SEMARANG – Bank Indonesia mengatur persaingan antara Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah karena sudah tercipta kompetisi yang ketat sehingga menghambat pertumbuhan bank komunitas.
Joni Swastanto, Kepala Bank Indonesia Perwakilan Jateng-DIY, mengatakan pihaknya sering menerima keluhan dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang merasa bisnisnya terancam akibat ekspansi Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah (Bank Jateng) ke wilayah bank komunitas tersebut. “Banyak keluhan dari BPR bahwa Bank Jateng menyerobot wilayah mereka,” ujarnya, Senin (18/2/2013).
Atas dasar itu, bank sentral kemudian memfasilitasi pertemuan antara BPR yang diwakili oleh Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) dan Bank Jateng. Hasilnya, ujar Joni, tercipta kesepakatan bahwa Bank Jateng tidak masuk lebih dalam ke wilayah nasabah BPR. Sebaliknya BPR akan bekerja sama dengan Bank Jateng dalam penyaluran kredit mikro lewat skema linkage.
Kesepakatan itu, lanjutnya, dilakukan pada akhir 2012, sehingga belum terlihat dampaknya pada awal tahun ini. “Kami berharap kesepakatan itu dijalankan sehingga hasilnya bisa terlihat pada tahun ini. Hasilnya akan menjadi pertimbangan bagi kami dalam membuat kebijakan,” ujarnya.
Persaingan yang ketat antara BPR dan Bank Jateng menyebabkan pertumbuhan bank komunitas di wilayah Jateng menjadi terhambat. Pada akhir 2012, laju pertumbuhan kredit BPR Jateng hanya 15,73%, di bawah kinerja industri BPR nasional yang mencapai 21,25%.
Sementara itu, bank umum di wilayah Jateng mencatatkan pertumbuhan kredit 24,24%, di atas nasional yang tercatat meningkat 23%. Khusus Bank Jateng mencatatkan pertumbuhan kredit 34,5% selama 2012, dengan outstanding Rp18,36 triliun.
Arif Budiarto, Ketua Perbarindo Jawa Tengah, mengatakan komitmen Bank Jateng tidak berarti apa-apa apabila tidak dijalankan. “Menurut kami yang penting adalah pelaksanaan komitmen tersebut. Kalau hasilnya benar maka tidak ada masalah,” ujarnya.
Dia mengakui pertumbuhan BPR di wilayah Jawa Tengah agak terhambat akibat persaingan dengan Bank Jateng yang agresif mengambilalih (take over) kredit dari beberapa BPR.
“Jadi dari periode akhir September sampai Desember outstanding kredit beberapa BPR mengalami penurunan akibat take over itu. Ada BPR yang ditake over Rp9 miliar. Kami sendiri kena Rp2 miliar,” ujar Arif.
Menurutnya, persaingan dengan Bank Jateng memang tidak bisa dihindari apabila memiliki segmen yang sama dengan BPR. Untuk itu, lanjutnya, dia mengharapkan persaingan ini harus diatur agar tidak mematikan BPR.
Teruna Jaya Tarigan, Sekjen Perbarindo, mengingatkan industri BPR memang tidak bisa dibandingkan dengan bank umum nasional yang memiliki kekuatan modal jauh lebih besar. Terlebih lagi, mayoritas pembiayaan BPR untuk usaha mikro dan kecil yang memiliki plafon jauh lebih kecil.
Atas dasar itu juga dia menyoroti perlunya regulator untuk mengatur persaingan antara BPR dan bank umum nasional. Dalam beberapa tahun terakhir beberapa bank umum gencar masuk ke pembiayaan mikro terutama pada wilayah yang selama ini telah ada BPR.
Namun, di wilayah yang belum ada BPR, bank umum malah terlihat tidak terlalu ekspansif untuk pembiayaan mikro. Padahal di wilayah yang belum terjamah perbankan itu seharusnya bank umum lebih aktif.
Naryanto, Staf Sekretaris Perusahaan Bank Jateng, ketika dikonfirmasi oleh Bisnis membantah bahwa pihaknya menyerobot bisnis BPR. “Kami ini adalah Apex dari BPR jadi tidak benar ada serobot-menyerobot bisnis dari BPR,” ujarnya. (dba)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel