"Iya, saya jawab saja saya bukan Lurah, saya adalah Presiden Republik Indonesia."
Pidato Kenegaraan di Sidang Tahunan MPR/DPR pada 16 Agustus 2023 menjadi momen Presiden Joko Widodo mencurahkan isi hatinya tentang istilah Lurah yang digunakan elite partai politik yang membuatnya gundah gulana.
Dia menyebut, panggilan Lurah mencuat kala penentuan penggantinya 2024 nanti.
"Ternyata, ternyata 'Pak Lurah' itu kode. Tetapi, perlu saya tegaskan saya ini bukan ketua umum parpol, bukan ketua umum partai politik, bukan juga ketua koalisi partai. Dan, sesuai ketentuan Undang-Undang yang menentukan capres-cawapres itu adalah partai politik dan koalisi partai politik. Jadi, saya ingin mengatakan itu bukan wewenang saya, bukan wewenang 'Pak Lurah', bukan wewenang 'Pak Lurah' sekali lagi," ungkap ayah 3 anak itu.
Presiden Jokowi mengenakan busana adat asal Kepulauan Tanimbar, Provinsi Maluku saat pidato kenegaraan di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, pada Rabu (16/8/2023)/BPMI Setpres.
Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, Lurah memiliki arti kepala pemerintahan terendah atau kepala desa.
Sementara itu, mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan, Lurah mengemban tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, lurah melakukan koordinasi dengan Camat dan instansi vertikal yang berada di wilayah kerjanya.
Namun, untuk beberapa wilayah di Pulau Jawa, Lurah biasanya didefinisikan sebagai Kepala Desa.
Kendati enggan disebut perangkat tingkat kelurahan, sebetulnya pria yang mendapat panggilan Jokowi dari pembeli asal Perancis yakni Micl Romaknan itu, merupakan keturunan seorang Lurah.
Usut punya usut, gen politik telah mengalir deras pada Jokowi. Bahkan, jauh sebelum dirinya lahir pada 21 Juni 1961 dari buah pernikahan Widjiatno atau Notomiharjo dan Sudjiatmi pada 23 Agustus 1959.
Buku 'Saya Sudjiatmi, Ibunda Jokowi' karya Kristin Samah dan Fransisca Ria Susanti mengisahkan, warisan politik Jokowi telah didapatnya dari buyut, kakek, dan pamannya dari garis keturunan ayahnya, Notomiharjo.
Buyut, kakek, dan paman Jokowi merupakan seorang Lurah.
Buyut Jokowi menetap di Kampung Klelesan, Kecamatan Giriroto Ngemplak, sedangkan kakeknya, menjadi Lurah di Karanganyar, Desa Kragan, Kecamatan Gondangrejo.
Ayah Jokowi lebih sering menetap di Klelesan ketimbang di Karanganyar sebelum akhirnya memilih hijrah ke Solo untuk membuka usaha kayu setelah berkeluarga.
Hikayat cikal bakal kepemimpinan Jokowi dituliskan dalam buku 'Dari Bantaran Kalianyar ke Istana' yang ditulis Domu D Ambarita.
Jokowi yang terkenal dengan gaya blusukannya menuruni karakter kakeknya, Lamidi Wiryohamihardjo. Warga setempat mengenalnya dengan sebutan Mbah Wiryo atau Mbah Lurah.
Kepemimpinan Mbah Lurah melekat di hati warganya sejak pertama kali memimpin Desa Kragan 1950 hingga 1983.
Karakter pemimpin yang melayani dan dekat dengan rakyat menjadi salah satu warisan kuat Mbah Lurah.
Semasa kecil, pada era 1960-1970, Jokowi sering diajak singgah ke Kragan, terutama pada saat libur sekolah. Momen cucu dan kakek itu telah memupuk Jokowi dengan pesan-pesan kehidupan.
Pada momen itu pula, kerap melihat kedekatan Mbah Lurah dengan warga desa dengan gaya blusukannya. Hal itu telah terpatri pada Jokowi dan diimplementasikannya dalam gaya memimpinnya hingga kini.
BACA JUGA: Tambal Sulam Transportasi Massal Jakarta, dari Mares hingga Jokowi
Darah Politik si Tukang Kayu
Meski lebih dikenal berlatar belakang sebagai keluarga pengusaha kayu, roh politik Jokowi telah tersirat dari garis keturunannya.
Predikat tukang kayu, melekat dari usaha yang dirintis oleh keluarga dari Wirorejo, ayah dari Ibunda Jokowi, Sujiatmi.
Saban hari, Wirorejo menempuh perjalan Boyolali-Solo untuk menjalankan usaha kayunya. Usaha itu dikerjakan bersama dengan anaknya, kakak dari Sujiatmi, Miyono.
Setelah mengikat janji sehidup semati, Sujiatmi dan Notomiharjo memilih untuk membuka usaha kayunya sendiri.
Sepasang muda-mudi itu, mendirikan sebuah perusahaan yang berkembang dengan nama CV Roda Jati.
Usaha itu telah mampu menghidupi Sujiatmi dan Notomiharjo dan keluarganya dan membesarkan keempat anaknya yakni Titik, Ida, Iit, dan Jokowi.
Modal untuk menyekolahkan seluruh anaknya juga dari situ.
Namun, selain usaha kayu yang diwariskan kepada Jokowi, darah politik juga diturunkan sang ayah.
Notomiharjo diketahui merupakan seorang ketua ranting dari salah satu partai nasionalis.
Tulisan dalam Buku 'Jokowi Spirit Bantaran Kali Anyar', Wakil Walikota Solo FX Hadi Rudyatmo menyebut, Notomiharjo memiliki kedekatan dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
"Ayahnya pernah jadi ketua Satgas PDIP, di mana saya, ketua DPC PDIP," kata pria yang akrab disapa Rudy.
Selain itu, darah politik juga menurun dari Mbah Lurah. Selama menjabat sebagai Lurah di Desa Kragan, dia juga tercatat aktif dalam kegiatan partai.
Mbah Lurah dikenal sebagai salah satu tokoh nasionalis Partai Nasional Indonesia di Kragan.
Kala itu, kekuatan politik di desa Kragan dan sekitarnya terbagi menjadi dua. Peralihan Order Lama dan Orde Baru telah membelah kubu komunis dan nasionalis.
Namun, Mbah Lurah disebut telah berhasil menyatukan kedua kelompok untuk bersama-sama menjaga keamanan desa. Desa Kragan, menjadi jalur keluar masuk para anggota komunis yang dikejar tentara.
Mbah Lurah bersama dengan perangkat desa terjun langsung secara rutin untuk memastikan tidak ada warganya yang menjadi korban peristiwa 1965.
BACA JUGA: Judi Online di Pusaran Kaum Sulit Hingga Berduit
Kiprah Politik Jokowi
Usaha kayu yang ditekuni keluarga Notomiharjo telah membuat Jokowi menyelesaikan studinya mulai dari SDN 11 Tirtoyoso Solo, SMPN 1 Solo, SMAN 6 Solo, hingga menyandang gelar Sarjana dari Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada.
Selepas lulus kuliah pada 1985, Jokowi mengadu nasib di perusahaan kertas pelat merah di Aceh, PT Kertas Kraft Aceh. Upaya mengadu nasib Jokowi di Bumi Serambi Mekah tidak berlangsung lama, hanya satu setengah tahun.
Jokowi yang kala itu telah menikah dengan Iriana, kembali ke Solo, melanjutkan bisnis CV Roda Jati milik bapaknya, sembari menjaga Gibran Rakabuming Raka yang tengah dalam kandungan.
Selepas 1988, dirasa sudah memiliki modal cukup, berbekal pinjaman bank Rp30 juta dan bantuan dari ibunya sebesar Rp65 juta, Jokowi membuka usaha kayunya sendiri.
Dia membentuk CV Rakabu, nama yang diambil dari nama anak pertamanya yang lahir pada tahun yang sama, Gibran Rakabuming Raka.
Jokowi telah melalui asam garam dalam membentuk usaha kayunya sendiri. Tertipu hingga nyaris bangkrut juga pernah menimpanya. Usahanya terpuruk, 1990 puncaknya.
Sempat frustasi, tetapi Sujiatmi kembali menjadi malaikat penolong Jokowi. Sang ibu kembali mengguyur modal untuk usahanya, tidak banyak, hanya Rp30 juta.
Keyakinan Sujiatmi dengan usaha anaknya berbuah manis. CV Rakabu mulai bangkit, tren pasar mebel pada era 1994-1996 membuat usaha kayu Jokowi kebanjiran order.
Kesuksesan usaha kayunya telah mendorong Jokowi untuk berorganisasi. Bersama rekan-rekannya, dia membentuk Asosiasi Mebel Indonesia (Asmindo) Solo.
Jokowi didapuk sebagai ketua. Pengalaman dan menjadi sosok yang dituakan menjadi alasan utama mengemban tugas itu.
Alhasil, status ketua Asmindo Solo disandangnya pada periode 2002-2004 dan 2004-2006. Di tengah jalan, Jokowi didorong organisasinya itu untuk maju dalam Pilwalkot Solo 2005.
"Kamu dari awal sudah niat mau nyalon, mau pengabdian pada masyarakat. Kalau mau cari uang di perusahaan saja. Tapi kalau niatmu pengabdian di masyarakat, jangan mengharap modalmu kembali," kata Ibunda menasihati Jokowi sebelum maju Pilwalkot Solo yang dikutip dalam buku Saya Sujiatmi, Ibunda Jokowi.
Wali Kota Solo Joko Widodo saat diwawancara di kantornya pada Kamis (16/4/2009)/Bloomberg
Langkah politik Jokowi di Solo telah mempertemukannya dan FX Hadi Rudyatmo yang akan menjadi wakilnya.
"Saya mengenal Jokowi pada pemilihan wali kota Solo periode pertama, dikenalkan beberapa orang," kata Rudy dalam percakapan yang dikutip dari Buku Jokowi Spirit Bantaran Kali Anyar.
Saat itu, tidak mudah untuk meyakinkan putri dari Proklamator, Megawati Soekarno Putri yang menjabat sebagai Ketua Umum PDIP.
Pasalnya, Jokowi yang memiliki postur tubuh kurus dan minim portofolio di kancah politik. Terlebih, banyak nama-nama kesohor yang diajukan ke meja ketua umum.
"Saat itu, ketua umum, Ibu Mega, tanya, 'apa jamin menang toh Rud? Apanya yang dijual? Masak wali kotamu kurus? Apa kamu mau wali kotamu kurus?" ujar Rudy menceritakan keraguan Megawati.
Upaya Rudy meyakinkan ketua umum partai banteng moncong putih itu berbuah restu. Puncaknya, Jokowi lolos sebagai calon wali kota Solo melalui konvensi dengan lima pasang kandidat wali kota dari PDIP.
Pasangan Jokowi-Rudy mengantongi 252 suara pengurus DPC, PAC, dan Ranting PDIP se-Solo. Pasangan itu mengalahkan sosok-sosok dengan pamor lebih tinggi seperti Slamet Sriyanto.
Dengan Jargon 'Berseri Tanpa Korusi', Jokowi-Rudy berhasil memenangkan Pilwalkot Solo periode pertama 2005-2009. Hubungan harmonis Jokowi-Rudy berlanjut pada periode kedua.
Pasangan itu menang telak dengan mendapat 90,09 raihan suara, tanpa banyak kampanye.
Karier cemerlangnya selama menjabat sebagai Wali Kota Solo telah dilirik banyak orang. Capaiannya dalam membuat citra Solo dengan slogan Solo: The Spirit of Java, perakitan mobil Esemka oleh pelajar Solo menarik perhatian seantero negeri.
Selain itu, Jokowi masuk dalam 10 tokoh finalis wali kota terbaik di dunia versi majalan Tempo pada 2008.
Walikota Solo, Joko Widodo disambut sejumlah pendukungnya saat tiba di Loji Gandrung, Solo, Jumat (21/9/2012) seusai mengikuti Pilkada DKI Jakarta putaran kedua/JIBI/Solopos/Agoes Rudianto
Warga Ibu Kota pun antusias dipimpin oleh Jokowi. Peluang itu langsung diambil oleh Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri pada 15 Maret 2012.
Keduanya bertemu, 4 hari jelang pendaftaran Pilgub Jakarta ditutup.
Pertemuan itu memutuskan Jokowi sebagai calon gubernur yang diusung Putri Sulung Soekarno dan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebagai calon wakil gubernur yang diusung partai mantan Danjen Kopasus, Prabowo.
Belakangan, Jokowi baru mengetahui, dorongan untuk maju dalam Pilgub DKI dari mantan Presiden Jusuf Kalla.
Rahasia itu baru diungkapkan saat pertemuan keduanya pada 5 Agustus 2012 yakni momen berbuka puasa bersama di kediaman Jusuf Kalla.
JK, sapaannya, membeberkan rahasia rencana pemilihan Jokowi sebagai DKI 1.
"You sudah pimpin Solo hebat. Coba kau pimpin Jakarta, 'Lha bagaimana caranya. Melalui Pilkada?" ujar JK menirukan percakapan dengan Jokowi.
"Terus pakai apa, pak? Lewat PDIP?" tanya Jokowi.
"Sudahlah saya yang minta izin kepada Ibu Mega. Saya datang kepada Bu Mega dan bicara kepada beliau," ujar JK meyakinkan.
Terbukti, pasangan Jokowi-Ahok berhasil mengambil hati warga DKI dan ditetapkan sebagai pemenang Pilkada pada 19 Juli 2012 dengan perolehan suara 42,6 persen.
Joko Widodo (kiri), Megawati Soekarnoputri dan Puan Maharani memberikan salam metal seusai memberikan keterangan pada pencoblosan Pilgub DKI Jakarta putaran kedua di TPS 31 Kebagusan, Jakarta Selatan, Kamis (20/9/2012)/Bisnis/Nurul Hidayat
Bekalnya menduduki jabatan DKI 1 membuat karier politiknya melesat, belum tuntas 5 tahun jabatannya, Jokowi telah diminta untuk maju dalam pemilihan Presiden 2014.
Sosok yang 'menculiknya' ke Jakarta, kini menjadi pendampingnya untuk berkontestasi memperebutkan posisi RI 1 dan RI 2.
Keduanya berhasil menang dalam Pilpres 2014 dengan perolehan suara 53,15 persen, mengalahkan duet Prabowo-Hatta Rajasa yang hanya memperoleh 46,85 persen.
Capaian politik Jokowi kembali dilanjutkan dalam periode keduanya menjadi Kepala Negara. Duetnya dengan Ma'ruf Amin pada Pilpres 2019 kembali mengalahkan Prabowo yang berpasangan dengan Sandiaga Salahudin Uno.
Jokowi-Ma'ruf menang sebagai incumbent dengan perolehan suara 55,32 persen, sedangkan pasangan Prabowo-Sandi hanya memperoleh suara 44,68 persen.
BACA JUGA: Paradoks Pinjol: Antara Jerit Debitur & Keluh Kesah Debt Collector
Raja Surakarta
Ungkapan Lurah yang naik kelas menjadi raja terpancar pada diri Jokowi pada saat Upacara Pengibaran Bendera Merah Putih, 17 Agustus 2023.
Berasal dari kawasan di bantara Kali Anyar, Solo, Jokowi berdandan layaknya raja solo di Istana Merdeka.
Jokowi selaku inspektur upacara memimpin langsung upacara tersebut dan tampak hadir bersama Ibu Negara Iriana Joko Widodo dan didampingi oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin beserta Ibu Wury Ma’ruf Amin.
Presiden Joko Widodo tampil mengenakan pakaian adat ageman songkok singkepan ageng pada Upacara Peringatan Detik-Detik Proklamasi dalam rangka Hari Ulang Tahun Ke-78 Republik Indonesia pada Kamis (17/8/2023)/Sekretariat Presiden.
Tahun ini, Jokowi tampil mengenakan pakaian adat ageman songkok singkepan ageng pada. Pakaian tersebut merupakan pakaian khas Keraton Kesunanan Surakarta.
“Ini ageman songkok singkepan ageng. Ini dari Keraton Kasunanan Surakarta,” ujar Jokowi.
Jokowi memilih busana adat Ageman Songkok Singkepan Ageng yang biasa dikenakan Panglima Raja Pakubuwono Hadiningrat, posisi tinggi dalam struktur keraton Surakarta atau Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Panglima dapat diartikan sebagai pemimpin atau komandan, sedangkan Pakubuwono Hadiningrat adalah gelar yang dikenakan oleh raja-raja Keraton Surakarta.
Dalam konteks keraton, Panglima Raja bukanlah pemimpin militer dalam arti sebenarnya, tetapi pejabat tinggi yang memegang peranan penting dalam hierarki keraton.
Tokoh itu, memiliki tugas-tugas tertentu dan juga memakai simbol-simbol kebesaran saat upacara-upacara keraton, sedangkan dalam konteks budaya Jawa, terutama keraton di Yogyakarta dan Surakarta, ada beberapa istilah-istilah yang berkaitan dengan busana atau atribut yang dikenakan oleh para pejabat atau abdi dalem keraton.
Presiden Joko Widodo tampil mengenakan pakaian adat ageman songkok singkepan ageng pada Upacara Peringatan Detik-Detik Proklamasi dalam rangka Hari Ulang Tahun Ke-78 Republik Indonesia pada Kamis (17/8/2023)/Sekretariat Presiden.
Pertama adalah Ageman, merupakan pakaian atau atribut yang dikenakan sebagai tanda pangkat atau kedudukan seseorang di dalam struktur keraton. Kemudian Songkok, yang merupakan sejenis topi yang dikenakan sebagai bagian dari pakaian tradisional di beberapa daerah di Indonesia.
Lalu Singkepan. Dalam konteks Keraton Yogyakarta, singkepan merupakan busana adat yang terbuat dari bahan halus dan biasanya dikenakan oleh abdi dalem dengan kedudukan tertentu.
Selanjutnya adalah Ageng, dari kata "ageng" dalam bahasa Jawa berarti "besar" atau "utama". Oleh karena itu, ketika disebutkan dalam konteks atribut atau busana keraton, bisa jadi mengacu pada versi yang lebih mewah atau utama dari busana atau atribut tersebut.
Pakaian adat tersebut, digunakan pada acara Enggar Enggar Soho Tedhak Loji, yang artinya saat di mana Raja keluar dari Keraton dengan menaiki kereta dihela oleh 4-8 ekor kuda, diikuti dengan perangkat keraton untuk terjun langsung melihat kondisi kawulo atau masyarakat.
BACA JUGA: Soeharto, Jokowi dan Mimpi Semu Proyek Food Estate
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel