Waswas Eksodus Industri Tekstil China

Bisnis.com,08 Jul 2024, 15:25 WIB
Penulis: Afiffah Rahmah Nurdifa

Lesunya aktivitas pabrik tekstil, bukan lagi menjadi kabar burung. Kondisi tersebut dialami langsung oleh pekerja pabrik yang berakhir pada pemutusan hubungan kerja.

Mesin-mesin tenun yang biasanya sibuk, kini telah menjadi barang usang karena ditinggal operatornya. 

Kondisi ini dialami oleh Saeful Akbar, salah satu buruh teksil di kawasan Rancaekek, Jawa Barat. 

Saeful mulai menyadari penurunan aktivitas produksi setidaknya 6 bulan sebelum manajamen memutuskan untuk mengurangi jumlah karyawan di pabrik teksil milik pengusaha asal Jepang itu.

Selama 5 tahun bekerja di pabrik tersebut, Saeful mengaku tidak pernah melihat kondisi terpuruk seperti saat ini. Pesanan merosot dari biasanya.

Bagian waving, atau tenun untuk memproduksi kain lakban hingga salonpas masih tetap berproduksi, meski pesanan berkurang. Alhasil, tumpukan kain tebengkalai di gudang.

"Yang seharusnya kirim 1 minggu 10 kontainer, waktu itu hanya satu bulan 10 kontainer," ujar Saeful.

Saeful menuturkan, tempatnya bekerja itu biasanya mengirimkan kain ke berbagai wilayah di dalam negeri. Ada juga kain yang diproduksi untuk pasar ekspor.

Untuk di dalam negeri, kain hasil produksi biasanya dikirim ke wilayah Bekasi, Surabaya, dan Semarang. Sementara itu, untuk pasar ekspor, kain dikirim ke Vietnam, Dubai, dan Jepang.

Sayangnya, kondisi persaingan pasar dan ekonomi global yang pelik memicu ketidakpastian usaha. Bahkan, menurut dia, kondisi usaha pabrik kala itu juga bersaing ketat dengan produk-produk hasil pabrikan China yang lebih murah.

Di sisi lain, pasar global kebanyakan lebih memilih kain yang murah, kualitas menjadi nomor 2. 

"Rata-rata di Indonesia banyak pengusaha China, China tau sendiri kaya gimana, upah minim tapi porsi kerja sama kaya gaji UMR," terangnya. 

Impitan yang dialami perusahaan akhirnya berimbas kepada nasib Saeful. Harus menerima nasib untuk PHK. 

Pada Januari 2024, dia dipanggil manajemen seorang diri dan menjadi satu-satunya yang di PHK pada periode awal tahun dari bagian lini produksi weaving
Enam bulan sebelumnya, 10 orang pekerja sudah lebih dulu dipecat dari total 50 orang. 

"Alhamdulilah kalau di pabrik kemarin untuk hak karyawan seperti pesangon, Jamsostek dan lainnya diberikan tanpa bertahap atau dicicil," pungkasnya.

Serbuan Investasi dari China

Di balik 'serangan' impor barang jadi asal China di pasar domestik, tak menutup fakta bahwa industri olahan lokal memang perlu berkaca pada Negeri Tirai Bambu dalam berinovasi. 

Pabrik daur ulang plastik milik China di kawasan industri Pasar Kemis, Tangerang, sebagai contoh. Investasi sektor hulu plastik itu mengubah sampah bekas menjadi produk bahan baku olahan tekstil.

Sejak 2007, mesin-mesin penggerus plastik bekas botol dan kemasan mulai berderu di pabrik PT Harvestindo International. Perusahaan yang dimodali pihak China itu memproduksi polyester, silikon, serat, benang, akrilik, dan lainnya. 

Dari fasilitas kawasan berikat yang diperoleh, Harvestindo telah mengekspor produk-produk tersebut ke berbagai benua. Bahkan, berani menampilkan diri dalam pameran tekstil terbesar di dunia, Heimtextil 2024 di Frankfurt, Jerman.

"Ya, kami ini kawasan berikat, memang banyak nya di eskpor ke Eropa, Asia juga ada, dan sedikit juga dikirim ke lokal," ujar seorang pegawai Harvestindo, Liliks.

Siapa sangka, barang bekas yang diproduksi di sudut Tangerang itu mampu menerbangkan produknya ke belahan dunia. Setiap hari, truk-truk sumbu 3 membawa sampah bekas beriringan mengantar ke kawasan tersebut. 

Meski agak amis dan diwarnai debu pekat, pabrik pengolahan bahan jenis Polyethylene Terephthalate (PET) dan Polyvinyl chloride (PVC) memberikan nilai tambah berbeda pada outputnya. 

"Kalau kita itu dari PET daur ulang dari botol plastik, terus ada proses dihalusin nanti akhirnya jadi fiber buat bahan daleman bantal, selimut, karpet, misalnya itu," ujarnya. 

Industri yang dikembangkan asing menjadi percontohan pentingnya mendorong penanaman modal asing (PMA) di sektor hulu untuk mendorong produktivitas industri hilir, khususnya subsektor tekstil. 

Susunan pengurus dan pemegang saham PT Harvestindo International diisi oleh 3 orang warga negara asing (WNA). Rinciannya yaitu Song Jianyu sebagai Komisaris Utama dengan kepemilikan saham 250.000 lembar senilai Rp2,1 miliar. 

Lu Shiquan sebagai Komisaris yang beralamat di China dengan kepemilikan saham sebanyak 500.000 lembar senilai Rp4,38 miliar dan Chen Libo sebagai direktur yang memiliki saham Rp4,38 miliar. 

Perusahaan tersebut memperdagangkan 2 jenis KLBI dengan kode 20131 yaitu industri damar buatan (resin sintesis) dan bahan baku plastik. Selain itu juga kode KBLI 20301 yaitu industri serat, benang, strip filamen buatan. 

Tepat di sampingnya, pabrikan serupa milik PT Grand Everest International juga memilkili bisnis daur ulang kemasan yang beroperasi sejak 2017. Hal ini pun terlihat dari hilir mudik pekerja angkutan yang memasukkan beragam jenis plastik bekas. 

"Kalau saya baru disini, ini buat Everest plastik-plastik bekas botol Aqua. Sehari segini banyaknya ratusan karung, banyak," ujar Maman (50). 

Menelisik ke dalam struktur kepengurusan, Grand Everest International dimiliki oleh 3 WNA asal China yaitu Fan Chunqi sebagai Komisaris dengan kepemilikan sebanyak 12.735 lembar saham senilai Rp12,73 miliar. Direktur Utamanya yaitu Fang Jie dengan kepemilikan 1.415 lembar saham senilai Rp1,4 miliar dan Chen Tao sebagai Direktur. 

Setidaknya terdapat 5 kode KBLI yang diproduksi pada pabrik di kawasan Pasar Kemis tersebut yaitu resin sintesis dan bahan baku plastik, barang dari plastik untuk pengemasan, pipa plastik dan perlengkapannya, plastik lembaran, dan barang plastik lainnya.

Bahkan, produknya juga dapat digunakan sebagai bahan baku barang pakaian, alas sepatu dari plastik, pegangan cerutu, peralatan olahraga yang membutuhkan busa, mainan anak-anak, hingga tas. 

Investasi Hulu Tekstil Digenjot

Dalam kurun waktu 4 tahun (2019-2023) total investasi China di Indonesia mencapai US$28,4 miliar atau setara Rp451,7 triliun. Kementerian Perindustrian mencatat 54% di dalamnya dibenamkan pada sektor manufaktur senilai US$15,4 miliar atau Rp245 triliun. 

Khusus industri tekstil, merujuk pada data dari National Single Window for Investment (NSWI) nilai PMA ke industri tekstil pada triwulan I/2024 sebesar US$194,28 juta atau setara Rp3,17 triliun. Investasi tersebut naik 70% dari periode yang sama tahun lalu sebesar US$114,16 juta atau Rp1,86 triliun. 

Sementara itu, penanaman modal dalam negeri (PMDN) mengalami penurunan 41,85% menjadi Rp1,7 triliun pada triwulan I/2024 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu senilai Rp2,94 triliun. 

Dari sisi pemain lokal hulu tekstil, Asosiasi Produsen Serat, Benang, Filament Indonesia (APSyFI) sepakat untuk mendorong investasi di subsektor hulu. Meskipun, keberlangsungan usaha antara investasi lokal dan asing terjamin keadilannya. 

"Kalau mereka tambah lagi lebih bagus. Tetapi dia harus ikuti struktur cost kita. Meskipun, mereka pakai teknologi mesin terbaru seperti akan sulit bersaing karena barang impor dumping dari China yang harganya di bawah harga bahan baku," ujar Ketua Umum APSyFI, Redma Gita Wirawasta. 

Hal ini juga sekaligus menanggapi rencana investasi China di sektor tekstil tahun ini. Pemerintah tengah menggelar karpet merah untuk perusahaan asing yang akan membangun pabrik tekstil baru, khususnya beroritensi ekspor.

Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut B. Pandjaitan turun tangan membantu urusan perizinan terkait pembebasa lahan pabrik tekstil tersebut. 

"Saya telepon Menteri ATR/BPN [Agus Harimurti Yudhoyono], saya bilang 'Gus, kau bisa selesaikan gak keluarkan status tanah itu?', 'Bisa Pak, seminggu'. By the next month kita akan mulai lihat konstruksinya," ujar Luhut, Kamis (20/6/2024) lalu.  

Luhut menyebutkan bahwa pabrik yang dibangun perusahaan tekstil itu akan menyerap tenaga kerja hingga 108.000 lantaran tambahan rencana pembangunan pabrik di Sukoharjo, Jawa Tengah. Investor itu juga berjanji akan memberikan seluruh karyawan tempat tinggal.

Mendengar rencana tersebut, Luhut tak ragu untuk memberikan karpet merah dan bersedia pasang badan apabila terjadi kendala dalam proses pembangunan. 

Dia juga menjamin infrastruktur kebutuhan air yang nantinya akan terpenuhi dengan baik dari Waduk Jatiluhur atau Bengawan Solo. Namun, Luhut mewanti-wanti bahwa investasi yang dibawa perusahaan tersebut harus berupa usaha berorientasi ekspor.

"Semua kita minta investasi yang berorientais ekspor, kalau mau tumbuh 6,5%-7% harus minta kepada investasi orientasi ekspor. Ini ekspor dia [perusahaan garmen China] bisa sampai US$18 miliar, wah ini saya bilang karpet merah," pungkasnya.

Serbuan investasi China ini secara tak langsung karena dampak perang dagang Negeri Tirai Bambu itu dengan Amerika dan Eropa. Dua adidaya itu tengah gencar menegakan tarif mahal kepada eksportir asa China.

Akibatnya, China ramai-ramai merelokasi pabriknya ke negara lain, salah satunya Indonesia. China sendiri memberikan subsidi tinggi untuk memacu ekspor, baik bagi perusahaan di dalam negeri maupun di luar negeri.

Selamatkan Industri Padat Karya

Berdasarkan data Kemenperin, jumlah tenaga kerja di TPT per Februari 2024 sebesar 3,87 juta pekerja. Industri TPT berkontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja manufaktur sebesar 21,57%.

Faktanya, tak sedikit pabrik tekstil yang memilik untuk menutup pabriknya akibat kalah saing dengan produk impor. Ratusan pekerja tekstil pun terdampak PHK. 

Menurut BPJS Ketenagakerjaan, total klaim Jaminan Hari Tua (JHT) akibat PHK sektor tekstil, alas kaki, dan garmen hingga Mei 2024 mencapai 20% dari total klaim karena PHK sebanyak 75.380 klaim atau sebanyak 12.586 klaim. 

Sebagai informasi, sejumlah pabrik tekstil di Indonesia mulai bertumbangan yang berujung pada PHK massal. Menurut data Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN), sebanyak 6 pabrik telah berhenti beroperasi per awal Juni 2024. 

Enam pabrik itu antara lain PT S. Dupantex di Jawa Tengah (700 pekerja PHK), PT Alenatex di Jawa Barat (700 pekerja PHK), PT Kusumahadi Santosa di Jawa Tengah (500 pekerja PHK), PT Kusumaputra Santosa di Jawa Tengah (400 pekerja PHK). 

Lalu, PT Pamor Spinning Mills di Jawa Tengah (PHK 700 orang) dan PT Sai Apparel di Jawa Tengah (PHK 8.000 orang). Sementara itu, ada juga pabrik tekstil yang melakukan efisiensi karyawan. 

Sementara itu, beberapa pabrik masih beroperasi namun memangkas karyawannya pada awal tahun lalu seperti PT Sinar Panca Jaya di Semarang dengan jumlah PHK hingga awal Juni 2024 mencapai 2.000 orang.  

PT Bitratex di Semarang juga telah melakukan PHK terhadap 400-an karyawannya, PT Johartex di Magelang sebanyak 300-an orang, dan PT Pulomas di Bandung sebanyak 100-an orang.

Presiden KSPN Ristadi menyebut, permintaan tekstil di pabrik lokal yang masih lemah menjadi pemicu tutupnya sejumlah pabrik, lantaran tidak ada order sama sekali. Pasar ekspor pun saat ini masih dalam tren menurun. 

"Yang lokal karena pasar dalam negeri dipenuhi oleh barang-barang tekstil impor khususnya dari China, sehingga produk tekstil dalam negeri tidak bisa laku karena kalah harga jual,” ujarnya kepada Bisnis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor: Muhammad Ridwan
Terkini