Ketika virus bernama Covid-19 mulai menyebar ke seluruh penjuru dunia, banyak negara kocar-kacir dibuatnya. Kesehatan masyarakat terancam. Setiap detiknya angka infeksi naik tajam.
Penutupan perbatasan antar negara hingga perkantoran dan pabrik turut menekan perekonomian. Tahun 2020 jadi puncak krisis pandemi Covid-19.
Bahkan, ketika angka infeksi dalam tren turun jelang tutup tahun 2021, varian Covid-19 tetap menjadi ancaman. Hal tersebut diperkuat dengan pemulihan yang tidak merata di berbagai kawasan.
Imbasnya, daftar panjang perusahaan multinasional yang mengalami kebangkrutan masih mengular. Nama-nama seperti Hertz, Brooks Brothers, J.Crew hingga Virgin Atlantic diketahui sempat mengajukan pailit dan gulung tikar pada 2020.
Tidak hanya bangkut, beberapa perusahaan diketahui mengalami lonjakan utang sepanjang 2020-2021. Berdasarkan data Statista pada 2020, perusahaan telekomunikasi AT&T menduduki peringat pertama sebagai perusahaan yang paling berutang di dunia.
Total utangnya mencapai US$147,2 miliar atau Rp2,1 kuadriliun (Rp14.300/US$). Posisi kedua diduduki oleh Ford Motor Company dengan US$114,4 miliar atau Rp1,63 kuadriliun.
Perusahaan paling berutang ketiga dan keempat adalah Verizon dan Comcast dengan tanggungan utang masing-masing US$106,5 miliar dan US$105,7 miliar.
Keduanya adalah perusahaan yang bergerak dalam industri komunikasi.
Sayangnya, dunia - bahkan sebagian besar investor di pasar keuangan dunia - tidak memperhatikan daftar ini. Covid-19, pilpres AS, dan rangkaian kebijakan keras China mengaburkan semuanya.
Perusahaan properti dari Negeri Panda diam-diam menyematkan status sebagai perusahaan dengan utang terbesar keenam di dunia pada 2020. Perusahaan itu adalah Evergrande Group. Utang perusahaan yang didirikan oleh Xu Jiayin dan Hui Ka Yan ini telah mencapai US$100 miliar.
Namun, tak ada tanda-tanda bunyi alarm di pasar uang. Tahun 2020 berlalu tanpa guncangan berarti di pasar keuangan global. Dunia disibukkan dengan pencarian vaksin Covid-19.
Pasar hampir tak mendengar apapun sebelum badai Evergrande itu datang. Hanya suara bising dari China yang tak henti-hentinya merilis kebijakan kerasnya, dan mengacaukan rencana melantai ke bursa (initial public offering/IPO) perusahaan teknologinya di bursa Amerika Serikat (AS) serta investor yang menanti langkah tapering The Fed.
Harus diakui, semuanya baik-baik saja saat itu. Hingga pada akhir Juli, mata pasar beralih ke Evergrande. S&P memangkas peringkat Evergrande menjadi B- dari sebelumnya B+ pada 26 Juli 2021. Saham Evergrande merosot hingga 65 persen sejak September tahun lalu.
Evergrande dilaporkan mengirim surat kepada pemerintah provinsi Guangdong - Guangzhou adalah ibu kotanya- pada Agustus 2020.
Surat itu memperingatkan para pejabat bahwa pembayaran yang jatuh tempo pada Januari 2021 dapat menyebabkan krisis likuiditas dan berpotensi menyebabkan cross default di sektor keuangan yang lebih luas.
Laporan permohonan bantuan kemudian muncul pada 24 September 2020. Surat itu, yang beredar luas di media sosial. Namun, Evergrande kemudian membantah keasliannya.
Bak bola salju, semua informasi perusahaan terkuat di publik. Pada September 2021, Perusahaan real estat ternyata telah mengalami kenaikan utang hingga tiga kali lipat dari tahun lalu.
Utang perusahaan tercatat sebesar US$300 miliar atau Rp4,29 kuadriliun (Rp14.300/US$). Angka yang fantastis ini otomatis membuat Evergrande menempati posisi wahid sebagai perusahaan yang paling berutang di muka bumi.
Dikutip dari New York Times, perusahaan memakai skema menjual apartemen sebelum dibangun untuk mendulang pendapatan. Model ini memungkinkan korporasi untuk tumbuh dengan cepat seiring dengan urbanisasi negara.
Kemudian, perusahaan menumpuk utang untuk mendapatkan pundi-pundi modal dengan agunan proyek. Mencoba masuk pada usaha bisnis baru, seperti klub sepak bola yang tidak menguntungkan, dan investasi pada perusahaan kendaraan listrik.
Kejatuhan Sang Raksasa Properti
Evergrande Real Estate memiliki lebih dari 1.300 proyek di lebih dari 280 kota, menurut situs web perusahaan. Perusahaan pun berkomitmen untuk membangun setara dengan sekitar 1,4 juta properti.
Terlepas dari ambisinya, grup ini sudah melangkah jauh melampaui bisnis pembangunan rumah, dengan membenamkan investasi pada industri kendaraan listrik, yakni Evergrande New Energy Auto.
Perusahaan juga memiliki unit produksi internet dan media yang bernama HengTen Networks, taman hiburan Evergrande Fairyland, klub sepak bola Guangzhou FC dan air mineral dan perusahaan makanan dengan merek Evergrande Spring. Selain itu, perusahaan memiliki 200 perusahaan offshore dan 2.000 anak usaha domestik di China, menurut data Bloomberg.
Sayangnya, ambisi bisnis Evergrande mengalami jalan buntu. Khawatir gelembung perumahan dapat menyebabkan krisis yang akan bergema melalui sistem keuangan China, pemerintah China mulai menindak kebiasaan meminjam di sektor properti pada 2020.
Bahkan, Presiden China Xi Jinping telah mengingatkan bahwa rumah adalah untuk tempat tinggal, bukan untuk spekulasi. Dari pernyataan tersebut, People's Bank of China merilis aturan baru, yang disebut 'tiga garis merah'. Aturan ini memaksa perusahaan properti untuk mulai melunasi tagihan mereka. Evergrande masuk dalam target utama utama aturan tersebut.
Evergrande terpaksa banting harga propertinya guna memastikan kasnya tetap lancar. Tidak hanya dikejar aturan bank sentral, Evergrande menghadapi jurang default di depan mata. Evergrande harus membayar pembayaran bunga obligasi dolar AS sebesar US$84 juta (Rp1,2 triliun).
Sebagai catatan, Mattie Bekink dari Economist Intelligence Unit (EIU) mengatakan Evergrande juga memiliki utang di 171 bank lokal China dan 121 perusahaan atau lembaga keuangan lainnya.
Evergrande telah mengumpulkan sekitar US$8 miliar hingga Agustus 2021, dengan menjual saham di unit bisnis kendaraan listriknya, HengTen dan sebuah perusahaan properti Hangzhou dan serta bank regional.
Perusahaan juga menjajaki penjualan untuk bisnis pariwisata dan mungkin juga bisnis air. Namun, tidak satu pun dari mereka yang menawarkan solusi perbaikan cepat, karena penjualan bisnis apa pun mungkin tidak akan selesai sebelum tahun depan. Evergrande pun dikejar waktu.
Perusahaan perlu menghasilkan US$669 juta dalam pembayaran kupon sampai akhir tahun ini. Sekitar US$615 juta di antaranya, harus dibayarkan untuk obligasi dolar AS Evergrande, menurut data yang dikompilasi Bloomberg.
Maret 2022, US$2 miliar obligasi Evergrande akan jatuh tempo, diikuti oleh US$1,45 miliar pada bulan berikutnya.
Sementara Evergrande telah melunasi semua obligasi publiknya tahun ini, pembiayaan kembali pada tahun 2022 akan menjadi tantangan jika akses pengembang ke pasar modal tidak pulih tepat waktu, menurut laporan S&P.
Beijing telah menginstruksikan pihak berwenang di Guangdong - tempat kantor pusat perusahaan - untuk memetakan rencana mengelola masalah utang perusahaan, termasuk berkoordinasi dengan pembeli potensial asetnya.
Pada awal September, regulator China bahkan menandatangani proposal untuk membiarkan Evergrande menegosiasikan kembali tenggat waktu pembayaran dengan bank dan kreditur lainnya, dan ini membuka jalan bagi penangguhan hukuman sementara lainnya.
Ini cobaan besar bagi ekonomi China yang telah perlahan bangkit dari hantaman pandemi Covid-19. Bailout pemerintah China dengan mudah akan memadamkan titik api sebelum membesar dan membakar semuanya. Langkah ini juga akan membuat sistem keuangan lebih tangguh dalam jangka panjang.
Pertanyaannya apakah langkah tersebut akan dipilih China. Sayangnya, hingga berita ini ditulis, petinggi di Beijing tak bergeming terkait dengan bailout.
Regulator keuangan hanya membagikan instruksi kepada Evergrande untuk menjalin komunikasi dengan debitur, membayar bunga guna menghindari default jangka pendek dan memberitahu pengembang untuk menuntaskan proyek yang masih berjalan.
Di benua Eropa, perbankan sibuk meyakinkan investor, klien, dan regulator tentang dampak Evergrande Group.
Credit Suisse Group AG, yang menanggung obligasi Evergrande paling banyak di antara bank-bank internasional dalam 10 tahun terakhir, mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan dana unit manajemen asetnya tidak menahan banyak utang pengembang. Credit Suisse menjangkau pemegang saham dan menegaskan bahwa tingkat eksposur bank sangat minim.
Hal yang sama dilakukan oleh UBS Group AG dan HSBC Holdings Plc.
Sementara itu, bank sentral China telah menyuntikkan 120 miliar yuan atau US$18,6 miliar (Rp266 triliun kurs Rp14.300 per dolar AS) ke dalam sistem perbankan minggu lalu (22/9/2021), setelah adanya kekhawatiran gagal bayar Evergrande Group yang mengacaukan pasar global.
"Injeksi bersih PBOC mungkin bertujuan merelaksasi ketegangan di pasar akibat adanya kekhawatiran tentang Evergrande. Meski tujuannya untuk kedisiplinan, ada juga kebutuhan untuk mencegah penularan ke ekonomi riil atau ke sektor lain," kata Eugene Leow, Ahli Strategi Suku Bunga Senior di DBS Bank Ltd. di Singapura.
Kekhawatiran bank sentral China terbukti, Evergrande melewati deadline pembayaran bunga obligasinya pada Kamis (23/9/2021).
Kini, Evergrande terombang-ambing di tengah ketidakpastian dan tenggat waktu 30 hari sebelum dinyatakan resmi default mulai berjalan.
Dan Beijing diketahui telah meminta pemerintah lokal untuk bersiap menghadapi kejatuhan Evergrande.
Data Bloomberg menunjukkan, hingga Desember 2020, sebanyak 1,5 juta konsumen telah membayar uang muka untuk pembelian properti di Evergrande.
Memori Lehman Brothers
Tak dipungkiri, krisis Evergrande membangkitkan memori kehancuran Lehman Brothers pada 2008.
Investor, bankir, pengamat pasar modal hingga ekonom mencoba mengaitkan Evergrande dan Lehman Brothers. Istilah 'Lehman Brothers China' pun berkembang di pasar.
Lehman Brothers merupakan bank investasi terbesar keempat di AS yang dimiliki oleh tiga saudara Henry, Mayer dan Emanuel.
Kehancuran Lehman Brothers pun dimulai dari spekulasi di pasar properti. Perusahaan berinvestasi di program KPR bagi masyarakat berpenghasian rendah yang dikenal Subprime Mortgage.
Namun, krisis ekonomi global melanda pada 2008 memicu gagal bayar bagi banyak kreditur. Kredit macet melanda. Nilai properti pun anjlok. Aliran kredit perbankan surut. Akhirnya, Lehman harus mengajukan pailit pada 15 September 2008.
Menteri Keuangan Hank Paulson dan regulator keuangan AS menolak penyelamatan Lehman, setelah Bank of America menolak mengakuisisi perusahaan.
Saat dinyatakan bangkrut, Lehman Brothers memiliki utang senilai US$613 miliar atau Rp8,76 kuadriliun (Rp14.300/US$).
Efek Lehman menghancurkan sistem keuangan AS, pasar modal hingga menimbulkan gejolak sosial karena banyak warga yang kehilangan rumah dan pekerjaannya.
Pada 29 September 2008, dikutip dari Nasdaq, Dow Jones ambruk 777 poin dan S&P melorot 8,8 persen.
Kedua indeks saham tersebut mencatatkan selloff terbesar dalam satu hari sepanjang sejarah. Tidak heran, jika Wall Street merasakan deja vu ketika kabar Evergrande nyaris default mencuat.
Dow Jones jatuh hingga 970 poin dan S&P 500 turun 2,9 persen sepanjang perdagangan intraday. Kendati mengalami shock, pasar ternyata masih cukup optimistis.
Ekonom Ed Yardeni dari Yardeni Research meyakini pemerintah China akan melakukan intervensi untuk melindungi ekonominya dan pasar global dari kehancuran. Dia melihat adanya kemungkinan restrukturisasi dan pergantian manajemen.
Citigroup Inc. mengatakan pemerintah China akan mengambil tindakan untuk mencegah krisis Evergrande mengulang momen Lehman Brothers. Namun, beberapa bank diperkirakan menjadi korban.
"Otoritas kemungkinan akan menegakkan dasar untuk mencegah risiko sistemik guna mengulur waktu untuk menyelesaikan risiko utang, dan mendorong pelonggaran marjinal untuk lingkungan kredit secara keseluruhan," tulis tim analis Citigroup termasuk Judy Zhang, dikutip Bloomberg, Selasa (21/9/202).
Sementara itu, Kepala ekonom IMF Gita Gopinath mengatakan bahwa sektor real estate adalah bagian besar dari ekonomi Tiongkok, dan potensi gagal bayar Evergrande dapat berimplikasi pada aktivitas ekonomi dan stabilitas keuangan China.
"Kami masih percaya China memiliki alat dan ruang kebijakan untuk mencegah hal ini berubah menjadi sistemik," ujarnya, dikutip dari Antara.
Pernyataan pakar dan ekonom hebat tersebut memunculkan keyakinan bahwa tragedi Lehman tak mungkin berulang dan badai Evergrande pasti berlalu.
Kendati, keyakinan tersebut masih perlu dibuktikan sebulan ke depan, tepat berakhirnya grace period bagi Evergrande.
Daftar Hitam
Di samping Lehman Brothers, dunia mencatat banyak kebangkrutan perusahaan. Beberapa di antaranya jatuh ke jurang kebangkrutan akibat salah asuhan manajemen, ataupun akibat kerakusan dalam mencari laba sebesar-besarnya sehingga memilih cara-cara gegabah bagi kelangsungan usaha.
Salah satu yang masuk daftar hitam dalam 35 terakhir adalah Washington Mutual. Washington Mutual merupakan bank simpan pinjam konservatif.
Bank tersebut ikut terseret dalam krisis Subprime Mortgage. Washington Mutual menjadi bank gagal bayar terbesar dalam sejarah Amerika Serikat.
Kehancurannya disebabkan oleh sejumlah faktor termasuk krisis perumahan pada tahun 2007, ekspansi cabang yang kelewat cepat, runtuhnya pasar sekunder untuk sekuritas yang didukung hipotek, dan dampak dari kebangkrutan Lehman Brothers.
Perusahaan mengajukan kebangkrutan pada tanggal 26 September 2008. Total aset sebelum bangkrut mencapai US$327,9 miliar.
Selain Washinton Mutual, ada lagi kebangkrutan yang meraih sorotan dunia, yaitu kebangkrutan dari raksasa otomotif General Motors.
General Motors mengajukan kebangkrutan pada 1 Juni 2009, setelah bertahun-tahun mengalami kerugian, penurunan pangsa pasar, dan penurunan penjualan yang drastis.
Meskipun perusahaan mendapatkan bantuan US$19,4 miliar dari pemerintah federal, General Motors tidak dapat 'menganti persneling' untuk menghindari jurang kebangkrutan.
Pemerintah AS pun harus menggelontorkan US$30 miliar lagi ke GM untuk mendanai operasi selama reorganisasinya.
Presiden AS George W Bush saat itu mengumumkan rencana penyelamatan perusahaan tersebut.
Namun, upaya penyelamatan ini tidak benar-benar memulihkan nama General Motors di pasar global.
Peringkatnya dalam Global 500 Fortune perusahaan pada 2020 harus turun ke posisi 40 dari posisi 32 pada 2019. Bahkan, merek kendaraannya seperti Chevrolet dan Ford, kalah saing dengan Tesla besutan Elon Musk.
Pada akhirnya, harus diakui bahwa sebaik-baik perusahaan adalah mereka yang bertahan dengan disiplin manajemen risiko yang baik. Dan seburuk-buruknya perusahaan adalah mereka yang bertaruh tanpa memahami risiko.
Mengutip kata Tom DeMarco, insyinyur perangkat lunak terkenal di AS, manajemen yang baik adalah sumber hidup bagi perusahaan yang sehat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel