Perempuan tua itu terlihat duduk di kursi kayu di teras rumah nan teduh dengan pepohonan hijau. Wajahnya tetap segar, meski usianya sudah tak lagi muda. Rambut sebahu disisir belah tengah, dibiarkan menjuntai di sisi kiri dan kanan. Kelopak mata dan pipinya dipoles perona jingga. Bak anak perawan yang sedang jatuh cinta. Sesekali dia tersenyum, tapi sorot matanya memperlihatkan kegelisahan.
“Suami saya kapan datang? Dia sudah janji mau ketemu saya hari ini. Kenapa belum tiba juga? Jangan-jangan dia lupa,” ujar perempuan paruh baya itu sambil sesekali melirik ke arah pagar yang berbatasan dengan jalan raya.
Bu Ci, nama panggilannya. Usianya 70 tahun. Dia berasal dari Bandung. Para perawat lansia atau caregiver yang masih belia sering menyapanya ‘Oma’. Ia merupakan salah satu penghuni Bright Dementia Active Care, fasilitas panti jompo atau senior living khusus bagi lansia demensia, yang berlokasi di Ciawi, Bogor.
Seorang caregiver lantas mengajak Oma masuk ke bagian dalam hunian, yang sebelumnya difungsikan sebagai hotel tersebut. Sambil bergandengan tangan, mereka beralih ke teras dalam yang bersisian dengan kolam renang. Lima menit berselang, sosok yang ditunggu akhirnya datang.
“Bu Ci..” teriak seorang pria paruh baya dengan rambut putih itu. Oma langsung bergegas menuju ruang tengah dengan desain sirkular. Keduanya langsung berpelukan erat. Air mata menetes dari kedua mata Bu Ci, tapi ekspresinya menunjukkan perasaan bahagia. Pria itu adalah Rudianto Oetomo, suami yang sudah dinantinya berhari-hari.
Bu Ci sudah lebih dari sebulan tinggal di Bright Dementia Active Care. Rudi sendiri yang membawa istrinya ke sana pada awal tahun ini. Sejak November 2024, Rudi melihat sejumlah gejala aneh pada istrinya, yang membuat dia dan keluarganya bingung. Awalnya, sang istri hanya pikun dan sering melamun. Namun, tidak sampai satu bulan, kondisi Bu Ci semakin memburuk lantaran mulai sering tantrum dan berhalusinasi.
“Psikiater bilang bahwa istri saya masuk demensia alzheimer,” kata Rudi. Awalnya dia mencari tempat perawatan sementara untuk istrinya di Bandung, tetapi tidak ada yang sreg. Akhirnya, salah satu anaknya menemukan fasilitas senior living di Ciawi. “Sepertinya metode di sini cocok untuk penyembuhan istri saya.”
Setelah menjalani perawatan dengan pendekatan holistik dan penanganan kekeluargaan yang tinggi di panti itu, Rudi menilai kondisi istrinya kian membaik. Kesehatan serta gejala demensia yang diderita istrinya tak lagi seburuk dulu. Menurut Rudi, hal ini terjadi, salah satunya berkat perhatian dari para caregiver.
Perawat lansia di Bright Dementia Active Care tampak begitu cekatan dan perhatian saat merawat dan menemani para “pasien” mereka. Padahal, selisih usia caregiver dengan para lansia sangat jauh. Rata-rata para caregiver di sana masuk dalam klasifikasi generasi Z (Gen Z), alias anak-anak muda yang lahir pada 2007-2012.
Tak ada kecanggungan saat para caregiver ini membantu orang-orang yang lebih pantas menjadi oma dan opa mereka itu. Misalnya Yulianingsih, yang menemani Bu Ci sampai suaminya datang. Yuli, sapaan akrabnya, dengan sabar menenangkan Bu Ci ketika perempuan itu mulai gelisah. Ia juga tak pernah berhenti menemani warga senior itu kala mengelilingi setiap sudut ruangan hingga taman di luar.
“Saya enggak tahu bagaimana nasib istri saya kalau enggak ditangani caregiver,” kata Rudi.
Keahlian para caregiver bukan hanya dalam urusan menjaga kesabaran dan kreativitas untuk menjaga suasana hati para pasien mereka. Mereka juga dituntut memiliki fisik yang prima, karena mereka harus membantu para lansia ketika hendak ke kamar kecil atau aktivitas lainnya.
“Satu lagi, mereka enggak boleh dendam,” kata Rudi. Ini poin penting, karena menurut dia, jika istrinya bisa memukul orang ketika sedang tak sadar. “Saya berutang budi kepada mereka.”
Pentingnya Ekonomi Perawatan saat Populasi Menua
Rudi dan istrinya adalah bagian dari 11,75% penduduk Indonesia yang masuk ke dalam golongan lansia. Mengacu pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), jumlah lansia di Indonesia pada 2023 sudah sekitar 28 juta penduduk. Saat ini, Indonesia sudah memasuki fase penuaan populasi atau ageing population. Fase ini ditandai ditandai dengan penambahan populasi lansia secara bertahap–kondisi yang sebetulnya sudah terjadi di Indonesia sejak 2021.
Bahkan, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menyampaikan bahwa jumlah lansia di Indonesia bakal mencapai 20% atau sekitar 50 juta jiwa pada 20 tahun mendatang. Sayangnya, isu ageing population yang dihadapi Indonesia ini sepertinya kalah dengan gembar-gembor visi Indonesia Emas 2045, yang lebih berfokus pada populasi penduduk usia produktif. Lantas, di mana sebenarnya posisi penduduk lansia saat ini?
Secara umum, rasio ketergantungan lansia meningkat seiring dengan kenaikan persentase lansia. Pada 2023, rasio ketergantungan lansia sebesar 17,08. Artinya, 100 penduduk usia produktif menanggung sebanyak 17 lansia. Dengan kata lain, satu orang lansia didukung oleh enam penduduk usia produktif.
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), Persentase lansia Indonesia mengalami kenaikan setidaknya 4% selama lebih dari satu dekade (2010-2022). Pada 2010, jumlah lansia di Indonesia tercatat baru 7,59% dengan rata-rata angka harapan hidup 69,81 tahun. Adapun, Indonesia resmi masuk dalam kategori ageing population lantaran jumlah lansia menyentuh angka 10% pada 2021.
Kondisi penuaan penduduk menimbulkan tantangan yang harus dihadapi oleh lansia dan anggota keluarganya. Tanggung jawab untuk mengurus orang tua biasanya dibebankan kepada anggota keluarga, khususnya perempuan, tanpa bayaran. Padahal, kerja-kerja keperawatan justru menghabiskan lebih banyak waktu dan tenaga.
I
International Labour Organization (ILO) mendefinisikan ekonomi keperawatan sebagai kegiatan memproduksi layanan dan barang untuk memenuhi kesejahteraan fisik, psikologis, sosial individu agar dapat memberikan dampak optimal, berkemampuan, nyaman, dan aman. Pada 2013, standar statistik ketenagakerjaan internasional menetapkan bahwa perawatan yang tidak dibayar pun dikategorikan sebagai pekerjaan, karena memiliki nilai produktif dan berkontribusi pada produktivitas individu.
National Project Coordinator on Care Economy ILO Indonesia Early Dewi Nuriana mengatakan bahwa pekerjaan untuk merawat lansia tanpa bayaran, tetaplah sebuah pekerjaan. Sayangnya bagi sebagian masyarakat Indonesia, perawatan orang tua justru bagian dari sosial kultural. Konsep tersebut juga berdampak pada profesi keperawatan secara luas.
“Data menjadi salah satu masalah yang dihadapi dalam ekonomi keperawatan di Indonesia. [Saat ini] Profesi caregiver tidak masuk klasifikasi pekerjaan. Bahkan, pekerja rumah tangga [PRT] belum masuk dalam sistem. BPS harus mulai mendata mereka sehingga akan terlihat tingkat partisipasi bahwa pekerja yang mengurus anak dan lansia masuk ke dalam [klasifikasi] pekerjaan formal,” ujar Early.
Oleh karena itu, dia memberi saran agar pemerintah Indonesia mulai memberikan perhatian bahkan investasi lebih terhadap ekonomi keperawatan. Menurutnya, investasi negara pada sektor ini dapat menciptakan banyak lapangan kerja baru bagi masyarakat. Apalagi, saat ini Indonesia dilanda ‘badai’ pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat tutupnya pabrik-pabrik manufaktur di berbagai daerah.
Early mengatakan biasanya isu-isu kesetaraan gender jarang dikaitkan dengan ekonomi. Padahal, lanjutnya, bisa terjadi transisi dari pekerja informal ke pekerja formal apabila pemerintah lebih memerhatikan sertifikasi dan pemberian skema perlindungan sosial, salah satunya BPJS, bagi para caregiver.
Bahkan, ILO memprediksi bahwa investasi di sektor ekonomi keperawatan, khususnya jasa pengasuhan anak dan caregiver lansia, dapat menciptakan 10,8 juta lapangan pekerjaan baru pada 2035.
Kala Caregiver Gen Z Menemani ‘Opa dan Oma’
Jalan raya di kawasan Ciawi, Gadog, Kabupaten Bogor Jawa Barat tak pernah sepi. Ribuan kendaraan roda dua dan roda empat lalu-lalang untuk menuju ke arah Puncak, destinasi wisata favorit warga Jakarta dan sekitarnya.
Sempat tersasar dan kebingungan, saya terus menyusuri jalan yang lebih kecil untuk mencapai lokasi peliputan hari itu. Saya mencoba menerka dimana letak plang Bright Dementia Active Care, tapi tak kunjung menemukannya. Saya berbelok ke sebuah bangunan tua dengan jalan masuk yang dipenuhi pepohonan rimbun. Dari jalan setapak yang hanya dapat dilewati satu mobil, bagian dalam bangunan tersebut ternyata lebih luas dari perkiraan.
Ada rumah besar yang berada di tengah taman. Tampilannya seperti hotel melati yang pernah berjaya di era 80-an atau 90-an. Kombinasi antara furnitur jati yang ‘jadul’ lantai teraso membuat saya seperti memasuki rumah ‘eyang’. Meskipun terlihat tua, kondisi di ruangan tersebut sangat bersih dan rapi.
Di dalamnya terdapat ruang tamu, meja makan panjang dari kayu, kamar-kamar, dapur, serta ruang tengah bergaya retro dengan desain sofa sirkular berwarna biru pastel. Di sebelah kiri rumah, terdapat kolam renang berukuran sedang dan taman yang semakin hangat penuh pancaran matahari.
Sekitar pukul 10.00 WIB, tiga orang warga lansia, yang terdiri dari dua orang pria dan satu orang perempuan, keluar dari pintu samping menuju tanah kosong di samping rumah. Para ‘oma dan opa’ ini tak sendirian, justru mereka didampingi oleh 5 orang anak-anak muda yang menuntun jalan dengan hati-hati. Alih-alih berprofesi sebagai caregiver, mereka terlihat seperti cucu yang sedang menemani kakek-neneknya.
Seorang caregiver menyiapkan tiga kursi merah untuk tempat duduk para lansia. Satu orang membawa balon oranye. Ternyata, caregiver ‘Gen Z’ ini sedang mengajak warga senior untuk beraktivitas sambil bermain lempar tangkap bola. Sambi diiringi musik yang ceria, terekam gelak tawa dan senyuman dari para perawat dan lansia, yang usia mungkin terpaut setengah abad itu.
“Ayo Eyang.. Tangkap bolanya. Oma juga jangan mau kalah, ya,” ujar seorang caregiver yang perempuan mengenakan seragam kaos polo coklat muda, celana hitam, dan jilbab manset warna senada.
Shyane Onggo, pemilik BRIGHT Senior Management menjelaskan aktivitas bermain yang dilakukan oleh caregiver dan warga lansia merupakan bagian dari program harian atau daily activity yang dijalankan di fasilitas senior living miliknya. Menurut dia, layanan yang didapat oleh pasien dengan demensia dan alzheimer berbeda dengan warga senior di panti jompo pada umumnya.
BRIGHT Senior Management merupakan salah satu perusahaan rintisan (startup) yang bergerak di layanan warga senior. Meski berdiri sejak 2021, dia menuturkan perusahaan tersebut baru fokus mengembangkan layanan untuk pasien demensia pada 2024. Dia mengingatkan bahwa lansia yang mengalami demensia memiliki kerusakan pada saraf otak, bukan jiwa.
“Jadi kalau perawat tidak benar-benar care untuk memahami kondisi tersebut, lansia dengan demensia ini tahu dan merasakan ini caregiver baik dan tulus. Caregiver juga harus punya pemikiran bahwa lansia dengan demensia ini sakit, jadi bukan karena orangnya jahat,” ujar perempuan berkacamata tersebut.
Saat ini, Shyane menuturkan ada empat layanan yang ditawarkan, yaitu Stay in BRIGHT Dementia Active Care Ciawi, Day Care membership BRIGHT Dementia Club Ciawi, BRIGHT Home Care Solutions, dan BRIGHT Senior Active Care Bogor.
Masing-masing layanan memiliki tarif atau biaya yang berbeda-beda, yaitu mulai Rp3 juta per orang per bulan untuk day care; Rp5,5 juta per orang per bulan untuk home care; Rp23 juta per orang per bulan untuk stay in dementia care, dan Rp33 juta per orang per bulan untuk senior active care.
Sebelum menitipkan lansia, Shyane akan melakukan tahapan assessment terkait kondisi pasien tersebut, mulai dari wawancara dengan pihak keluarga, tes kesehatan, hingga akhirnya warga senior dapat mengikuti uji coba atau trial kegiatan yang tersedia di BRIGHT Senior Management.
Selain memiliki caregiver berpengalaman, layanan BRIGHT Senior Management juga mendapat supervisi dari dr. M. Sedijono, SpPD (K) Geriatri. Dia merupakan dokter spesialis penyakit dalam yang berfokus pada geriatri atau penyakit lanjut usia.
Menurut Shyane, fokus utama bisnis senior living merupakan pelayanan jasa kesehatan untuk kalangan orang tua yang memiliki sensitivitas tinggi, baik dari sisi fisik maupun perasaan. Menurutnya, keluarga yang datang ke BRIGHT Dementia Active Care tidak terlalu mempermasalahkan nominal, tetapi bagimana penyedia layanan dan caregiver dapat memberikan kasih sayang kepada orang tua mereka.
“Kami bukan menggantikan peran keluarga, tetapi melengkapi kebutuhan lansia,” ucapnya.
Shyane menuturkan salah satu tantangan yang dihadapi penyedia layanan bisnis senior living bukan sekadar mengenali kondisi konsumen, tetapi para staf yang sebagian besar berprofesi sebagai caregiver. Untuk layanan yang menginap atau stay in, caregiver bertanggung jawab untuk menjaga warga senior selama 24/7 dengan sistem kerja yang dibagi menjadi 3 shift.
“Mungkin kami ini mesin, tapi mereka [caregiver] motor utamanya,” ucapnya.
Shyane pun mengungkapkan alasan merekrut caregiver dari kalangan Gen Z untuk merawat empat orang warga lansia di BRIGHT Dementia Active Care Ciawi. Perawatan lansia dengan demensia alzheimer, lanjutnya, bukanlah perkara mudah. Selain butuh fisik yang kuat, caregiver harus memiliki kesabaran dan rasa hormat terhadap warga senior yang mereka rawat.
Menurutnya, caregiver Gen Z atau yang baru lulus dari sekolah menengah khusus (SMK) masih memiliki rasa hormat terhadap orang tua dibandingkan perawat yang lebih senior. Bahkan, kata dia, ada Gen Z yang ingin menjadi caregiver bukan sekadar mencari uang, tetapi mendapat pengalaman sebelum nanti mereka mengurus orang tua di rumah.
Shyane dan rekannya juga sering membuka sesi ‘curhat’ dengan caregiver muda untuk mengetahui apa saja kendala yang mereka hadapi saat merawat warga senior. Selain itu, dia juga sering meminta masukan dari pekerja terkait aktivitas atau permainan yang bisa mereka jalankan dengan pasien.
“Anak muda itu inginnya kerja fun. Nah, gimana caranya kami membuat program yang cocok buat senior, tetapi juga menyenangkan untuk caregiver ini. Yang penting semua cerita, semua pihak happy,” ucapnya.
Yulianingsih, salah satu caregiver Gen Z, menceritakan alasannya ingin bekerja sebagai perawat lansia. Gadis berusia 19 tahun itu bersekolah di SMK Kesehatan Al Ikhlas, Cisarua, dan mengambil jurusan Asisten Keperawatan & Caregiver. Yulia, sapaan akrabnya, mengaku tertarik untuk menjadi caregiver karena dorongan dari orang tua. Selain itu, Yulia mengatakan terpikir menjadi caregiver karena ada tetangganya yang sudah bekerja perawat dan saat ini memiliki karier yang cukup baik.
“Orang tua bilang saya cocok jadi caregiver karena saya sabar. Saya juga lihat ada tetangga yang kerja di bidang ini dan sekarang sukses. Yah, bisa jadi motivasi saya juga,” ujar Yulia ketika ditemui di sela-sela shift.
Senada dengan Yulia, Rahmi Rahmawati (19 tahun) juga mantap memilih profesi caregiver di usianya yang masih muda. Rahmi mengaku alasan dirinya terjun ke bidang perawatan kesehatan agar tidak kaget saat harus menemani dan merawat orang tua yang sudah sepuh di rumah.
Saat bersekolah di SMK, Yulia dan Rahmi mengatakan mempelajari soal kebutuhan dasar manusia (KDM), khususnya lansia. Tantangan yang dihadapi untuk memenuhi kebutuhan warga senior lantaran kondisi fisik dan sosial yang sudah menurun. Untuk menjadi caregiver yang baik, lanjutnya, dia harus melakukan pendekatan secara personal kepada pasien lansia. Misalnya mendengarkan saat mereka cerita, walaupun sering kali melantur.
Sebelum bergabung dengan BRIGHT Dementia Active Care, Yulia dan Rahmi sudah pernah magang di Rukun Senior Living yang berlokasi di Sentul, Bogor. Di sana, mereka mendapat pengalaman untuk mengurus lansia selama tiga bulan.
Ketika ditanya soal suka-duka saat menjadi caregiver khusus pasien demensia alzheimer, keduanya kompak menjawab tantanga utama adalah menjaga emosional. Menurut mereka, caregiver lansia dengan demensia harus sabar dan mampu menahan diri. Selain itu, mereka juga harus bisa menahan ego di hadapan warga senior.
Yulia mengatakan kerja menjadi caregiver di senior living tidak monoton karena banyak kegiatan yang dilakukan dengan warga lansia. BRIGHT Dementia Active Care menyediakan tiga shift, yaitu pagi (07.00-16.00 WIB), siang (10.00-20.00 WIB), dan malam (20.00-08.00 WIB) untuk para caregiver. Untuk gaji, para caregiver di senior living yang baru lulus SMK menerima gaji di kisaran Rp2 juta sebulan. Gaji tersebut masih di bawah upah minimum regional (UMR) Kabupaten Cianjur 2024 sekitar Rp2.915.105.
“Gajinya memang tidak terlalu besar, tapi cukup. Saya enjoy dengan pekerjaan ini. Kalau ada rezeki, saya ingin kuliah keperawatan. Saya yakin peluang kerja sebagai caregiver di Indonesia ini sangat banyak, termasuk di luar negeri seperti Jepang dan Singapura,” imbuh Yulia.
Tetap Aktif dan Produktif di Day Care Lansia
Layanan dan fasilitas untuk lansia terus bermunculan di berbagai wilayah. Selain perusahaan yang bergerak di bidang senior living, ternyata ada komunitas yang menyediakan program menarik agar lansia agar tetap aktif di masa tua, salah satunya Tenteram Senior Care (TSC).
Berbeda dengan panti jompo pada umumnya, Tenteram Senior Care merupakan layanan day care yang menawarkan wadah berkumpul para lansia dimana mereka bertemu dan mendapatkan teman berbicara, aktivitas bermain sehingga dapat menjadi lansia yg bahagia, sehat dan berdaya. Aktivitas TSC saat dilakukan di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI), Depok, Jawa Barat.
Direktur Tenteram Senior Care Yanti Djani mengatakan inisiasi untuk membentuk TSC tercetus saat reuni 40 tahun alumni Fakultas Ekonomi UI angkatan 1983 atau yang dikenal dengan Wonder83. Yanti, Velly, dan Helmy, yang merupakan bagian dari Wonder83, bercita-cita ingin membangun griya untuk menghabiskan masa tua bersama teman-teman seangkatan saat kuliah.
“Awalnya, kami ingin membangun senior living, tetapi perizinan cukup rumit dan biayanya lumayan besar. Akhirnya, kami sepakat untuk membuat day care yang bisa menjadi ruang beraktivitas bagi lansia, termasuk teman-teman Wonder83,” kata Yanti saat ditemui Bisnis di RSUI Depok.
Yanti dan teman-temannya awalnya kebingungan mencari tempat untuk operasional Tenteram Senior Care. Untungnya, mereka bertemu dengan dokter Astrid yang menawarkan lokasi kegiatan di Gedung Administrasi RSUI lantai 4. Akhirnya, day care lansia Tenteram Senior Care resmi beroperasi pada 29 Mei 2024.
TSM mengusung Program Aktivitas Usia Lanjut (PAUL) yang mencakup tiga hal utama, yaitu olah tubuh (brain gym, body percussion, pound fit untuk lansia, body movement, line dance), olah rasa (informasi kesehatan, pegenalan diri, pembelajaran hidup dari inspiring seniors), dan olah pikir (aktivitas seni dan kerajinan tangan serta mengenali kebudayaan).
Yanti mengaku program PAUL terinspirasi dari senior day care yang ada di Jenewa dan New York yang pernah dikunjunginya semasa tinggal di luar negeri.
Untuk saat ini, kata Yanti, kegiatan TSM dilakukan selama satu minggu sekali, yaitu setiap Rabu mulai pukul 09.00-15.00 WIB. Lantaran keterbatasan tempat dan staf, TSM membatasi jumlah lansia yang bisa mengikuti kegiatan hanya 15 orang untuk setiap pertemuan.
Adapun, kategori lansia yang masih bisa mengikuti kegiatan, yakni lansia muda (60-70 tahun), lansia madya (70-80 tahun), dan lansia paripurna (di atas 91 tahun). Agenda PAUL awalnya dirancang untuk lansia muda dan madya yang bisa berkegiatan mandiri.
“Namun, dalam perkembangannya saat ini juga diikuti peserta di atas 80 tahun dan peserta yang berkegiatan dengan didampingi anggota keluarga atau caregiver pribadi. Peserta tertua berusia 91 tahun namanya Bapak Bambang,” jelasnya.
Kegiatan di TSM pada Rabu dimulai dengan registrasi, pemeriksaan tanda-tanda vital, yang dilanjutkan dengan brain gym. Kegiatan tersebut bertujuan untuk menstimulasi otak dan motorik warga senior.
Tidak lama, muncul dokter dari RSUI yang memberikan informasi kesehatan tentang gejala vertigo pada lansia. Jelang istirahat makan siang, panitia mengajak 15 orang warga senior yang sebagian besar perempuan untuk bergerak dengan senam ringan di atas kursi. Day care di TSC juga menyediakan makan siang dan kudapan bergizi seimbang khusus lansia dari Dapur Gizi RSUI. Setelah makan siang, kegiatan lansia dilanjutkan dengan kesenian dan fun games yang di akhiri pada pukul 15.00 WIB.
Yanti mengatakan lansia yang ingin mengikuti program day care TSM akan diterapkan biaya sebesar Rp300.000 per hari atau Rp1 juta per 4 kali kedatangan. Meski demikian, dia mengakui bahwa biaya operasional sebenarnya atau actual cost mencapai Rp450.000 per orang. Namun, untuk mengakomodasi warga lansia yang keuangannya terbatas kami memberikan diskon 30% sehingga menjadi Rp210.000 per kedatangan atau Rp700.000 untuk 4 kali kedatangan.
“Saat ini, pendanaan masih swadaya dari alumni FE UI 83 dan donatur Consulting Servicer Indonesia dan Zero Sixers Cycling Club [komunitas goweser Alumni FEBUI. Kami berharap ada pihak-pihak lain yang ikut serta dalam mendukung aktivitas lansia,” ujar Yanti.
Caregiver jadi Solusi di Tengah Tren PHK?
Peningkatan jumlah penduduk senior di Indonesia dapat memberikan dampak pada jasa perawatan lansia, termasuk naiknya kebutuhan akan tenaga caregiver. Selama ini, profesi caregiver di luar negeri, seperti Jepang, Eropa, dan Singapura, lebih diminati lantaran standar gaji yang tinggi. Seiring masuknya RI dalam kategori ageing population, permintaan caregiver di dalam negeri ternyata terus bertambah.
Hal itulah yang dirasakan oleh Munaroh. Perempuan berusia 38 tahun asal Brebes, Jawa Tengah mengaku sudah 12 tahun terakhir berprofesi sebagai caregiver. Berbeda dengan Yulia dan Rahmi, Mbak Mun, sapaan akrabnya, memilih jalur home care atau perawat yang dipekerjaan untuk satu pasien lansia di rumah.
Pekerjaan caregiver home care cukup mirip dengan pekerja rumah tangga (PRT), namun dengan tanggung jawab yang lebih besar. Mbak Mun bercerita sudah setahun ini dia ditugaskan untuk menjaga Pak Bambang, lansia yang saat ini berusia 91 tahun. Mbak Mun sudah menjadi caregiver selama 12 tahun. Lokasinya berpindah-pindah, tapi tetap di sekitar wilayah Jabodetabek.
“Dulu itu saya sudah cari kerja. Saya sempat bekerja di pabrik bahkan jadi TKW di Arab Saudi. Pas kembali ke Indonesia, ada yang nawarin saya kerja jadi perawat lansia. Akhirnya saya jalanin sampai sekarang,” ujarnya ketika ditemui Bisnis di Tenteram Senior Care sambil menjaga Pak Bambang.
Mbak Mun mengaku tidak ada alasan khusus yang membuat dirinya terjun sebagai caregiver. Namun, dia mengatakan tertarik bekerja menjadi caregiver agar bisa menjaga orang tuanya sendiri di kampung.
Sebelum menjaga pasien senior, dia telah mendapat pelatihan khusus dari yayasan. Meski demikian, dia tak mendapatkan sertifikasi karena tidak terlalu dibutuhkan untuk pekerjaan di dalam negeri. Beberapa keahlian yang harus dimiliki caregiver, yaitu cara memberi obat, melihat tanda-tanda vital, cara memandikan, dan membantu pasien untuk bergerak dari kasur atau kursi roda.
Selama 12 tahun menjadi caregiver, Mbak Mun mengaku sudah merawat pasien dengan berbagai latar belakang, antara lain pasien lansia aktif, stroke, demensia, hingga penyakit kritis seperti kanker.
Menurutnya, modal utama menjadi caregiver adalah rasa sabar tinggi dan fisik yang kuat. Dia mengatakan gaji yang didapat terus meningkat sesuai dengan pengalaman kerja. Mbak Mun bahkan mempromosikan pekerjaan yang dia geluti saat ini kepada sanak saudara.
“Dulu ketika baru mulai sebagai caregiver homecare gaji saya hanya Rp3 juta per bulan. Sekarang alhamdulillah bisa dapat Rp6 juta. Ada juga saudara dan tetangga yang minat jadi caregiver. Saya bilang modalnya yang penting ulet dan sabar,” tuturnya.
Lantas, apa strategi pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan tenaga caregiver ke depannya? Dirjen Pembinaan Pelatihan Vokasi dan Produktivitas Kementerian Ketenagakerjaan Agung Nur Rohmad mengatakan kebutuhan tenaga kerja di sektor kesehatan secara umum diperkirakan akan terus mengalami peningkatan hal itu sesuai dengan dokumen proyeksi kebutuhan tenaga kerja per sektor dan jabatan 2025-2029 yang disusun oleh Kemnaker,
Oleh karena itu, pengembangan keterampilan melalui pelatihan vokasi maupun pendidikan vokasi bagi tenaga kesehatan sangat diperlukan termasuk untuk menjadi caregiver profesional.
"Ini dapay membuka peluang kerja yang signifikan di dalam negeri, terutama bagi generasi muda walaupun jumlah tenaga kerja caregiver masih lebih banyak yang dikirim bekerja di luar negeri, misalnya lewat skema penempatan government to goventment [G to G] dengan pemerintah Jepang," ujarnya ketika dihubungi Bisnis.
Kemnaker, melalui Ditjen Binalavotas , juga menyelenggarakan program pelatihan terkait caregiver baik di UPT BPVP atau bekerja sama dengan LPK Swasta melalui platform SIAPkerja. Menurutnya, pelatihan vokasi tersebut tentunya diselenggarakan dengan mengacu pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang telah ditetapkan melalui Kepmenaker Nomor 28 tahun 2021 bidang Caregiver Lanjut Usia.
Beberapa UPT BPVP kami yang menyelenggarakan program pelatihan dan sertifikasi caregiver, yaitu BBPVP Medan, BBPVP Semarang, dan BPVP Lombok Timur.
Sertifikasi kompetensi kerja caregiver, lanjutnya, juga menjadi perhatian dan prioritas dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). BNSP telah menetapkan skema sertifikasi untuk profesi caregiver yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme tenaga kerja di sektor ini. Jumlah skema yang ditetapkan BNSP berjumlah 4 (empat) skema yaitu:
- Skema Sertifikasi KKNI Kualifikasi 3 Bidang Caregiver;
- Skema Sertifikasi KKNI Jenjang Kualifikasi 4 Caregiver;
- Skema Sertifikasi Okupasi Caregiver Penyelia; dan
- Skema Sertifikasi Okupasi Caregiver Pelaksana.
Selain itu, BNSP juga menetapkan lisensi serta membina Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang menyelenggarakan sertifikasi bidang caregiver.
"Adanya LSP yang mempunyai lisensi di bidang caregiver ini dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas sertifikasi kompetensi serta menjadi salah satu bagian dari upaya pemerintah bersama swasta dalam menyediakan pekerjaan yang layak bagi tenaga kerja kita," imbuhnya.
Wakil Ketua Harian Asosiasi Senior Living Indonesia (ASLI) Trisno Muldani mengatakan beberapa isu terkait ekonomi perawatan, khususnya lansia, yakni keterbatasan fasilitas dan layanan, kekurangan tenaga pendamping profesional, stigma negatif panti jompo, kurangnya penghargaan terhadap profesi caregiver, serta kesenjangan antara implementasi dan kebijakan.
Menurutnya, implementasi profesi caregiver di Indonesia terbilang telat dibandingkan negara lain. Trisno menuturkan bahwa Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian Kesehatan baru menerbitkan aturan soal kualifikasi dan standar kompetensi pekerjaan profesi caregiver lansia pada 2021. Sementara itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi baru merilis aturan soal spektrum keahlian jurusan caregiver di SMK pada 2024.
Sayangnya, dia mengatakan bahwa sebagian besar caregiver di Indonesia belum masuk dalam kategori pekerjaan formal. Saat ini, negara-negara yang membutuhkan sudah meminta agar pekerja caregiver Indonesia memiliki sertifikasi. Menurutnya, sertifikasi dapat meningkatkan standar penghasilan para perawat lansia di dalam negeri.
“Sekarang banyak orang mau jadi caregiver di luar negeri, kenapa? Utamanya karena kesenjangan gaji. Bisa dibandingkan caregiver yang baru lulus sertifikasi dan home care gajinya Rp3,5 juta-Rp5 juta per bulan, kalau berpengalaman Rp6 juta-Rp7 juta. Nah, kalau caregiver di Jepang bisa dapat Rp15 juta-Rp25 juta sebulan,” ucapnya.
Meski demikian, Trisno yakin permintaan caregiver di dalam negeri akan terus bertambah. Dia memprediksi angka harapan hidup di Indonesia ke depan makin meningkat bisa mencapai 76-80 tahun. Makin panjang usia harapan hidup masyarakat, lanjutnya, semakin tinggi juga kebutuhan caregiver profesional. Tingginya permintaan juga lantaran populasi penduduk lansia di Indonesia yang hampir menyamai penduduk usia muda pada 2050.
Selain itu, dia melihat bahwa pengusaha yang terjun ke bisnis perawatan lansia, seperti senior living dan senior day care, juga meningkat. Belum lagi permintaan keluarga untuk merekrut caregiver di rumah atau home care. Jika pemerintah serius mendukung sektor lansia, Trisno yakin profesi keperawatan khususnya caregiver dapat menjadi solusi dari tren pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor manufaktur.
“Kolaborasi antara pemerintah dan swasta sangat penting dalam meningkatkan awareness terhadap ekonomi keperawatan. Di satu sisi pengusaha ingin membuka fasilitas ramah lansia agar jumlah caregiver bertambah. Nah, sebaiknya pemerintah memberikan dukungan terkait iklim usaha di bidang senior care,” imbuhnya.
Ditemui terpisah, Anggota Badan Legislasi DPR I Ketut Kariyasa Adnyana mengatakan pihaknya berupaya untuk mempercepat pembahasan Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) demi menghadirkan regulasi yang mampu melindungi pekerja rumah tangga, termasuk caregiver.
Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) itu pun menekankan konsistensi komitmen PDIP dalam mengawal pengesahan RUU PPRT menjadi undang-undang, terutama mengingat mayoritas pekerja rumah tangga merupakan perempuan yang sering kali menghadapi risiko diskriminasi dan kekerasan.
Selain itu, badai PHK tahun ini tidak hanya terjadi di sektor padat karya seperti manufaktur saja, melainkan juga mengancam sektor akomodasi hingga digital. Merujuk pada data Kementerian Ketenagakerjaan, kasus PHK di Indonesia tercatat sebanyak 77.965 pekerja sepanjang 2024 atau meningkat 20,2% (year-on-year/yoy) dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 64.855 pekerja.
“Selain menjadi pahlawan devisa di luar negeri, profesi caregiver untuk merawat lansia di dalam negeri juga bisa menjadi alternatif pekerjaan bahkan solusi bagi masyarakat saat sektor manufaktur terpuruk akibat PHK,” kata Ketut.
Liputan didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta yang bekerja sama dengan International Labour Organization (ILO) untuk tema "Ekonomi Perawatan dari Perspektif Media".
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel