"Terasa banget sekarang dagang bawang putih ya Allah, untuk menutup karyawan sudah sangat berat."
Pedagang bawang putih merintih. Kondisi berdagang tak lagi menguntungkan seperti dulu. Tak jarang, modal dari kantong pribadi terkikis untuk menyambung usaha sehari-hari.
Haerul, salah satu dari sekian banyak pedagang yang menjual bawang putih di Pasar Induk Kramat Jati mengungkapkan sulitnya kondisi berdagang saat ini.
Selain harus memikirkan keuntungan pribadi, Haerul masih harus memikirkan nasib 15 orang karyawan yang menggantung nasib pada tokonya.
Masa sulit telah dialaminya dalam dua tahun terkahir, hadirnya importir di pasar telah menggerus pundi-pundi keuntungan dari tiap siung bawang putih yang dijual.
"Untuk mencari keuntungan itu susah, kalau dulu cari keuntungan Rp500, sekarang keuntungan bersih Rp100 rupiah susah," ungkapnya.
Bisnisnya kini terimpit akibat semrawutnya bisnis bawang putih yang tak jelas aturan mainnya.
Pedagang-pedagang pasar, kata Haerul, kini melawan para importir yang juga menjajakan bawang putih di pasar.
"Tentu kita untuk menyaingi [importir] kita susah, kebanyakan menjual di bawah saya [harganya], wajar karena langsung potong kompas," ucapnya.
Kusutnya pola perdagangan bawang putih kian diperparah dengan adanya aturan kuota impor yang ditetapkan oleh pemerintah.
Menurutnya, sistem kuota impor yang seharusnya mengatur pasokan bawang putih, justru membuat kepastian pasokan bawang putih malah semakin amburadul.
"Tentu importir susah untuk dipersatukan, karena ingin mengamankan kuotanya masing-masing, tentu ini berdampak juga ke bawah," jelasnya.
Importir Bawang Putih Gigit Jari
Sulitnya impor bawang putih bukannya menjadi buah bibir belaka. Kondisi itu bahkan telah dialami sejak 5 tahun terakhir.
Carut-marut impor bawang putih ditenggarai sejak diberlakukannya rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) sejak 2017.
Anggota Perkumpulan Pengusaha Bawang Putih dan Umbi (Pusbarindo) Jaya Sartika mengatakan sejak diberlakukannya 2 kebijakan 2 Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementerian Perdagangan (RIPH), pihaknya sulit untuk mendapatkan surat persetujuan impor (SPI).
Proses yang sebelumnya dapat selesai hanya dalam 14 hari kerja, kini bisa memakan waktu hingga 2 bulan, bahkan lebih.
Mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25 Tahun 2022, prosedur penerbitan SPI bawang putih ditetapkan selama 5 hari setelah dokumen dinyatakan lengkap.
"Hanya orang-orang punya jalurnya kalau istilah di bawang putih, kalau hanya pemain yang biasa-biasa saja butuh perjuangan," kata Jaya.
Menurutnya, banyak pola permainan yang tidak jelas dalam mendapatkan RPIH. Mulai dari proses administrasi yang tidak jelas, penghitungan kuota yang akan diimpor, dan kurang jelasnya distribusi dari para pengimpor yang tidak diperhatikan.
Jaya menambahkan, Kemendag tidak memiliki proyeksi terkait dengan kebutuhan bawang putih di dalam negeri, sehingga kuota impor yang diberikan kepada para importir kerap tidak jelas.
"Terakhir itu hanya dikasih sedikit sekali, November kemarin 100 perusahaan dibagi rata semua ada yang cuma 150 ton, dulu yang 7.000 ton cuma dikasih 400 ton, cuma 10 kontainer," sebutnya.
Kemendag, lanjut Jaya, juga tidak secara jelas dalam menyeleksi para importir yang akan memasukkan bawang putih ke dalam negeri.
Dia menuturkan, banyak para importir yang tidak memiliki kapasitas yang jelas turut ikut dalam mengajukan izin impor. Padahal, importir tersebut tidak memiliki jaringan distribusi yang jelas.
"Ini karena tidak adanya pembatasan pengaju, itu yang membuat proses impor terkesan semeraut. karena banyak sekali yang tidak berkepentingan ikut nimbrung di situ, yang sekarang," imbuhnya.
Benang Kusut Impor Bawang
Adanya permainan dalam pemberian RPIH bawang putih telah dikeluhkan para pelaku usaha importir.
Hal itu lantas dilaporkan para importir ke Ombudsman untuk menginvestigasi adanya maladministrasi Kemendag dalam menerbitkan SPI dan Kementan dalam memberikan RIPH.
Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatikan mengatakan Ombdusman langsung terjun melakukan rekomendasi terhadap RIPH bawang putih ke Kementan.
"Jumat ini ada dua lembaga dari kementan yang akan diperiksa. Semoga mereka kooperatif mau hadir," ungkapnya.
Dalam investigasi yang telah dilakukan, Yeka membeberkan bahwa pihaknya menemukan adanya sejumlah permasalahan pelayanan penerbitan RIPH bawang putih di Kementan.
Adapun RIPH selama ini menjadi salah satu syarat bagi importir untuk mengimpor produk pertanian.
Yeka mengatakan, Ombudsman menemukan adanya pemberian biaya penanaman bawang putih dari importir yang jumlahnya kurang dari kebutuhan petani. Hasil pantauan Ombudsman di Kecamatan Kledung, Kabupaten Temanggung ditemukan biaya penanaman bawang putih sebesar Rp70 juta per hektare per musim tanam.
Namun, kata Yeka, sejumlah importir hanya memberikan dana biaya tanam kepada petani pelaksana wajib tanam bawang putih sebesar Rp15 juta-Rp20 juta per hektare
Selain itu, masalah lain dalam sengkarut impor bawang putih adanya calo dalam pengurusan wajib tanam para importir.
Yeka menyebut pihaknya juga menemukan adanya dugaan praktik pungutan liar dalam penerbitan RIPH bawang putih. Adapun berdasarkan keterangan pelapor dan seorang importir mengaku dimintai sejumlah uang oleh oknum dari Kementerian Pertanian sekitar Rp200 - Rp250 per kilogram untuk melancarkan penerbitan RIPH bawang putih.
Padahal, ketentuan Peraturan Menteri Pertanian No. 2/2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pertanian No. 39/2019 Tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura, tidak terdapat ketentuan mengenai biaya layanan RIPH.
Adapun masalah terakhir yakni penerbitan RIPH bawang putih yang melebihi rencana impor bawang putih yang ditetapkan dalam rapat koordinasi terbatas (rakortas). Kementan diketahui telah menerbitkan RIPH bawang putih sebanyak 1,2 juta ton per 17 Oktober 2023. Padahal, kuota impor tahun ini ditetapkan sebanyak 561.926 ton.
"Hal tersebut menunjukkan bahwa pengendalian impor komoditas bawang putih oleh Menteri Perdagangan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat (legally non-binding), sehingga Kementan dapat menerbitkan RIPH bawang putih tanpa melihat instrumen pengendalian impor," ujar Yeka.
Menanggapi hal itu, Menteri Pertanian Amran Sulaiman justru meragukan ada oknum dari instansinya yang terlibat dalam dugaan maladministrasi penerbitan RIPH bawang putih yang tengah diinvestigasi oleh Ombudsman.
"Ada dari Kementerian? ada enggak hubungannya dengan kementerian?" ucap Amran.
Sementara itu, Kemendag menyatakan telah dalam proses melaksanakan tindakan korektif yang diberikan Ombudsman terkait dengan penerbitan surat persetujuan impor (SPI) bawang putih.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kemendag, Budi Santoso mengatakan pelaksanaan tindakan korektif untuk membenahi penerbitan SPI telah dalam tahap finalisasi.
Budi memastikan, Perdirjen No. 31/2023 akan dicabut sehingga untuk penerbitan SPI tidak memerlukan persetujuan Menteri Perdagangan.
Sebelumnya, Ombudsman menyoroti aturan tambahan dalam lampiran F Peraturan Dirjen Daglu No. 31/2023, bahwa proses penerbitan SPI bawang putih dapat dilaporkan terlebih dahulu kepada Menteri Perdagangan untuk mendapatkan pertimbangan lebih lanjut.
Dirjen Daglu mengaku alasan dirinya membuat aturan tambahan tersebut hanya untuk menerapkan prinsip kehati-hatian.
Pasalnya, kuota penerbitan SPI lebih sedikit dari jumlah rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) bawang putih yang diterbitkan Kementan.
Menurutnya, SPI diterbitkan berdasarkan kebutuhan impor yang ditetapkan dalam prognosa neraca pangan yakni 55.000 ton per bulan.
Adapun, Kementan tahun ini telah menerbitkan RIPH hingga 1 juta ton. Aturan pertimbangan Menteri Perdagangan itu dianggap sebagai upaya selektif untuk menerbitkan SPI kepada importir yang memenuhi persyaratan.
Budi menyebut kebutuhan impor berdasarkan rakortas ditetapkan sebanyak 561.900 ton.
"Ya rencananya akan dicabut," ucap Budi.
Perlu Kebijakan Searah
Polemik izin impor bawang putih harus menjadi bahan evaluasi menyeluruh pemerintah ke depannya.
Pengamat Pertanian Khudori mengatakan rekomendasi volume impor yang dikeluarkan oleh Kementan kerap kali tidak sesuai dengan volume kebutuhan di dalam negeri.
Menurutnya, volume total dari RIPH yang dikeluarkan Kementan kerap tidak tecermin dalam PI yang dikeluarkan oleh Kemendag.
"Mestinya RIPH volume tecermin dari kuota impor yang disetujui pemerintah, tidak bisa Kementan memberi keranjang kosong yang itu diserahkan Kemendag," jelasnya.
Dia menuturkan, pada tahun ini saja misalnya, RIPH yang dikeluarkan Kementan berkisar 1,2 juta ton, sedangkan izin impor yang dikeluarkan hanya sekitar 560.000 ton.
Kudhori menuturkan, sepanjang tahun ini penerbitan RIPH cenderung tidak mengalami persoalan, tetapi masalah justru terjadi pada SPI yang terkesan ditahan.
"Semester pertama tahun ini keliahatan sekali PI tahun ini ditahan-tahan supaya harganya tinggi, itu menjadi pertanyaan besar.," ungkapnya.
Terkait dengan polemik penyediaan bawang putih, dia menilai perlu ada 2 evaluasi yang perlu dilakukan pemerintah.
Pertama, pemerintah perlu secara serius untuk memulai swasembada bawang putih dengan menetapkan waktu perencanaan yang sangat jelas agar dapat berjalan dengan maksimal.
Kedua, jika pemerintah belum mampu melakukan swasembada, proses pemenuhaan komoditas bawang putih harus dapat menyerahkan penyediaan ke pelaku pasar dengan lebih jelas.
"Kalau ada yang seret impornya tinggal disanksi," imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel