Jasa Keuangan, Tetap Kokoh Diterpa Badai Pandemi

Bisnis.com,23 Jul 2021, 08:24 WIB
Penulis: Annisa Sulistyo Rini

Tak terasa sudah setahun lebih pandemi Covid-19 melanda Indonesia sejak diumumkan kasus pertama pada 2 Maret 2020. Hingga kini, belum terlihat tanda-tanda pagebluk berakhir. Malah kasus kembali melonjak sejak merebaknya varian Delta sampai memaksa pemerintah mengambil langkah penerapan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat.

Pada awal kasus virus Corona masuk ke Tanah Air, banyak sektor ekonomi dan pelaku usaha kelabakan. Bagaimana tidak, pandemi membuat seluruh aktivitas masyarakat dibatasi untuk menekan penyebaran virus. Sektor UMKM yang dulu mampu survive atau bertahan dari krisis finansial, terseok, terpukul pandemi.

Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk. (BCA) Jahja Setiaatmadja menggambarkan kondisi di awal pandemi diibaratkan diminta maju ke medan perang, tetapi belum memiliki strategi dan senjata. Ngeri kata Jahja.

Namun, seiring dengan berjalannya waktu, para pelaku bisnis pun telah belajar bagaimana berdamai dengan keadaan yang tidak mungkin dihindari. 

Menurut Jahja penting bagi pelaku industri jasa keuangan mampu berinovasi untuk bisa bertahan di tengah pandemi, melengkapi berbagai stimulus yang telah dikeluarkan oleh pemerintah dan regulator. 

Dia menilai pemerintah dan regulator telah sigap memberikan pondasi yang luar biasa untuk mendukung perekonomian, sehingga likuiditas keuangan sangat besar di pasar. Selain itu, loan at risk juga lebih rendah dari perkiraan, yaitu per Mei sebesar 14 persen dari proyeksi sebesar 28 hingga 30 persen.

“Dengan berjalannya waktu, masuk hutan ternyata ada bambu bisa bikin tombak, senjata. Seperti itu juga awal Covid, kami bingung bagaimana mempertemukan nasabah dengan bisnisnya, ini sulit sekali. Akhirnya kami menemukan jalan,” katanya dalam Webinar Bisnis Indonesia Mid-Year Economic Outlook 2021, Prospek Ekonomi Indonesia Pasca-stimulus dan Vaksinasi, yang digelar Selasa (6/7/2021).

Sejak awal pandemi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator sektor jasa keuangan bersama pemerintah dan Bank Indonesia (BI) mengambil langkah cepat melalui berbagai kebijakan dan instrumen yang extraordinary, pre-emptive, dan forward looking untuk meminimalkan dampak pandemi, baik terhadap masyarakat, sektor keuangan, maupun perekonomian.

“Berbagai kebijakan tersebut cukup efektif menjaga kondisi perekonomian Indonesia tidak terpuruk terlalu dalam. Hal ini tercermin dari kontraksi ekonomi Indonesia pada 2020 -2,07 persen yoy, masih lebih baik dibandingkan dengan negara maju dan negara berkembang lainnya,” ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso.

Untuk melakukan percepatan dari sisi supply, pemerintah, OJK, dan BI bersinergi melanjutkan kebijakan stimulus Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Kebijakan tersebut antara lain alokasi anggaran PEN 2021 senilai Rp699,4 triliun atau meningkat dari tahun sebelumnya yang senilai Rp695,2 triliun.

Kemudian, kebijakan moneter juga akomodatif melalui kebijakan suku bunga acuan yang rendah serta kebijakan restrukturisasi kredit yang diperpanjang hingga Maret 2022 untuk memberikan ruang bagi pelaku usaha bertahan dan melanjutkan usahanya. 

Wimboh menyebutkan kebijakan tersebut dinilai dapat memberikan dampak positif terhadap pemulihan ekonomi, yang tercermin dari proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini oleh Bank Dunia sebesar 4,4 persen dan pada 2022 direvisi ke atas menjadi 5 persen. Adapun, menurut OECD, PDB per kapita Indonesia diperkirakan pulih pada akhir 2021.

Stabilitas Tetap Terjaga

Secara umum, Wimboh memaparkan, stabilitas industri jasa keuangan masih terjaga, terutama pada aspek kecukupan permodalan dan likuiditas. 

Pasar keuangan terpantau melambat sejak pertengahan bulan Maret hingga Mei 2021, tetapi IHSG kemudian kembali menguat pada Juni 2021. Penghimpunan dana di pasar modal per 29 Juni 2021, mencapai Rp67,8 triliun dari 68 Penawaran Umum, khususnya bersumber dari sektor keuangan. 

Jumlah investor di pasar modal terus naik menjadi 5,37 juta atau tumbuh 96 persen yoy, yang didominasi oleh investor ritel dan masih didominasi oleh investor milenial.

Pertumbuhan kredit perbankan sempat melambat pada April 2021 sebesar -0,26 persen mtm atau -2,28 persen yoy, tetapi mulai membaik pada Mei 2021 menjadi 0,59 persen mtm atau -1,28 persen yoy.  Risiko kredit juga masih terjaga di bawah threshold

 

Kredit restrukturisasi Covid-19 juga terus melandai. Per Mei 2021, total kredit restrukturisasi Covid-19 mencapai Rp781,9 triliun atau 14,17 persen dari total kredit, yang diberikan kepada 5,12 juta debitur di perbankan dan Rp203,1 triliun di perusahaan pembiayaan kepada 5,12 juta kontrak.

Berbagai stimulus yang telah diberikan juga mendukung pertumbuhan kinerja dari bank-bank milik pemerintah, khususnya PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Direktur Bisnis Kecil dan Menengah BRI Amam Sukriyanto menyampaikan di tengah kontraksi ekonomi Indonesia, dari sisi perbankan masih ada ketenangan.

Hal itu terlihat dari pertumbuhan aset bank-bank BUMN yang masih bisa tumbuh 8,82 persen yoy, lebih tinggi dibandingkan dengan industri yang sebesar 5,50 persen yoy pada kuartal I/2021.

Selain itu, kredit tumbuh 0,99 persen yoy, lebih baik dibandingkan dengan kinerja secara industri yang terkoreksi 3,77 persen yoy. Begitu juga dengan raihan dana pihak ketiga (DPK) yang naik 12,40 persen you dibandingkan dengan industri yang sebesar 9,5 persen yoy.

Sementara, pertumbuhan kredit BRI pada kuartal I/2021 tercatat sebesar 1,4 persen yoy. “Kami melihat keberhasilan Himbara untuk ikut mengerem laju penurunan ekonomi tidak lepas dari berbagai kebijakan, baik dari pemerintah, termasuk Kementerian Keuangan, BI, dan OJK,” ujarnya pada kesempatan yang sama.

Amam menyebutkan OJK sangat responsif dan memberikan dukungan yang besar dalam menjaga sistem stabilitas keuangan dengan 3 kebijakan yang sangat bermanfaat untuk sektor perbankan, yaitu relaksasi penilaian kualitas kredit, restrukturisasi kredit, dan relaksasi perhitungan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR). 

“Kami pun menerapkan strategi pada 2020 dan 2021 dengan business follow stimulus. Artinya, pada awal kami mendorong stimulus dari pemerintah dan regulator dengan cepat, yang pada akhirnya kami bisa berperan dari sisi penyaluran kredit,” jelasnya.

Tidak hanya sektor perbankan yang merasakan manfaat dari stimulus yang telah diluncurkan,  Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno menjelaskan bahwa realisasi program restrukturisasi yang dirilis OJK terbilang sukses untuk ikut menjaga kualitas piutang multifinance, ditopang komunikasi dan penjelasan yang baik terhadap para debitur. 

Restrukturisasi biasanya direkomendasikan kepada debitur yang masa cicilannya sudah lama, sementara debitur yang baru mulai tapi terdampak dan tidak kuat membayar cicilan, diarahkan untuk pengembalian unit secara baik-baik disertai kompensasi. “Adapun, debitur yang ditolak, merupakan mereka yang tidak sesuai kriteria terdampak pandemi,” kata Suwandi.

Berdasarkan data hingga akhir kuartal I/2021, kondisi NPF industri pembiayaan masih meningkat, tetapi sudah mulai pulih ketimbang periode Juli-Agustus 2020, di mana kredit bermasalah mencapai rekor hingga di atas 5 persen. Secara terperinci, NPF gross pada Maret 2020 dan Maret 2021 masing-masing mencapai 2,82 persen dan 3,74 persen, sementara dan NPF netto dari 0,47 persen ke 1,27 persen.

Sementara itu, dari sisi pasar modal, kenaikan investor ritel terus berlanjut. Otoritas Bursa mencatat sepanjang 2020 terdapat 1,4 juta investor baru di pasar modal dan 51 perusahaan tercatat baru yang melakukan aksi penawaran umum saham perdana atau initial public offering (IPO).

Direktur Pengembangan BEI Hasan Fawzi menuturkan tren positif tersebut kembali berlanjut di 2021 ini seiring dengan pandemi yang belum usai sehingga pembatasan kegiatan yang terjadi membuat masyarakat mengalihkan dana konsumsinya ke investasi melalui instrumen pasar modal.

Terbukti, kata Hasan, beragam indikator perdagangan Bursa mencetak banyak rekor di tahun ini, seperti rata-rata volume transaksi harian terus meningkat mencapai 18,72 miliar saham per 18 Juni 2021.

Begitu pula dengan rata-rata nilai transaksi harian yang meningkat menjadi Rp13,53 miliar pada 18 Juni 2021, dari posisi Rp9,21 miliar di akhir Desember 2020. Rata-rata frekuensi transaksi harian juga meningkat menjadi 1,22 juta kali per 18 Juni 2021, dibandingkan 677.430 kali pada akhir Desember 2020. 

Rekor tertinggi juga pecah pada 14 Januari 2021 yang mana terjadi 2,006 juta transaksi dalam sehari. “Jadi, kami lihat momentum ini, euforia ini, masih terus berlanjut sampai dengan posisi terakhir di 2021 ini,” ujar Hasan.

Prospek Jasa Keuangan ke Depan

Di tengah upaya pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung, muncul varian Delta dari India yang masuk ke hampir 100 negara di dunia, termasuk Indonesia, dengan tingkat reproduction rate paling tinggi (R0 = 2,5) dan paling menular. Penyebaran varian Delta terjadi secara global dan menyebabkan kasus Covid-19 global kembali meningkat di Eropa, Afrika dan Amerika Serikat.

Oleh karena itu, pemerintah pun mengambil keputusan untuk menerapkan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang berlaku dari 3 Juli 2021 hingga 20 Juli 2021. 

Melihat kondisi ini, Wimboh menyebutkan fungsi intermediasi ke depannya berpotensi kembali mengalami tekanan seiring dengan pemberlakuan kebijakan pengendalian penyebaran Covid-19 melalui PPKM darurat.

“Kredit diperkirakan tetap tumbuh pada kisaran 6 persen ± 1 persen yoy pada 2021 seiring dengan proyeksi pemulihan ekonomi nasional,” katanya.

Namun, secara umum, lanjut Wimboh, sektor keuangan masih optimistis dengan menargetkan outlook positif pada beberapa indikator utama, misalnya dari sisi dana pihak ketiga (DPK) diproyeksikan tetap pada rentang 11 persen ±1 persen yoy pada tahun ini, seiring dengan meningkatnya aktivitas ekonomi, belanja masyarakat dan investasi secara bertahap.

Piutang pembiayaan diperkirakan akan tetap terkontraksi di level -1 persen hingga -5 persen (yoy), khususnya karena maraknya pembelian kendaraan bermotor secara tunai. Penghimpunan dana di pasar modal tahun ini diperkirakan akan tetap meningkat pada kisaran Rp150 triliun hingga Rp180 triliun.

OJK pun merilis beberapa kebijakan strategis untuk mempertahankan momentum pemulihan ekonomi nasional dan menjaga stabilitas sektor keuangan, di antaranya mengawal pelaksanaan PPKM darurat, terutama terkait dengan pelaksanaan peran sektor keuangan sebagai sektor esensial.

Kemudian, mempercepat implementasi program vaksinasi yang terdistribusi dengan baik; mengakselerasi hilirisasi ekonomi dan keuangan digital dengan tetap mewaspadai risiko siber; peningkatan penetrasi layanan keuangan dan pendalaman pasar keuangan untuk menjaga stabilitas keuangan secara berkelanjutan, dan turut mendorong berkembangnya pembiayaan berkelanjutan (sustainable finance), 

Adapun, meski terjadi peningkatan kasus Covid-19 yang tinggi mulai pertengahan Juni 2021, pemerintah tetap optimistis ekonomi pada kuartal II/2021 akan tumbuh pada kisaran 7,1 hingga 7,5 persen. 

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir menyampaikan ada beberapa sektor yang menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi kuartal II/2021. 

Beberapa indikator pun menunjukkan terjadi lonjakan aktivitas ekonomi yang tinggi pada periode tersebut, misalnya peningkatan yang terjadi pada indeks penjualan riil, penjualan kendaraan bermotor, dan volume output industri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor: Hendri T. Asworo
Terkini