"Kami optimistis [pada 2023] karena melihat bola kristal kami lebih jernih."
Keyakinan itu dilontarkan CEO Silicon Valley Bank (SVB) Greg Becker belum lama ini, saat diwawancarai oleh CNBC pada awal tahun, sebagaimana dilansir Reuters. Becker, yang telah memimpin SVB sejak 2011, bahkan meramalkan kondisi pasar akan lebih stabil setelah mengalami gejolak pada tahun sebelumnya.
Namun, siapa sangka, ucapan itu terbalik 360 derajat hanya dalam waktu 2 bulan kemudian. Bank yang dinahkodainya selama 7 tahun runtuh hanya dalam kurun 48 jam.
Pasar keuangan dunia kembali dikejutkan dengan kabar dari Negeri Paman Sam. Belum hilang dari ingatan kekacauan krisis keuangan global (global financial crisis/GFC) yang diakibatkan masalah kredit rumah berisiko tinggi atau subprime mortgages pada 2008, 15 tahun kemudian terjadi kembali krisis yang menimpa industri perbankan Amerika.
Jika pada GFC 2008 investment bank Lehman Brothers kolaps, tahun ini 3 bank AS runtuh dan 1 bank terancam ambruk. Walaupun, efek keruntuhan bank tahun ini diprediksi tak sedahsyat GFC 2008, tetap saja kabar ini berimbas ke beberapa pasar modal di kawasan negara lain.
Keruntuhan beruntun bank-bank di AS diawali oleh Silvergate Bank pada 8 Maret 2023, usai mengumumkan pemberhentian layanan Silvergate Exchange Network yang melayani transaksi kripto.
Selang 2 hari kemudian, menyusul penutupan Silicon Valley Bank (SVB), bank terbesar ke-16 di AS. Penutupan SVB disebut-sebut menjadi bank gagal terbesar kedua di AS.
Namun, kenyataan pahit belum berakhir. Pada 12 Maret 2023, Signature Bank dinyatakan diambil alih regulator negara bagian dan lembaga penjamin simpanan atau Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) mengambil alih kendali bank yang bermarkas di New York ini.
Rentetan ambruknya bank-bank tersebut menyulut kekhawatiran publik dan terjadi penarikan dana yang besar atau bank run di bank lainnya, salah satunya First Republic Bank. Sebenarnya, apa yang terjadi di Negara Adidaya itu hingga melemahkan industri perbankan?
Setidaknya ada 2 alasan yang sering disebut sebagai biang kerok keruntuhan 3 institusi perbankan AS, yaitu industri kripto dan startup serta agresivitas The Fed dalam mengerek suku bunga acuan. Namun, yang paling menarik adalah tudingan akan faktor pengawasan dan deregulasi perbankan, yang menyeret mantan Presiden Donald Trump dan CEO SVB Greg Becker.
Tudingan Atas Kebijakan Trump
Keruntuhan industri perbankan sering merembet ke sektor politik. Tak sedikit pihak yang menuding kegagalan SVB merupakan dampak dari deregulasi atau revisi UU Dodd-Frank pada 2018 di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump.
Kebijakan Dodd-Frank yang diprakarsai Senator Christopher J. Dodd dan Perwakilan Barney Frank disahkan pada 2010 pada era Presiden Barack Obama. Regulasi ini merupakan respons dari krisis yang meruntuhkan sistem keuangan AS pada 2008.
Dalam aturan yang bernama resmi Dodd-Frank Wall Street Reform and Consumer Protection Act tersebut, terdapat aturan detail mengenai pengawasan sektor jasa keuangan dan menghadirkan sejumlah lembaga supervisi baru. Namun, UU anyar ini dinilai sejumlah pihak membuat industri keuangan AS tidak bersaing.
Salah satunya adalah CEO SVB Greg Becker. Pada 2015 atau sewindu yang lalu, Becker mendesak Kongres untuk merelaksasi ketentuan tersebut. Pasalnya, dalam regulasi ini, bank diharuskan melakukan stress test dan mempersiapkan rencana penyelamatan.
Menurutnya, UU Dodd-Frank hanya bisa diterapkan untuk bank-bank jumbo berdampak sistemik dan tidak pas untuk bank kecil dan menengah seperti SVB. "Biayanya tinggi, tidak hanya untuk kami, tetapi juga untuk nasabah," demikian alasan Becker saat meminta relaksasi aturan, dilansir dari Bloomberg.
Dia juga menyebut selain menelan biaya yang tidak sedikit, kewajiban melakukan stress test juga menyita ribuan jam waktu kerja karyawan tiap tahun. Beberapa petinggi bank-bank kecil dan menengah, yang disebut bank regional (regional lenders), juga mengutarakan hal serupa.
Partai Republik juga mengajukan pelonggaran di sisi rasio kecukupan modal perbankan AS menjadi 10 persen. Selain itu, kewenangan Biro Perlindungan Keuangan Konsumen untuk mengawasi perbankan AS juga dibatasi.
Pada 2018, atau satu dekade usai krisis finansial 2008, Presiden Donald Trump pun mengabulkan keinginan sekelompok bankir itu dengan mengesahkan UU Economic Growth, Regulatory Relief, and Consumer Protection Act. Regulasi ini membebaskan bank kecil dan menengah, seperti SVB, dari beberapa peraturan pascakrisis yang ketat dan memangkas biaya compliance.
"[Prinsip] Satu [aturan] untuk semua, ternyata tidak berhasil. Bank kecil dan menengah seharusnya tidak dikenakan aturan yang sama dengan institusi keuangan yang kompleks. Mereka bisa gugur satu per satu," kata Trump di Gedung Putih mengenai deregulasi yang dilakukannya.
Presiden AS Donald Trump berbicara di Konferensi Gedung Putih tentang Sejarah AS di National Archives, Washington DC, AS, Kamis (17/9/2020)./Bloomberg-Alex Edelman
Keputusan itu bahkan didukung oleh beberapa senator dari Partai Demokrat, yang bergabung dengan Partai Republik. Namun, hanya 5 tahun berselang, tiga bank regional, termasuk SVB, gugur dalam waktu yang hampir bersamaan. Beberapa pihak berpendapat, keinginan Becker 8 tahun lalu justru mempercepat kematian bank yang dipimpinnya.
Usai SVB kolaps, regulator mengambil alih Signature Bank beberapa hari kemudian. Kritik terhadap relaksasi regulasi pada 2018 pun menyeruak.
"Kita tahu, sejak 2008 bahwa aturan yang lebih ketat diperlukan untuk mencegah krisis seperti ini," ujar perwakilan Partai Demokrat Ro Khanna.
Sementara, Juru Bicara Trump Steven Cheung menanggapi dengan menyatakan pihak Demokrat mencoba mengkambinghitamkan presiden sebelumnya atas gugurnya 3 bank AS dalam waktu berdekatan. "Ini tidak lebih dari upaya menyedihkan untuk menghindari tanggungjawab," katanya.
Adapun, Presiden AS saat ini, Joe Biden, melalui pernyataan pada Senin pekan sebelumnya mengatakan akan memperketat regulasi. Biden menyampaikan bahwa dia akan meminta regulator untuk memperkuat kebijakan sektor perbankan sehingga dapat mencegah ambruknya bank-bank lain di masa depan. "Dan juga melindungi tenaga kerja dan usaha kecil."
Regulator Tak Lepas dari Kritikan
Kabar yang diterima Bloomberg juga membisikkan jika sejumlah bankir di AS menyebut langkah The Fed, Office of the Comptroller of the Currency, dan the Federal Deposit Insurance Corporation pada 2019 ikut andil dalam kegagalan sejumlah bank baru-baru ini.
Saat itu, regulator memperbolehkan bank dengan aset di bawah US$700 miliar untuk menyisihkan pendapatan komprehensif yang diakumulasikan ke modal yang disyaratkan.
Langkah itu memang membuat permodalan bank menjadi lebih solid dan mendorong bank-bank kecil untuk menyimpan dana mereka di surat utang karena risiko ke buyback saham dan dividen dinilai lebih kecil.
Pada akhir 2020 SVB menerima rekomendasi internal untuk membeli surat utang jangka pendek seiring dengan kenaikan dana simpanan. Hal ini akan mengurangi risiko kerugian jika suku bunga naik dengan cepat. Namun, langkah ini memiliki proyeksi penurunan pendapatan senilai US$18 juta.
Alih-alih, petinggi SVB memilih untuk menempatkan dana mereka di aset dengan margin lebih tinggi, yang mendorong laba naik 52 persen pada 2021 dan membuat valuasi SVB lompat ke US$40 miliar. Hal yang dikhawatirkan terjadi saat suku bunga acuan naik agresif pada 2022, SVB mendapati potensi kerugian (unrealized losses) lebih dari US$16 miliar dari kepemilikan surat utang.
Saat SVB mengumumkan kerugian tersebut, deposan yang sebagian besar merupakan perusahaan modal ventura pun menarik uang secara besar-besaran. SVB pun runtuh setelah gagal mendapatkan tambahan dana senilai US$2,25 miliar dalam 48 jam.
Imbas ke Bank Jumbo AS
Keruntuhan 3 bank kecil dan menengah di AS terasa efeknya ke bank-bank berdampak sistemik, atau sering disebut too-big-too-fail bank, bank yang tidak akan dibiarkan ambruk karena besarnya dampak yang akan ditimbulkan.
Dilansir dari Bloomberg, Selasa (14/3/2023), terdapat gelombang perpindahan dana ke bank besar AS karena kekhawatiran akan potensi krisis. Bank terbesar di AS, JPMorgan Chase & Co., menerima dana miliaran dolar baru-baru ini. Bank of America Corp., Citigroup Inc., dan Wells Fargo & Co. juga mengalami aliran dana masuk yang lebih tinggi dari biasanya.
"Enam bank terbesar AS yang telah melalui krisis lebih dari 10 tahun. Masyarakat pun merasa lebih aman untuk menyimpan dana mereka di bank dengan kepastian yang tinggi," kata seorang asisten profesor di University of California Irvine's Michael Imerman dalam sebuah wawancara.
Citizens Financial Group Inc. juga menyatakan terdapat kenaikan minat deposan baru untuk menyimpan dana. Perusahaan pun mengambil langkah dengan memperpanjang jam operasional kantor cabang sementara untuk mengakomodasi hal tersebut.
Jika bank-bank besar mendapatkan limpahan deposan, First Republic Bank justru terimbas efek negatif dari keruntuhan 3 bank AS. Sejumlah nasabah First Republic dirundung gelombang kekhawatiran dan beramai-ramai menguras rekeningnya.
Namun, pihak First Republic Bank memastikan likuiditas dalam posisi terjaga usai mendapatkan suntikan dana dari Federal Reserve dan JPMorgan Chase senilai US$70 miliar atau setara Rp1.078,9 triliun.
First Republic Bank/Bloomberg.
Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet L. Yellen bersama dengan Ketua Dewan Federal Reserve Jerome H. Powell, dan Ketua FDIC Martin J. Gruenberg sebelumnya menyampaikan bahwa pihaknya berkomitmen menyiapkan dana tambahan untuk membantu industri perbankan AS menjaga likuiditasnya.
Mengutip pernyataan bersama yang dikeluarkan oleh Departemen Keuangan AS, Federal Reserve dan FDIC, mereka akan mengambil tindakan tegas untuk melindungi ekonomi dengan memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem perbankan AS.
"Akhirnya, Dewan Federal Reserve pada hari Minggu mengumumkan akan menyediakan dana tambahan untuk lembaga penyimpanan yang memenuhi syarat untuk membantu memastikan bank memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan semua deposan mereka," jelas Federal Reserve dalam keterangan resminya dikutip Senin (14/3/2023).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel