Bisnis.com, JAKARTA – BLBI bermula dari keputusan Presiden Soeharto menyuntik dana Rp144,5 triliun kepada 48 bank yang hampir rontok karena kesulitan likuiditas. Sebagian besar bank tersebut didominasi milik swasta.
Persoalan kemudian muncul setelah hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dikeluarkan pada 2000 menemukan BLBI merugikan keuangan negara hingga Rp138,4 triliun. Jumlah itu setara 95,78 persen dari BLBI yang disalurkan senilai Rp144,5 triliun.
Artinya, hanya Rp6 triliun dana BLBI yang balik ke negara. Selebihnya, ‘uang panas’ itu dilarikan oleh para debitur dan obligor BLBI ke berbagai tempat. Paling lazim dana-dana tersebut dilarikan ke negara suaka pajak seperti Singapura dan Hong Kong.
Praktik curang 'obligor' itu menjadikan BLBI sebagai skandal keuangan terbesar dalam sejarah. Pemerintah sampai detik ini juga harus menanggung beban bunga yang ditimbulkan dari pemberian BLBI.
Dalam Laporan Keuangan Tahunan Bank Indonesia diperkirakan, beban BLBI baru tuntas pada 2043. Mundur 10 tahun dari proyeksi berakhir 2033.
Menariknya, setiap kali upaya penyelesaian perkara BLBI digulirkan, negara seolah tak berdaya, prosesnya selalu tak maksimal. Penyebabnya banyak hal. Selain sebagian obligor BLBI lari ke negeri jiran, para elit--baik eksekutif maupun politik, tak pernah tuntas menyelesaikan perkara ini sampai ke akar-akarnya.
Tak heran, hampir 23 tahun berlangsung, dihitung sejak bantuan itu dikucurkan, perkara ini seolah timbul tenggelam. Bahkan, kalau melihat perkembangan perkara belakangan, para obligor maupun debitur BLBI justru punya kesempatan bebas dari jeratan pidana.
“Itu adalah uang rakyat. Saat ini rakyat sedang susah. Tidak boleh utang tidak dibayar,” ujar Menkopolhukam Mahfud MD, Rabu (25/8/2021) lalu.
Mahfud menegaskan pemidanaan para obligor adalah jalan terakhir. Pemerintah memilih jalur lebih soft dibandingkan dengan bersusah payah bertarung di meja pengadilan. Jalur pidana hanya akan ditempuh, jika para obligor BLBI tak patuh.
Satgas sendiri telah mencatat bahwa sisa piutang negara dana dari BLBI maupun aset properti mencapai Rp110 triliun. Jumlah ini cukup besar. Seandainya uang dan aset itu bisa ditagih semua, tentu akan membantu meringankan kas negara yang lagi seret.
Namun, proses penagihan BLBI tetap tak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi, kasus ini telah berumur lebih dari dua dasawarsa, belum lagi BLBI juga telah bercampur aduk dengan kepentingan politik. Kasus terlanjur bias.
Mampukah Satgas mengurai benang kusut BLBI?
Simpang Siur Penyelesaian
Proses penyelesaian kasus BLBI sejatinya sempat ramai pada dekade 2000-an awal. BPK telah menemukan kerugian akibat penyelewengan BLBI.
DPR juga telah berulangkali memanggil pemerintah dan bank sentral. Mereka bahkan membentuk panitia khusus (pansus) untuk menuntaskan persoalan BLBI.
Pada 17 November 2000, sesuai permintaan DPR, pemerintah, dan Bank Indonesia telah menanda tangani Pokok-Pokok Kesepakatan mengenai penyelesaian BLBI sebesar Rp144,5 triliun.
Butir-butir kesepakatan yang signifikan adalah disepakatinya pembagian beban (burden sharing) BLBI, di mana yang menjadi beban pemerintah adalah sebesar Rp120 triliun sedangkan yang menjadi beban BI adalah Rp24,5 triliun.
Namun, semua ikhtiar tersebut belum sepenuhnya berhasil. Para politikus di parlemen tak pernah sepakat dalam menyelesaikan perkara yang telah merugikan negara ratusan triliun dan membebani keuangan negara hingga 2043.
Catatan risalah rapat paripurna ke-6 Tahun 2003-2003, misalnya, menunjukkan berlarutnya penyelesaian kasus tersebut. Sedianya dalam rapat itu panitia khusus atau pansus BLBI melaporkan hasil penyelidikannya. Namun saat rapat berlangsung, pansus justru menunda penyampaian laporan.
"Ketiga pansus, termasuk BLBI, meminta penundaan waktu pembahasan. Pansus dan komisi tersebut belum bisa menyelesaikan pembahasannya," kata Ketua Rapat Soetardjo Soerjoguritno dalam rapat yang dilakukan pada 16 September 2003.
Pada 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan kebijakan yang cukup kontroversial. Dia memberikan pengampunan kepada para obligor BLBI dengan mengeluarkan surat keterangan lunas (SKL).
Salah satu pihak yang memperoleh SKL adalah Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang dikendalikan oleh Sjamsul Nursalim. Kebijakan penerbitan SKL kepada Sjamsul Nursalim dan 27 obligor lainnya ditentang oleh Kepala Bappenas waktu itu Kwik Kian Gie karena berpotensi bermasalah.
Laporan Audit Investigatif Badan Pemeriksan Keuangan (BPK) pada 2017 mengonfirmasi kekhawatiran Kwik Kian Gie. BPK menyimpulkan bahwa pemberian SKL untuk BDNI telah merugikan negara Rp4,58 triliun.
Sementara itu, saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, DPR kembali mengangkat isu BLBI. Mereka sempat membentuk pansus hak angket BLBI.
Meski demikian, pansus ini hanya memantik keriuhan politik, tanpa melahirkan keputusan bulat untuk menuntaskan perkara tersebut. Alhasil, proses penyelesaian BLBI lewat parlemen juga tak pernah menemui titik temu.
Di sisi lain, upaya penegakan hukum untuk menuntaskan perkara yang merugikan negara lebih dari Rp138 triliun juga tak sepenuhnya berhasil. Dalam catatan Bisnis, sejumlah perkara BLBI sebenarnya telah dilimpahkan ke aparat penegak hukum untuk diselesaikan secara pidana.
Salah satu perkara yang kandas saat penyidikan adalah kasus SKL BLBI Sjamsul Nursalim. Kasus Sjamsul sempat menyita perhatian publik. Hal itu bermula dari penyidikan perkara eks Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung. Objek perkaranya adalah penerbitan surat keterangan lunas kepada Bank Dagang Nasional Indonesia.
Bank Dagang Nasional Indonesia adalah salah satu obligor BLBI yang dikendalikan oleh Sjamsul Nursalim. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memperkirakan kerugian negara dari penerbitan SKL terhadap BDNI tembus Rp4,58 triliun.
Semula, hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat memvonis Syafruddin bersalah. Pengadilan kemudian menghukum eks Kepala BPPN itu 13 tahun penjara. Hukumannya diperberat menjadi 15 tahun penjara di tingkat banding.
Namun di tingkat kasasi, Syafruddin justru dibebaskan. MA memang membenarkan dakwaan dari jaksa KPK. Meski demikian, menurut MA, tindakan eks Kepala BPPN Syafruddin Temenggung bukan suatu tindak pidana.
“Perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana. Oleh karena itu terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum,” demikian putusan MA pada 2019 lalu.
Putusan kasasi Syafruddin Temenggung kemudian berimbas pada pengusutan korupsi BLBI, terutama perkara Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Sjamsul Nursalim. Keduanya bebas dari jeratan hukum.
Pada April 2021, KPK mengeluarkan SP3 terhadap kasus pasangan suami istri yang kini menetap di Singapura tersebut.
Jaksa KPK memang sempat mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan kasasi tersebut. Namun, pengajuan PK itu ditolak oleh Mahkamah Agung.
“KPK telah meminta pendapat dan keterangan ahli hukum pidana yang pada pokoknya disimpulkan bahwa tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh KPK," ungkap Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.
Putusan kasasi kasus Syafruddin Temenggung belakangan menjadi dalih oleh pemerintah untuk mengalihkan penyelesaian BLBI dari pidana ke perdata.
Menkopolhukam Mahfud MD bahkan menegaskan langkah itu dilakukan karena perkara BLBI secara pidana telah selesai. "Pidananya sudah tidak ada kata Mahkamah Agung (MA), perdatanya kita tagih," demikian pernyataan Mahfud MD beberapa waktu lalu.
Pidana Kandas Muncul Satgas
Proses penagihan dana BLBI sebenarnya terus berjalan. Namun karena kompleksitas kasusnya, proses penagihan dan upaya penegakan hukum terhadap para obligor BLBI sering tidak efektif.
Keberadaan Satgas BLBI memberi angin segar di tengah frustasi pemerintah maupun aparat penegak hukum yang lagi-lagi gagal menjebloskan para obligor ke penjara.
Di sisi lain, Satgas ini diharapkan mengoptimalkan langkah pemerintah untuk mengembalikan hak negara dari dana BLBI yang nilainya ratusan triliun.
Satgas BLBI dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI.
Kehadiran satgas ini untuk menangani dan memulihkan hak negara berupa hak tagih negara atas sisa piutang negara dari dana BLBI maupun aset properti. Perkiraan pemerintah, BLBI masih mengakibatkan kerugian negara mencapai sekitar Rp110,4 triliun.
"Jadi memang pada saat itu negara melakukan bailout melalui Bank Indonesia yang sampai hari ini pemerintah masih harus membayar biaya tersebut,” ungkap Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pertengahan tahun ini.
Adapun dalam pelaksanaan penanganan, penyelesaian, dan pemulihan hak negara, kelompok kerja (pokja) satgas BLBI dibagi menjadi tiga.
Pertama, Pokja Data dan Bukti yang bertugas melakukan pengumpulan, verifikasi dan klasifikasi, sehubungan penanganan hak tagih BLBI. Pokja ini terdiri atas perwakilan Kementerian Keuangan, BPKP, dan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Kedua, Pokja Pelacakan yang bertugas melakukan pelacakan dan penelusuran data debitur/obligor, jaminan, harta kekayaan lain, dan melakukan koordinasi dan kerja sama dengan pihak lain di dalam dan luar negeri.
Pokja ini terdiri dari perwakilan Badan Intelijen Negara, Kemenkeu, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.
Ketiga, Pokja Penagihan dan Litigasi yang bertugas melakukan upaya penagihan, tindakan hukum/upaya hukum yang diperlukan dalam pengembalian dan pemulihan piutang dana BLBI baik di dalam negeri maupun luar negeri. Pokja ini terdiri dari perwakilan Kejaksaan, Kemenkeu, dan Kemenkopolhukam.
“Tim satgas kita harap akan menggunakan seluruh instrumen yang ada di negara ini. Kita berharap tentu masa tugas tiga tahun bisa dilaksanakan dengan kerja sama yang erat,” pungkas Menkeu.
Para 'Pendosa' BLBI
Dua bulan usai dibentuk, Satgas mulai bekerja. Belum lama ini, mereka telah memangil sejumlah obligor dan debitur Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Nama obligor yang muncul ke publik antara lain putra penguasa Orde Baru, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto dan eks pemilik Bank Pelita Agus Anwar. Selain itu, ada nama Kaharudin Ongko.
Dua nama terakhir diketahui memiliki alat domisili di Singapura dan Indonesia. Agus Anwar bahkan sempat diduga telah mengganti identitasnya menjadi warga Singapura.
Nama lain yang juga diduga berada di Singapura adalah Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim. Sjamsul saat perkaranya masih disidik KPK tak pernah menampakan batang hidungnya. Pun sampai saat ini.
Tak sekadar memanggil para obligor, Satgas juga mulai menyisir aset-aset eks BPPN. Salah satu aset yang disita adalah lahan seluas 251.992 m2 yang berada di kawasan Lippo Karawaci. Penyitaan aset itu sempat menimbulkan perang opini antara pemerintah dan Grup Lippo.
Versi pemerintah lahan yang disita adalah milik Grup Lippo. Lahan itu sebelumnya diberikan kepada pemerintah, melalui BPPN untuk mencicil jumlah utang BLBI.
"Satu aset properti yang dikuasai oleh negara yaitu eks debitur BLBI yaitu aset Lippo Karawaci eks Bank Lippo Group diserahkan kepada BPPN sebagai pengurang kewajiban BLBI," ujar Mahfud.
Sementara itu, pihak Lippo menyatakan bahwa aset yang 'disita' Satgas BLBI tak ada sangkut pautnya dengan Lippo. Konglomerasi usaha milik taipan Mochtar Riady itu mengklaim Lippo ataupun usaha yang berada di bawahnya tak pernah menerima sepersen pun dana dari BLBI.
"Bahwa di antara aset-aset yang dikonsolidasikan di dalam Satgas tersebut ada yang terletak di sekitar pemukiman yang disebut Lippo Karawaci adalah sesuatu hal yang wajar,” demikian penjelasan Lippo
Adapun data Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa piutang yang timbul dari pemberian BLBI sampai 2020 senilai Rp102,3 triliun, naik dibandingkan dengan 2019 yang hanya Rp91,7 triliun.
Total piutang tersebut bisa dikategorikan dalam tiga kelompok aset. Pertama, aset piutang kredit eks BPPN senilai Rp83,4 triliun. Kedua, aset kredit kelolaan PT PPA senilai Rp8,9 triliun. Ketiga, piutang bank dalam likuidasi yang nilainya Rp10,03 triliun.
Jika dilihat berdasarkan kelompok aset tersebut kenaikan jumlah piutang BLBI terjadi pada kelompok aset kredit eks BPPN senilai lebih dari Rp10,7 triliun atau 14,82 persen dibandingkan 2019 yang hanya Rp91,7 triliun.
Data tersebut juga merinci nama-nama bank dan para obligor yang masih memiliki tanggungan terhadap pemerintah. Setidaknya ada sebanyak 22 obligor dan 20 bank dalam likuidasi atau BDL yang masih memiliki tanggungan kepada pemerintah. (Lihat tabel daftar obligor).
Di antara nama yang tertera dalam daftar tersebut ada nama politisi Fadel Muhammad. Fadel adalah obligor terkait Bank Intan yang sampai 2020 belum menuntaskan kewajibannya senilai Rp136,4 miliar.
Selain Fadel, Sjamsul Nursalim yang telah lolos dari jerat pidana, rupanya masih memiliki utang kepada negara senilai Rp470,6 miliar. Uang tersebut berasal dari kewajiban BLBI dari Bank Intan.
Jumlah piutang paling besar, tercatat di dokumen Kemenkeu, adalah milik obligor BLBI Kaharudin Ongko. Nilainya mencapai Rp8,2 triliun. Tagihan itu terdiri dari saldo utang Kaharudin terkait di Bank Arya Pandhuarta senilai Rp359,4 miliar dan Bank Umum Nasional senilai Rp7,8 triliun.
Sayangnya pihak Satgas BLBI tak banyak yang memberikan konfirmasi seputar strategi dan nama obligor yang akan dipanggil untuk menyelesaikan kewajiban tagihan BLBI.
Meski demikian, Kepala PPATK Dian Ediana Rae memaparkan bahwa upaya penelusuran aset baik dalam bentuk aset rekening atau properti bukan perkara yang mudah. Menurutnya, kasus BLBI sangatlah kompleks, sehingga upaya penelusuran sangat menyita banyak waktu.
"Cukup sulit. [Karena] sangat mungkin rekening dan kepemilikan aset menggunakan nama orang lain," jelasnya.
Aset Di Luar Negeri
Sejumlah aset BLBI diperkirakan telah dilarikan para obligor ke luar negeri. Negara yang dicurigai menjadi tempat pelarian para "pendosa" BLBI itu adalah Singapura. Negara yang letaknya sangat dekat dengan wilayah Indonesia.
Di negara Jiran tersebut, sejumlah obligor BLBI hidup tenang tanpa harus takut diuber oleh aparat dari Indonesia. Selain Sjamsul Nursalim, yang memang sudah banyak disebut tinggal di Singapura, nama Kaharudin Ongko dan Agus Anwar juga tercatat memiliki aset di Singapura.
Aset Kaharudin Ongko dan Agus Anwar di Singapura terungkap dalam pengumuman yang ditujukan kepada kedua obligor BLBI itu. Agus Anwar tercatat memiliki aset dengan alamat 391A Orchard Road Tower A#24-01 Ngee Aan City, Singapura.
Sementara itu, Kaharudin Ongko tercatat memiliki alamat yang berada di kawasan Peterson Hill, Singapura.
Selain aset properti penelusuran yang dilakukan Bisnis juga menunjukkan bahwa puluhan aset berupa rekening nonstro milik debitur dan obligor BLBI juga tersimpan di sejumlah bank di luar negeri. Selain Singapura, dana milik para obligor BLBI tersebut berada di sejumlah negara, antara lain Australia, Amerika Serikat, Hong Kong, Jepang, hingga Belanda.
Bank BDNI misalnya, bank yang sebelumnya dikendalikan oleh Sjamsul Nursalim tersebut tercatat memiliki sejumlah rekening yang berada di dalam negeri dan di luar negeri. Dalam dokumen aset nonstro yang tercatat, BDNI tercatat memiliki rekening yang tersimpan di Singapura, Malaysia, hingga bank di Belanda.
Salah satu bank penyimpan yang menarik perhatian adalah keberadaan Bank Indover yang sudah dibekukan. Sampai akhir Desember 2021 bank yang berbasis di Belada ini tercatat menyimpan 25 rekening nonstro eks BPPN.
Selain BDNI milik Sjamsul Nursalim, Bank Umum Nasional milik duo taipan alm Bob Hasan dan Kaharudin Ongko, juga memiliki rekening nonstro di Bank Indover.
Bank Indover tercatat memiliki sejumlah persoalan terkait dengan hukum. Bank Indover sejatinya adalah eks anak usaha milik Bank Indonesia. Pada 2008, Bank Indover sempat mengalami kesulitan likuiditas. Akibatnya bank tersebut dinyatakan pailit. Dalam rapat tertutup di DPR diputuskan untuk membekukan Bank Indover.
Dalam Laporan Keuangan Bank Indonesia 2020, sampai saat ini sengketa atau persoalan hukum terkait dengan Bank Indover belum sepenuhnya usai. Meski demikian, pada 28 Juni 2019 Supreme Court Belanda telah memenangkan BI dalam sengketa tersebut. Bank Sentral kemudian berhak mencairkan klaim atas trustees Bank Indover.
Sampai akhir 2020, BI mencairkan trustees Bank Indover senilai 36,5 juta Euro atau 83,9 persen dari total klaim senilai 43,5 juta Euro.
Dian Ediana Rae memaparkan bahwa pihaknya terus berupaya melacak keberadaan aset-aset milik eks BLBI. Dian mengakui kondisi itu memang cukup sulit. Pasalnya, aset tersebut tersebar di sejumlah tempat baik di dalam negeri maupun di luar Negeri.
Menurutnya, untuk mengoptimalkan proses penelusuran tersebut, pihaknya telah menggandeng financial intelligence unit atau inteligen keuangan di sejumlah negara dalam pelacakan aset-aset itu.
"Informasi tersebut sangat bermanfaat bagi Satgas BLBI dalam rangka asset tracking dan asset recovery," ujarnya.
Kenapa Tommy Soeharto?
Nama Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto dan PT Timor Putra Nasional (TPN) tiba-tiba mencuat dalam proses penagihan yang dilakukan oleh Satgas BLBI. Peristiwa itu kemudian langsung menyita perhatian.
Sebagian orang mempertanyakan korelasi antara produsen mobil Timor, Tommy Soeharto dan utang BLBI.
Anggota Komisi XI DPR dari Partai Gerindra, Kamrussamad, misalnya, menyebut bahwa perusahaan Tommy itu tidak masuk sebagai salah satu obligor BLBI. Artinya, pemanggilan Tommy dalam konteks PT Timor dan BLBI patut dipertanyakan.
"TPN itu tidak pernah menerima dana BLBI. Tetapi justru dipanggil sebagai obligor," kata Kamrussamad saat rapat dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pekan lalu.
Menurut politikus Gerindra itu TPN telah diambil alih oleh BPPN. Sebagian asetnya juga telah dilego oleh negara dan hasilnya juga disetor ke negara. "Ini yang perlu dijelaskan," ujarnya.
Tommy Soeharto sedianya dipanggil pada Kamis (26/8/2021) lalu. Namun putra bungsu mendiang Presiden Suharto itu tak datang memenuhi panggilan dari pihak Satgas BLBI.
Dalam catatan Bisnis, pemanggilan Tommy Soeharto sejatinya terkait dengan jumlah piutang negara Nomor PJPN-375/PUPNC.10.05/2009 tanggal 24 Juni 2009. Nilai utang yang akan ditagih oleh Satgas BLBI adalah senilai Rp2,6 triliun.
PT TPN sendiri memang telah terlibat sengketa dengan Kementerian Keuangan sejak beberapa tahun terakhir. Namun pada 2018 lalu, Mahkamah Agung (MA) telah menolak peninjauan kembali atau PK kedua yang diajukan oleh pihak Timor Putra Nasional.
Alhasil, Kemenkeu memenangkan perkara tersebut dan berhak menagih kepada perusahaan milik Tommy Soeharto.
Adapun secara kronologi, kasus itu bermula ketika PT TPN memperoleh fasilitas kredit dari Bank Bumi Daya (sekarang Bank Mandiri) dengan jaminan kredit antara lain dana rekening giro dan rekening deposito atas nama PT TPN pada Bank Bumi Daya.
Karena utang TPN tersebut telah macet, maka pada 31 Maret 1999 utang PT TPN tersebut dialihkan Bank Bumi Daya kepada BPPN. Singkat kata, setelah proses yang cukup panjang, sisa piutang yang harus ditagih kepada TPN senilai Rp2,3 triliun.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara sekaligus Ketua Satgas BLBI Rionald Silaban memaparkan kronologi penagihan terhadap PT Timor Putra Nasional. Menurutnya, munculnya surat penagihan itu tak lepas dari status hukum sengketa antara Kemenkeu dengan pihak TPN.
Rionald menuturkan bahwa sebelum proses penagihan dilakukan pihaknya telah menerima surat dari Kejaksaan Agung bahwa dengan adanya putusan PK kasus TPN, kembali menjadi hak pemerintah. "Sehingga kami harus menagih," ujar Rionald.
Satgas, kata Rionald, juga akan fokus untuk memburu atau menyisir aset baik keuangan maupun properti milik para obligor yang belum melunasi kewajibannya. Sementara itu, bagi obligor yang telah menerima SKL pada 2004, pihaknya tidak akan menagihnya lagi.
"Mereka yang telah memperoleh SKL tidak dilakukan lagi. Yang kita lakukan adalah perdata. Jadi SKL kita hormati," tukasnya.
Utang Sampai 2043
Skandal BLBI tidak saja menyisakan puluhan obligor yang belum melunasi utangnya kepada pemerintah, tetapi juga membebani keuangan negara sampai dengan 2043.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat meluncurkan Satgas BLBI pada Juni lalu sempat menyinggung mengenai beban keuangan pemerintah akibat BLBI.
“Jadi saat itu pemerintah memang melakukan bailout, yang sampai saat ini pemerintah harus membayar biaya tersebut,” kata Sri Mulyani dalam keterangan resmi pertengahan tahun ini.
Dikutip dari Laporan Keuangan Tahunan Bank Indonesia, pada tahun 2003 lalu, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) telah menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) terkait dengan penyelesaian BLBI.
Salah satu instrumen penyelesaiannya adalah penerbitan obligasi negara dengan nomor seri SRBI-01.
SRBI-01 diterbitkan sebagai pengganti SUP Nomor SU-001/MK/1998 dan Nomor SU-003/MK/1999. Nilai nominal SRBI-01 adalah senilai Rp144,5 triliun, yang semula jatuh tempo pada tahun 2023.
Namun demikian, pada tanggal 31 Juli 2012 telah ditandatangani revisi Surat Keputusan Bersama (SKB) Tahun 2003 oleh Gubernur BI, Menteri Keuangan, dan Menteri Koordinator Perekonomian.
Revisi SKB itu memuat restrukturisasi Obligasi Negara Seri SRBI-01/MK/2003 yang semula pembayaran sekaligus (bullet payment) pada saat jatuh tempo tahun 2033 dengan sistem self-liquidating, menjadi pembayaran dengan metode cicilan (amortized) yang jatuh tempo tahun 2043.
Perubahan ini kemudian berimbas pada sejumlah butir kesepakatan antara pemerintah dan BI dalam penyelesaian BLBI. Pertama, SRBI-01 mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 2003, dan jatuh tempo pada tanggal 1 Agustus 2043.
Kedua, SRBI-01 dikenakan bunga tahunan sebesar 0,1 persen dari sisa pokok, yang dibayar oleh Pemerintah setiap enam bulan sekali, yaitu pada bulan Februari dan Agustus.
Ketiga, pokok SRBI-01 dibayar setiap tanggal 1 Februari dan 1 Agustus setiap tahunnya sehingga angsuran terakhir jatuh tempo dan dibayar pada tanggal 1 Agustus 2043.
Adapun pembayaran angsuran pokok dilakukan secara tunai atau dari surplus Bank Indonesia yang menjadi bagian pemerintah.
Sampai dengan akhir tahun lalu, BI mencatat pemerintah telah melakukan pembayaran angsuran pokok SRBI-01 dari sisa surplus Bank Indonesia yang menjadi bagian pemerintah.
“Baki debet SRBI-01 per 31 Desember 2020 adalah sebesar Rp49 triliun,” tukas laporan BI.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel