremajaan secara besar-besaran. Di samping itu, kondisi geopolitik yang bergejolak mendesak pemerintah untuk mempersiapkan segala kemungkinan yang akan terjadi.

Terbatasnya ruang gerak pendanaan dari dalam negeri, membuat pemerintah mau tidak mau harus memanfaatkan pinjaman luar negeri untuk bisa memenuhi ketahanan militernnya.

Konsultan Industri Pertahanan Alman Helvas Ali memaparkan, kondisi pengadaan alutsista dengan menggunakan mekanisme pinjaman luar negeri bukan menjadi barang baru di Indonesia.

Praktik itu pada dasarnya sudah mulai dilakukan pemerintah sejak masa pemerintah Orde Baru.

Menurutnya ruang fiskal yang dimiliki pemerintah tidak akan mencukupi untuk belanja alutsista dengan menggunakan APBN.

"Ini masalah pengadaan senjata pakai utang sudah terjadi sejak masa Soeharto, dan ini akan berlanjut ke pemerintahan selanjutnya, karena APBN rupiah murni tidak akan sanggup membiayai pengadaan alutsista dalam jumlah besar," ujarnya kepada Bisnis, Senin (18/12/2023).

Dia menuturkan, dalam pemenuhan MEF tahap ketiga 2020-2024, pemerintah mengalokasikan pinjaman luar negeri sebesar US$20,7 miliar untuk peremajaan alutsista.

Pada Desember 2022, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas kembali merevisi alokasi pinjaman luar negeri untuk pengadaan alutsista menjadi US$25,7 miliar, dan naik menjadi US$34,4 miliar pada Mei 2023.

Namun, dalam Rapat Kabinet yang digelar pada Oktober 2023, Presiden Jokowi  hanya menyetujui kenaikan alokasi anggaran pinjaman luar negeri untuk pengadaan alutsista hanya menjadi US$25,7 miliar.

Dari jumlah itu, Kementerian Keuangan menerbitkan Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP) untuk Kementerian Pertahanan seperti yang diusulkan Bappenas menjadi senilai US$25,04 miliar.

"Secara fiskal tidak akan mampu untuk beli alutsista dalam arti yang maju seperti pesawat tempur, kapal selam dengan rupiah murni itu tidak akan sanggup, itu alasannya pakai pinjaman luar negeri, ini bukan hal yang baru karena sejak zaman orde baru," ungkapnya.

Dia menilai, peremajaan alat tempur baru Indonesia sudah sangat mendesak jika mengacu pada umur alutsista yang dimiliki pemerintah saat ini.

Alman mengatakan, rata-rata umur alutsista yang dioperasikan pemerintah saat ini berkisar dari 20 tahun hingga 50 tahun.

"Semakin tinggi usia pakai maka biaya operasional semakin besar, di sisi lain dari sisi teknologi juga ketinggalan, sementara kita juga menghadapi konflik di Laut Cina Selatan," jelasnya.

Menurutnya, lonjakan belanja alutsista dengan pinjaman luar negeri pada masa jabatan Prabowo sebagai Menteri Pertahanan dapat diartikan berhasilnya eksekusi yang dilakukan.

Pasalnya, pada masa jabatan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, banyak pengadaan-pengadaan alutsista yang terkendala dan bahkan gagal, sehingga menjadi kian mendesak pada masa jabatan Prabowo.

"Jadi dampaknya baru akan terasa 3-4 tahun lagi antara 2025-2030 karena paling cepat penyerahaan pengadaan alutsista Prabowo paling cepat 2025, paling lambat 2030 baru kita akan melihat hasil delivery yang kita beli," ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor: Muhammad Ridwan
Terkini