LINGKUNGAN: 36 Perusahaan bertanggung jawab atas perusakan sistematis

Bisnis.com,17 Jan 2013, 04:28 WIB
Penulis:
JAKARTA: Pemantauan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menemukan sedikitnya 36 perusahaan, yang didominasi sektor pertambangan dan perkebunan, diduga melakukan perusakan lingkungan sepanjang tahun lalu sehingga menyebabkan penghancuran ekologi secara sistematis. 
 
Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Walhi Abetnego Tarigan dalam pemaparan Proyeksi Lingkungan 2013 di Jakarta, Rabu (16/01/2013). Dia memaparkan analisis Walhi menemukan aktor perusak lingkungan tertinggi adalah korporasi, terutama di sektor pertambangan dan perkebunan.
 
"Temuan itu memperkuat bagi gerakan masyarakat sipil untuk terus mendesakkan tanggung jawab korporasi terhadap kejahatan lingkungan yang diduga telah dilakukan," kata Abetnego dalam pemaparannya. "Kerja kolaboratif korporasi dan negara juga menjadi sorotan."
 
Sepanjang 2012, Walhi mencatat konflik berbasis sumber daya alam telah mencapai 613 konflik yang tersebar di 29 provinsi. Organisasi pemantau masalah lingkungan itu juga mengadvokasi 149 kasus yang didominasi oleh kasus perkebunan (51 kasus) dan pertambangan (31 kasus), disusul dengan sektor kehutanan (33 kasus). Dalam data Walhi, 36 korporasi itu di antaranya terdiri dari BUMN dan swasta. 
 
Abetnego mengungkapkan persoalan lingkungan juga terjadi karena semakin menguatnya pertalian antara korporasi dengan negara. Dalam sejumlah kasus, korporasi biasa memakai aparat keamanan negara untuk memagari konsesi bisnis yang dimilikinya dari akses masyarakat.  Selain itu, juga masalah pemberian izin.
 
"Kebijakan justru menjadi legitimasi bagi korporasi untuk melakukan kejahatan dengan stempel izin pemerintah. Baik melalui perundang-undangan, regulasi maupun pemberian izin," kata Abetnego. 
 
Walaupun demikian, dia menjelaskan, sebagian masyarakat kini sudah mengetahui hak-hak dasarnya terkait dengan beroperasinya perusahaan di wilayah tertentu.  Abetnego mengatakan warga mulai mengetahui siapa aktor dan kepentingan di balik beroperasinya satu bisnis tertentu di wilayah mereka.
 
Oleh karena itu, Abetnego menegaskan, tahun ini masyarakat sipil harus bekerja lebih keras lagi untuk memecah konsolidasi kekuasaan politik dengan pemodal, terkait dengan lingkungan. Dia menuturkan isu lingkungan tidak boleh dijadikan sebagai alat negosiasi politik, menjelang 2014.
 
"Tahun ini menjadi momentum politik bagi rakyat untuk membersihkan lembaga negara, termasuk parlemen yang membuat undang-undang, dari perusak lingkungan," kata Abetnego. "Negara juga harus berperan aktif untuk menuntut tanggung jawab atas kejahatan lingkungan oleh aktor di luar negara."  (arh)
 
 
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Aprika Rani Hernanda
Terkini