TRAGEDI SUKHOI: Kini Muncul ahli penerbangan dadakan

Bisnis.com,13 Mei 2012, 20:07 WIB
Penulis: Arif Gunawan Sulistyono

 

 

JAKARTA: Beragam spekulasi penyebab kecelakaan pesawat Sukhoi Super Jet 100 yang beredar di sejumlah media, bahkan banyak pihak yang mendadak menjadi pakar penerbangan dengan berkomentar layaknya investigator penerbangan.

 

Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) enggan banyak berkomentar karena harus melalui investigasi dahulu.

 

Sehari pasca peristiwa jatuhnya pesawat Sukhoi Super Jet 100 buatan Rusia yang berpenumpang 45 orang termasuk kru ini, muncul selentingan soal handphone (hp) atau telepon genggam sejumlah penumpang di antaranya dua orang wartawan Majalah Angkasa yang masih aktif.

 

Namun kasus ini langsung dibantah oleh  manajemen Majalah Angkasa, yang menyatakan pihaknya sudah melacak langsung kepada provider hp kedua wartawannya yang turut dalam Joy Flight Sukhoi SJ 100 tersebut. Bahkan pakat telematika Roy Suryo juga mengatakan pihaknya sudah mendeteksi, hp kedua wartawan itu sudah tidak aktif lagi saat terbang.

 

Selain kasus hp, ada lagi masalah lain yang diprediksi menjadi penyebab kecelakaan pesawat prototype buatan Sukhoi Aviation Holding Company ini. Air traffic control (ATC) atau pengelola lalu lintas penerbangan katanya mengizinkan pilot Sukhoi meminta menurunkan ketinggian pesawat dari 10.000 kaki ke 6.000 kaki, padahal Gunung Salak yang ditabrak pesawat itu tingginya mencapai 7.000 kaki.

 

Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Herry Bakti S. Gumay mengatakan pihaknya mendengar pilot Sukhoi meminta izin untuk turun dari ketinggian 10.000 kaki menjadi 6.000 kaki. Level ketinggian 6.000 kaki di atas Lapangan Udara Atang Sanjaya ini dinilai aman, oleh ATC diperbolehkan turun ke 6.000 kaki.

 

“Pesawat yang jatuh ini merupakan penerbangan kedua dari jadwal Sukhoi SJ 100 dalam rangka demo terbang promosi. Pada penerbangan pertama pukul 11.30 WIB berjalan lancar. Yang kedua, pukul 14.21 WIB terbang dari Halim ke arah Bogor, pada saat jam 14.33 WIB kehilangan kontak dan berada di posisi di atas Gunung Salak. Kita tunggu diperkirakan fuel (bahan bakar) yang ada bisa terbang 4 jam, ternyata setelah itu tidak ada berita, selanjutnya dinyatakan hilang karena fuelnya sudah habis,” ucap Herry. 

Herry menjelaskan pada saat hilang kontak, kondisi cuaca di sekitar Gunung Salak sedikit tertutup awan dengan jarak pandang 4.000 meter. Mengenai pilot yang menerbangkan pesawat Sukhoi SJ 100, dinilai sudah terlatih karena merupakan pilot tes untuk pesawat-pesawat baru. Pilotnya berkebangsaan Rusia, sedangkan pilot Indonesia belum ada yang mengantongi sertifikasi terbang dengan Super Jet 100.

 

Ketua Federasi Pilot Indonesia Hasfrinsyah menyatakan kemampuan pilot Sukhoi SJ 100 membawa pesawat tidak perlu diragukan lagi. Pilot ini merupakan pilot tes, sehingga kemampuannya di atas rata-rata karena dipilih sebagai pilot untuk menerbangkan pesawat-pesawat baru, adaptasinya lebih cepat.

 

Dia menambahkan banyak yang mengatakan mengapa ATC mengizinkan pilot menurunkan pesawatnya ke 6.000 kaki di saat posisi pesawat di atas Gunung Salak yang tingginya 7.000 kaki.

 

“Belum ada yang bisa menjawab pilot diizinkan atau tidak. Namun, kata Ketua Umum Indonesia Air Traffic Control Association (IATCA) Susila, pilot tidak meminta izin untuk turun ke 6.000 kaki. Nah, kok bisa beredar pilot minta turun,” tuturnya.

 

Hasfrinsyah mengatakan berdasarkan pengalamannya sebagai pilot, untuk Joy Flight,  demo terbang untuk kegiatan promosi, seperti yang dilakukan Sukhoi SJ 100 ini, terbang hanya menggunakan visual flight rules (VFR), sehingga perlu terbang rendah di bawah 10.000 kaki agar penumpang dapat melihat pemandangan.

 

“Dalam Joy Flight, biasanya pilot menggunakan VFR, terbang lebih rendah, agar penumpang bisa menikmati pemandangan di luar sekaligus di dalam pesawat disuguhkan paparan mengenai keandalan dan kenyamanan pesawat tersebut,” tuturnya.

 

Namun, dalam penerbangan menggunakan VFR, ketentutannya, cuaca tidak berkabut dan tidak ada obstacle atau rintangan. Begitu ada obstacle, instrument di kokpit pesawat dilengkapi alat peringatan yakni Ground Proximity Warning System (GPWS) akan hidup, dan langsung mengeluarkan suara peringatan yang meminta pilot menaikkan ketinggian pesawatnya. Berbeda halnya jika pesawat hanya terbang di samping obstacle, tidak langsung berhadap-hadapan dengan obstacle, alat GPWS ini tidak akan memberi peringatan.

 

“Yang perlu dipertanyakan, GPWS nya hidup tidak pada saat terjadi tabrakan dengan tebing di Gunung Salak. Alat ini akan tetap hidup meskipun pilot menggunakan VFR. Dan yang perlu dipertanyakan lagi, apakah pesawat ini jatuh atau menabrak. Ini yang harus dibuktikan melalui investigasi,” ucapnya.

 

Ketua Umum Indonesia Air Traffic Control Association (IATCA) Susila mengatakan daerah udara di Lanug Atang Sanjaya sekitar Gunung Salak Bogor Jawa Barat ini dinyatakan bersih dari penerbangan lain, sehingga cocok dijadikan tempat latihan terbang. “Training area ini sudah sering sekali digunakan, pesawat aman untuk bermanuver, yakni belok kiri-belok kanan di daerah itu,” tuturnya.

 

Susila mengatakan pihaknya akan menunggu hasil investigasi KNKT soal penyebab kecelakaan pesawat Sukhoi SJ 100, dan tidak mau berspekulasi yang lain-lain.

 

Ketua KNKT Tatang Kurniadi mengatakan investigasi kecelakaan pesawat biasanya membutuhkan waktu satu tahun pasca kejadiaan, karena harus melalui sejumlah tahapan sesuai atutran International Civil Aviation Organization (ICAO). Pada investigasi jatuhnya pesawat MA-60 milik Merpati Nusantara di perairan Kaimana Papua, kejadian pada 7 Mei 2011, KNKT baru mengumumkan hasil investigasinya pada 7 Mei 2012.(msb)

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Novita Sari Simamora
Terkini