"Berilah Kail, Jangan ikannya"
Pepatah kuno itu bisa menjadi perumpaan yang tepat untuk menggambarkan pernyataan Joko Widodo (Jokowi) yang kala itu mengkritik program pemerintah pusat.
Jokowi yang saat itu tengah maju mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta pernah mengkritik cara pemerintah pusat memanjakan rakyatnya dengan bantuan sosial dalam bentuk uang tunai.
Menurutnya, cara seperti itu tidak mendidik masyarakat untuk berperilaku mandiri.
Mengutip pemberitaan di Solopos pada 28 Maret 2012, Jokowi secara tidak mengatakan tidak pernah setuju dengan bentuk --program yang dijalankan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-- Bantuan Langsung Tunai.
“Saya memang dari dulu tidak senang dengan bantuan tunai," kata Jokowi.
Program itu, pada dasarnya merupakan bantuan pemerintah menyusul adanya kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Di sisi lain, program itu terasa mengganjal di hati Jokowi. Pasalnya, bentuk bantuan langsung tersebut dinilai dapat membuat masyarakat berperliku konsumtif.
Menurutnya, pemerintah daerah bisa menganggarkan dana khusus untuk menggerakkan usaha produktif yang ada di rumah tangga dan usaha kreatif yang ada di masyarakat melalui program ekonomi kerakyatan.
Menurut Jokowi, bantuan seperti ini lebih memiliki daya dorong untuk masyarakat.
Meski demikian, Jokowi mengaku terlambat untuk mengemas program seperti itu, lantaran rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM, terkesan mendadak
"Kalau bisa, bantuan itu diberikan kepada usaha-usaha produktif, usaha-usaha kecil dan rumah tangga yang produktif, itu akan lebih baik," ungkapnya.
Posisi Jokowi yang masih menjadi kepala daerah, saat itu, mungkin belum menyelami secara langsung langkah yang diambil Presiden SBY dalam mengucurkan bansos.
Namun, ketika dia menjabat sebagai presiden, barulah memahami seberapa besar pengaruh bansos itu dari sisi ekonomi dan politik. Hal itu tidaknya tecermin dengan gelontoran dana sosial selama masa jabatannya yang justru lebih besar dibandingkan dengan masa Presiden SBY yang dia kritik. Bahkan, menjelang pesta demokrasi, bansos secara besar-besaran digelontorkan oleh Jokowi.
Bansos di Zaman SBY
Fenomena pemberian bantuan sosial atau bansos langsung kepada masyarakat pertama kali dilakukan pada era pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Presiden SBY menggunakan istilah BLT, Bantuan Langsung Tunai. Program itu untuk pertama kalinya dimulai pada 2005. Kala itu, bantuan diberikan guna meredam efek dari kenaikan harga bahan bakar minyak.
Mengutip Solopos, Presiden SBY menargetkan bantuan kepada keluarga miskin dengan kriteria anak berusia 0 sampai 15 tahun, atau ibu yang sedang mengandung.
Penerima BLT mendapatkan transfer uang tunai senilai Rp300.000 yang dikirim melalui kantor pos. Pembayaran disalurkan dalam tiga tahap pada Oktober dan tambahan senilai Rp300.000. Sisanya, diberikan pada tahun berikutnya, sehingga total insentif yang diterima masyarakat senilai Rp1,2 juta per rumah tangga.
Adapun, program tersebut diberikan kepada keluarga pendaftar selama enam tahun.
Dalam Nota Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2005 disebutkan bahwa 5 bantuan sosial ditetapkan Rp17,1 triliun atau 6,4% dari belanja pemerintah pusat.
Bantuan sosial dalam tahun 2005 tersebut diberikan dalam bentuk cadangan anggaran untuk penanggulangan bencana Rp2 triliun, dan bantuan yang diberikan melalui kementerial negara/lembaga Rp14,5 triliun.
Pemerintah menyebut anggaran bantuan sosial ini merupakan transfer uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat melalui kementerian negara/lembaga guna melindungi dari kemungkinan terjadinya risiko sosial.
Adapun penggunaannya antara lain untuk penanggulangan bencana alam, serta bantuan untuk sarana peribadatan, beasiswa, pelayanan hukum, usaha ekonomi produktif, dan penanggulangan kemiskinan.
Dalam pelaksanaannya, bantuan sosial yang dikucurkan pemerintah SBY terus meningkat tiap tahunnya. Janji pemerintah untuk memberikan manfaat bantuan sosial selama enam tahun benar-benar direalisasikan.
Dana bantuan sosial yang mulanya digelontorkan senilai Rp17,1 triliun, meningkat menjadi Rp63,18 triliun pada 2011.
Selama bantuan sosial dikucurkan, perkembangan penduduk miskin pada periode tersebut memang relatif menyusut.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, persentase penduduk miskin pada periode pertama BLT dikucurkan sebesar 15,97%. Jumlah itu kemudian susut menjadi 12,36% pada enam tahun pelaksanaan BLT di 2011.
Lonjakan Bansos Era Jokowi
Bantuan sosial yang dulu dicaci, sekarang kenyataannya malah diikuti oleh Jokowi. Bahkan, Jokowi tercatat lebih royal memanjakan masyarakat dengan bantuan langsung dalam bentuk uang tunai.
Jokowi yang semula menolak bansos, karena membudayakan pola hidup masyarakat tidak mandiri dengan bantuan uang tunai, kini malah 'menyuapi' dengan anggaran yang jauh lebih besar.
Pada awal pemerintahnnya, Jokowi tercatat masih memegang teguh pernyataanya itu. Pos belanja bantuan sosial pada masa pemerintahan awalnya dihapuskan.
Jokowi masih memegang teguh prinsip tidak membuat masyarakatnya manja, setidaknya hingga 2 tahun sejak dirinya dilantik jadi presiden pada 20 Oktober 2014.
Jokowi tidak mengambil istilah bantuan sosial. Pada masa pemerintahnya, bantuan itu masuk dalam pos anggaran belanja negara fungsi perlindungan sosial.
Pada 2016, negara mengucurkan Rp150,84 triliun untuk melindungi masyarakatnya dari masalah sosial. Meski jumlah itu berkurang tipis, sebesar 4,6%, dari APBN 2016 senilai Rp158,08 triliun.
Dalam Nota Keuangan APBNP 2016, alokasi anggaran pada fungsi perlindungan sosial tersebut tetap diupayakan untuk mencapai sasaran yang diharapkan, yaitu menurunnya tingkat kesenjangan antarkelompok masyarakat, meningkatnya sasaran program-program perlindungan sosial termasuk perluasan conditional cash transfer,meningkatnya jumlah rumah tangga sangat miskin yang digraduasi dari program perlindungan dan jaminan sosial.
Selain itu, anggaran tersebut ditujukan untuk meningkatnya cakupan pelayanan dasar dan akses masyarakat kurang mampu terhadap ekonomi produktif, meningkatnya akses penduduk rentan dan kurang mampu terhadap air minum dan sanitasi layak, meningkatnya kualitas hidup dan peran perempuan di berbagai bidang pembangunan, meningkatnya akses dan kualitas hidup penyandang disabilitas dan lanjut usia, meningkatnya jumlah pengawasan pelaksanaan perlindungan anak dari tindak kekerasan, eksploitasi, penelantaran, dan perlakuan salah lainnya.
Pada periode itu, diketahui Jokowi telah memiliki program-program sosial yang disalurkan kepada masyarakat seperti Program Keluarga Harapan, Kartu Asistensi Sosial Penyandang Disabilitas Berat (ASPDB), Kartu Asistensi Sosial Lanjut Usia (Aslut), dan Beras Sejahtera (Rastra).
Tidak hanya itu, Jokowi juga menggunakan skema yang sama dengan Presiden SBY dengan mengucurkan bantuan uang tunai saat menanggulangi dampak pandemi Covid-19 pada 2020.
Sebanyak 15,7 juta pekerja bergaji dibawah Rp5 juta yang terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan diberikan Rp2,4 juta oleh negara sebagai stimulus upah di tengah pandemi.
Program-program BLT Jokowi terus berlanjut, seperti BLT untuk minyak goreng pada 2022. Sebanyak 20,5 juta keluarga menjadi sasaran yang akan menerima bantuan Rp100.000 tiap bulan yang akan diberikan selama 3 kali.
“Bantuan itu akan diberikan kepada 20,5 juta keluarga yang termasuk dalam daftar Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan Program Keluarga Harapan (PKH), serta 2,5 juta PKL yang berjualan makanan gorengan,” ungkap Presiden.
Dalam catatan BPS, selama bergulirnya program-program bantuan di era Jokowi, rata-rata penurunan penduduk miskin sejak 2014 sampai dengan 2022 hanya berkisar pada 1%.
Persentase penduduk miskin pada tahun pertamanya menjabat terdapat sebesar 10,96 persen, sedangkan pada 2022 persentase penduduk miskin masih terdapat 9,57%.
Sementara itu, tingkat kesenjangan yang menjadi tujuan utama digulirkannya program bantuan tidak berubah banyak. Pada 2014, rasio gini nasional tercatat sebesar 0,41, sedangkan data BPS per Maret 2023 menunjukkan rasio gini Indonesia berada pada posisi 0,4.
Di sisi lain, program bantuan pemerintah tercatat memiliki kontribusi dalam menjaga daya beli masyarakat. Pasalnya, daya beli masyarakat mengalami peningkatan seiring dengan besarnya bantuan yang dikucurukan oleh pemerintah.
Pengeluaran konsumsi rumah tangga berada pada kisaran 5% terhadap PDB nasional. Jumlah itu sempat mengalami kontraksi 2,63% pada 2020 saat pandemi Covid-19, tapi dengan kucuran dana senilai Rp260,02 trilun pada 2021, konsumsi rumah tangga berhasil kembali tumbuh 2,02%.
Pada tahun ini saja, Jokowi kembali menyiapkan jumlah yang besar untuk menjaga perut rakyatnya tidak kosong. Pemerintah menyiapkan anggaran Rp241,04 triliun untuk belanja perlindungan sosial.
Bahkan, hingga akhir pemerintahannya pada 2024, Jokowi telah menyiapkan warisan sebesar Rp252,77 triliun untuk melindungi rakyat yang ditinggalkannya dari masalah sosial.
Bansos Kurang Mujarab
Jokowi yang dulu menolak mentah-mentah dengan jenis bantuan langsung itu, sekarang seolah terbuai. Nilai bantuan yang dikucurkan pun berlipat-lipat lebih besar dibandingkan dengan pemerintah yang dia kritik.
Alih-alih memberikan pancing ke masyarakat, Jokowi justru terus menyuapi masyarakat dengan ikannya.
Di negara berkembang, urusan perut menjadi persoalan hajat hidup orang banyak.
Mantan Menteri Keuangan (2013-2014) Chatib Basri mengungkapkan bahwa kebijakan bantuan langsung tunai (BLT) maupun bantuan pangan memiliki kekuatan tersendiri di masing-masing sektor ekonomi maupun politik.
Indonesia tercatat masih memiliki 25,90 juta penduduk miskin per Maret 2023, yang sensitif terhadap ketersediaan dan harga pangan. Chatib menjelaskan, BLT menjadi penting untuk pemerintah berikan kala harga pangan, utamanya beras, melambung.
“Dia [BLT] punya implikasi terhadap ekonomi dan politik. Ini justify secara ekonomi, memang harus dikasih BLT ketika harga beras naik,” ujarnya dalam YouTube Total Politik, dikutip Kamis (16/11/2023).
Hal yang masih menjadi tantangan, bahwa negara dengan penduduk miskin yang masih cukup tinggi sangat relevan dengan isu pangan.
Untuk itu harus ada bantalan dari pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat. Faktanya, kata Chatib, walaupun BLT kerap menuai kritik dari berbagai pihak, kebijakan tersebut berdampak baik khususnya politik.
“Orang kalau dikasih BLT itu konkret secara politik, dikasih cash, dikasih support. Kalau yang lain dikasih janji, itu abstrak,” tutur Dede, sapaan akrab Chatib Basri.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui bahwa bantuan langsung tunai (BLT) hingga bantuan sosial (bansos) tidak bisa menjadi solusi utama untuk menuntaskan kemiskinan di Indonesia.
Sri Mulyani menyebut bahwa BLT, bantuan sosial yang biasanya dikirim ke masyarakat dalam bentuk uang tunai, transfer maupun pembagian sembako tidak menjadi solusi utama. Namun, dia menjelaskan hal tersebut bisa menjaga daya beli masyarakat sampai saat ini.
"Kalau dari sisi teori maupun realita itu memang dibutuhkan karena masyarakat membutuhkan support pada minimum konsumsi yang mereka bisa dapatkan. Jadi ini dilakukan untuk menjaga dan meningkatkan daya beli," tuturnya di sela-sela rapat kerja Kementerian Keuangan dan Komisi XI DPR di Jakarta, Rabu (30/8/2023).
Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai dari sederet program kesejahteraan sosial di masa Jokowi, Program Keluarga Harapan (PKH) menjadi jenis bantuan yang paling berhasil.
Menurut Yusuf, acuan keberhasilan itu karena mencapai tujuan seperti mengeluarkan masyarakat dari kondisi kemiskinan dan dalam jangka panjang meningkatkan kapasitas sumber daya manusia keluarga yang menerima bantuan.
“Bantuan sosial yang sifatnya mempersyaratkan kondisi tertentu sebelum suatu keluarga itu mendapatkan bantuan sosial seperti PKH, juga dilakukan di negara lain, dan relatif berhasil,” ujarnya, Selasa (5/12/2023).
Pada saat yang sama, dirinya melihat pada periode kedua kepemimpinan Jokowi, berbagai bantuan sosial lainnya disalurkan sebagai bantuan untuk mitigasi dampak yang muncul dari pandemi Covid-19.
Meski bantuan dilakukan di luar prasyarat, di mana penerima berada di kelas yang lebih tinggi, sehingga daya beli mereka itu tidak sangat tergerus.
Alhasil, bantuan sosial relatif berhasil sebagai solusi sementara untuk peningkatan daya beli masyarakat. Tecermin dari beberapa indikator seperti perbaikan pertumbuhan ekonomi, kemudian peningkatan penjualan riil setelah pandemi, ataupun penurunan penduduk miskin dari titik tertinggi ketika pandemi terjadi.
Di antara keuntungan tersebut, keabsahan data selalu patut dipertanyakan karena berpotensi mengurangi optimalisasi bantuan sosial dalam mencapai target penurunan kemiskinan.
Yusuf menegaskan perlu digarisbawahi bantuan sosial ini tidak bisa bekerja atau berdiri sendiri artinya dalam upaya menurunkan atau mengeluarkan keluarga dari jurang kemiskinan.
“Bantuan sosial perlu dikombinasikan dengan beragam program lain termasuk di dalamnya program penciptaan lapangan kerja. Saya kira ini salah satu kritik yang kemudian bisa disampaikan terkait penyaluran bantuan sosial di era Jokowi selama 2 periode beliau memimpin,” tutupnya.
Namun, besarnya alokasi anggaran bansos menjelang Pilpres 2024 ini memudar dari khitahnya bahwa diperuntukkan sebagai bantalan sosial karena tekanan ekonomi. Dalam hal ini, muatan politik tidak terelakan, apalagi anak Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, menjadi salah satu kandidat cawapres, pendamping Prabowo Subianto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel