Donald Trump Menggebrak Dunia!

Bisnis.com,24 Jan 2025, 05:20 WIB
Penulis: Aprianto Cahyo Nugroho

Bukan Donald Trump namanya jika tidak membuat gebrakan dalam berbagai kebijakannya. Bukan hanya saat dirinya menjabat pada periode pertama, namun juga pada hari pertama dirinya menjabat sebagai Presiden AS ke-47, masa jabatan keduanya.

Setelah pelantikannya pada 20 Januari 2025, Trump menjadi presiden kedua yang menjabat dua kali masa jabatan secara berturut-turut setelah Grover Cleveland (1885-89; 1893-97).

Beberapa jam setelah dirinya dilantik pada Senin (20/1/2025), Trump menandatangani serangkaian perintah eksekutif, atau executive orders. Sebagian besar perintah ini bertujuan membatalkan kebijakan Joe Biden sebelumnya dari berbagai isu, termasuk imigrasi, energi, lingkungan, hingga keberagaman.

Salah satu langkah Trump yang paling signifikan pada hari pertama adalah mendeklarasikan keadaan darurat energi nasional. Langkah ini bertujuan untuk memperluas produksi energi, menghapus peraturan, dan mengakhiri peraturan untuk mempercepat transisi ke kendaraan listrik.

Sebagai bagian dari langkah ini, Trump menandatangani perintah eksekutif untuk meningkatkan pengembangan minyak dan gas di Alaska, membatalkan upaya Biden untuk melindungi tanah dan perairan AS paling utara ini dari pengeboran migas.

Dia mengaku bakal mengerahkan jajaran kabinetnya untuk mengatasi inflasi yang telah menembus rekor dan menurunkan biaya bagi konsumen. Menurutnya, inflasi hingga mencatatkan rekor ini terjadi akibat besarnya pengeluaran dan kenaikan harga energi.

" Krisis inflasi disebabkan oleh pengeluaran besar-besaran dan kenaikan harga energi dan itulah sebabnya hari ini saya juga akan mengumumkan keadaan darurat energi nasional. Kita akan terus berusaha," ujar Trump dalam pidatonya.

Langkah-langkah ini menandakan perubahan dramatis dalam kebijakan energi Washington setelah mantan Presiden Joe Biden berusaha selama empat tahun untuk mendorong transisi dari bahan bakar fosil di negara dengan ekonomi terbesar di dunia ini.

“Amerika akan menjadi negara manufaktur sekali lagi, dan kita memiliki sesuatu yang tidak akan dimiliki oleh negara manufaktur lain: jumlah minyak dan gas terbesar di dunia,” kata Trump dalam pidato pelantikannya.

Perjanjian Paris

Selain darurat energi, Trump juga secara resmi kembali menarik AS keluar dari Perjanjian Paris. Hal ini juga dituangkan dalam salah satu perintah eksekutifnya.

Hengkangnya AS dari kesepakatan iklim global sejatinya telah diantisipasi berbagai pihak. Donald Trump tercatat melakukan aksi serupa saat  menjabat sebagai presiden di periode pertama pada 2017.

“Saya segera menarik diri dari kesepakatan iklim Paris yang tidak adil dan sepihak,” kata Trump di hadapan para pendukungnya sebelum menandatangani perintah eksekutif dan menyampaikan notifikasi resmi ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Dalam pengumuman itu, Trump juga menyebutkan bahwa Amerika Serikat tidak akan mempertahankan komitmen pada kesepakatan iklim yang dia sebut mengorbankan industri dalam negeri AS.

Trump berpandangan Perjanjian Paris tidak adil karena komitmen pengurangan emisi karbon yang ketat tidak diterapkan pada China, polutan terbesar di dunia.

Sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Paris, Amerika Serikat dan China memang memiliki tingkat komitmen pengurangan emisi karbon dan kewajiban finansial yang berbeda.

Perbedaan komitmen ini mengacu pada kategori tingkat ekonomi, Amerika Serikat dalam kelompok negara maju dan China merupakan negara berkembang.

Keluarnya AS dari Perjanjian Paris diperkirakan tidak berlaku segera. AS harus menyampaikan notifikasi resmi kepada PBB soal penarikan diri ini dan menunggu satu tahun agar keputusan ini berlaku.

Terlepas dari keputusan Trump, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres tetap meyakini bahwa bisnis dan pemerintahan tingkat kota di AS akan melanjutkan visi dan komitmen untuk merealisasikan ekonomi rendah karbon yang dapat menghasilkan lapangan kerja berkualitas.

“Amerika Serikat harus tetap menjadi pemimpin dalam isu-isu lingkungan. Upaya kolektif di bawah Perjanjian Paris telah membawa perubahan, tetapi kita perlu bergerak jauh lebih cepat dan lebih jauh bersama,” kata Juru Bicara Guterres, Florencia Soto Nino.

Keluar dari WHO

Membawa AS keluar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga menjadi salah satu langkah berani Trump. salah satu contohnya. Langkah ini ditempuh melalui penandatanganan perintah eksekutif, salah satu di antara puluhan perintah serupa, beberapa jam setelah pelantaikannya.

Alasannya, WHO dianggap gagal menangani pandemi Covid-19 dan tidak efektif dalam mengelola berbagai krisis kesehatan internasional lainnya.

Menurut Trump, WHO terlalu terpengaruh oleh kepentingan politik dari negara-negara anggota. Hal ini lantas membebani AS dengan kontribusi pembayaran yang tidak proporsional dibandingkan dengan negara-negara besar lain, seperti China.

"Organisasi Kesehatan Dunia menipu kita, seperti halnya banyak pihak lain yang selalu mengambil keuntungan dari Amerika Serikat. Ini tidak akan terjadi lagi," tegas Trump, seperti dikutip Reuters, Selasa (21/1/2025).

Dengan penandatanganan perintah eksekutif ini, AS akan memulai proses penarikan diri dari badan kesehatan PBB tersebut yang berlangsung selama 12 bulan.

Dampaknya, AS akan menghentikan seluruh kontribusi keuangan terhadap WHO. Padahal, AS adalah penyumbang terbesar WHO dengan kontribusi sekitar 18% dari total pendanaan organisasi itu.

Anggaran WHO untuk periode 2024-2025 mencapai US$6,8 miliar. Adapun AS berkontribusi sebesar US$1,284 miliar pada periode 2022-2023, disusul Jerman dengan US$856 juta dan Bill & Melinda Gates Foundation senilai US$830

Keputusan ini tidak mengejutkan mengingat Trump sebelumnya sudah mengambil langkah serupa pada 2020, selama periode pertamanya sebagai presiden. Saat itu, ia menuduh WHO mendukung upaya China untuk "menyesatkan dunia" terkait asal-usul Covid-19.

Sayangnya, langkah Trump terhenti setelah Joe Biden menjadi Presiden AS. Pada Januari 2021, sebelum masa proses penarikan diri selama 12 bulan berakhir, Biden mencabut penarikan diri tersebut.

Hal ini dimungkinkan karena saat menjadi anggota WHO pada 1948, AS memutuskan bahwa penarikan diri akan didahului dengan periode pemberitahuan satu tahun dan pembayaran penuh kewajiban keuangan.

Perintah Eksekutif

Serangkaian kebijakan yang diambil oleh Donald Trump tersebut hampir seluruhnya merupakan perintah eksekutif.

Perintah eksekutif sendiri ditandatangani oleh presiden AS yang memungkinkannya untuk membuat kebijakan tanpa perlu melalui proses persetujuan kongres. Hal ini dimungkinkan karena Pasal II Konstitusi AS memberikan kewenangan kepada presiden untuk menegakkan hukum yang mengatur perintah eksekutif.

Presiden dapat meminta salah satu lembaga federal untuk menyusun sebuah perintah eksekutif, atau lembaga tersebut dapat mengajukan perintah eksekutif ke Gedung Putih.

Perintah eksekutif dapat dicabut oleh presiden berikutnya, digugat di pengadilan, atau diperiksa oleh Kongres. Begitu pula dengan perintah eksekutif Trump yang kemungkinan besar bakal mendapat pertentangan di pengadilan.

Selain sebagian kebijakan Trump melalui perintah eksekutif ini mengagetkan, dalam masa kepemimpinannya, Trump terbilang cukup sering menandatangani perintah eksekutif jika dibandingkan dengan presiden AS lainnya.

Sepanjang periode pertamanya pada 2017-2021, Donald Trump tercatat telah menandatangani 222 perintah eksekutif. Jumlah ini lebih tinggi dari perintah eksekutif yang ditandatangani Joe Biden selama masa kepemimpinannya. Sejak 2021-2025, Biden telah menandatangani 162 perintah eksekutif.

Barack Obama pun menandatangani lebih sedikit perintah eksekutif saat dia menjabat sebagai presiden AS. Pada periode pertamanya, Obama meneken 147 perintah eksekutif dan 129 pada masa jabatan kedua.

Adapun pada periode kedua Presiden Trump, dalam beberapa hari saja, tercatat sudah ada 26 perintah eksekutif yang dirilis.

Selain perintah eksekutif yang disebutkan sebelumnya, Trump juga merilis executive orders yang bertujuan memperketat perbatasan, terutama di bagian selatan dengan Meksiko.

Beberapa perintah eksekutif yang pada dasarnya melindungi tanah Amerika dari imigran ini antara lain menolak suaka bagi orang-orang yang baru tiba di perbatasan dengan Meksiko.

Trump juga mengakhiri kewarganegaraan berdasarkan keturunan, yang dijamin oleh Amandemen ke-14, untuk anak-anak imigran tidak berdokumen, menangguhkan Program Penerimaan Pengungsi hingga saat masuknya pengungsi ke AS sesuai dengan kepentingan Amerika Serikat.

Selain itu, Trump menerapkan keadaan darurat nasional atas imigrasi di sepanjang perbatasan AS-Meksiko.  Hal ini memungkinkan Trump secara sepihak membuka akses dana federal untuk pembangunan tembok perbatasan dengan Meksiko, tanpa harus melalui persetujuan kongres.

Kebijakan Perdagangan dan Dampaknya

Dari sisi ekonomi, khususnya perdagangan, para pelaku pasar perdagangan internasional sempat bernafas lega ketika Presiden Trump, dalam pidato pelantikannya, tidak menindaklanjuti janjinya untuk segera memberlakukan tarif perdagangan baru pada hari pertamanya menjabat.

Namun, kelegaan tersebut hanya berlangsung sesaat. Pada Senin malam, hanya beberapa jam setelah pidato pelantikannya, Trump mengatakan bahwa dia berencana untuk mengenakan tarif 25% terhadap impor dari Kanada dan Meksiko mulai 1 Februari.

Penasihat perdagangan Gedung Putih Peter Navarro mengatakan, ancaman tarif Trump terhadap Kanada dan Meksiko adalah untuk menekan kedua negara agar menghentikan migran ilegal dan obat-obatan terlarang memasuki AS.

Pada Selasa malam, Trump mengatakan bahwa ia juga akan mengenakan tarif tambahan 10% pada produk China bersamaan karena dianggap mengirimkan fentanil ke Meksiko dan Kanada, yang kemudian ke Amerika Serikat.

"Alasan mengapa dia mempertimbangkan tarif 25, 25 dan 10 [persen], atau berapa pun jumlahnya, untuk Kanada, Meksiko, dan China, adalah karena 300 warga Amerika meninggal setiap hari akibat overdosis fentanil," kata Navarro seperti dikutip Reuters, Rabu (22/1/2025).

Meskipun Trump nyatanya belum menerapkan tarif sebesar yang dia janjikan pada masa kampanyenya, kebijakannya terkait tarif perdagangan global masih menimbulkan ketidakpastian yang berkepanjangan.

Head of Asia Pacific Economic & Market Analysis Citi Research Johanna Chua mengatakan kekhawatiran terbesar bagi pasar, khususnya pasar Asia, adalah ketidakpastian terkait kebijakan perdagangan. Meskipun begitu, risiko ini tidak sebesar dibandingkan saat masa kampanye Trump.

“Ketika Trump berkampanye, dia sangat agresif terhadap China. Begitu dia menang, Anda akan menyadari bahwa dia menang sebagian besar karena biaya hidup, inflasi, dan karena perbatasan serta imigrasi,” ungkap Johanna kepada Bisnis, Rabu (22/1/2025).

Johanna memperkirakan untuk saat ini Trump tidak akan menerapkan tarif menyeluruh terhadap semua negara, bahkan hingga mencapai tarif 60% seperti yang Trump gaungkan saat kampanye.

Johanna mengatakan kebijakan yang akan diambil Trump dalam kepemimpinan di periode kedua tidak akan seagresif saat dia menjabat di periode pertama. Hal tersebut memberikan sedikit ruang bagi pasar, terutama di Asia.

“Terlepas dari semua pembicaraan dan fakta bahwa dia sangat agresif dalam Trump 1.0, ada semacam batasan seberapa jauh dia bisa melangkah saat ini. Dan hal itu, di satu sisi, memberikan sedikit kelegaan dibandingkan sebelumnya,” jelasnya.

Ada alasan mengapa Trump diperkirakan tidak akan seagresif dalam menetapkan kebijakan perdagangan, terutama dengan China. Johanna mengatakan hal ini karena Negeri Panda tersebut masih memiliki pangsa pasar yang sangat dominan.

“Seperti impor AS dari China, banyak barang yang tidak ada substitusinya. China memiliki pangsa pasar yang sangat dominan,” jelasnya..

Selain itu, dibandingkan pada periode pertama pemerintahan Trump pada 2017, posisi China saat ini sebenarnya lebih melekat ke dalam rantai pasokan global.

“Faktanya, pangsa pasar manufaktur dan ekspor China sebenarnya telah meningkat dibandingkan tahun 2017. Jadi, meskipun AS menekan impor dari China, tetapi seluruh dunia mengimpor lebih banyak,” lanjutnya.

Tujuan Trump menggunakan tarif sebagian juga karena ingin memulihkan daya saing industri Amerika. Namun, menurut Johanna, jika perdagangan China tertahan oleh kebijakan tarif Trump, maka rantai pasokan global yang masih terintegrasi akan terpecah.

“Jadi di satu sisi, risiko tarif yang sangat agresif sebenarnya akan membuat industri AS menjadi lebih tidak kompetitif,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor: Aprianto Cahyo Nugroho
Terkini