Ekspor Bahan Baku Tambang Kini Dilarang

Bisnis.com,04 Agt 2013, 17:15 WIB
Penulis: Rio Sandy Pradana

Bisnis.com, JAKARTA—Perluasan pasar ekspor ke negara nontradisional dan peningkatan nilai tambah komoditas ekspor menjadi cara pemerintah untuk mendongkrak nilai ekspor.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Bachrul Chairi mengatakan tidak bisa dipungkiri bahwa kinerja ekspor ditentukan oleh faktor harga dan permintaan komoditas mentah.

Padahal, mitra dagang Indonesia seperti Amerika Serikat, Eropa, dan beberapa negara di kawasan Asia sedang mengalami kontraksi ekonomi.

Solusi yang pertama adalah dengan mencari pasar baru dan kedua produk ekspor harus kita upgrade nilai tambahnya.

"Saat ini kami juga sudah melarang ekspor produk timah, nikel, bijih besi, dan bauksit dalam bentuk bahan baku untuk menstimulus hilirisasi,” kata Bachrul kepada wartawan di kantornya, akhir pekan ini.

Dia menambahkan saat ini kementerian juga telah mengarahkan aktivitas promosi, misi dagang, dan kerja sama dengan kedutaan besar negara-negara non tradisional seperti Afrika dan Amerika Latin.

Rencananya, Kemendag akan menambah Indonesia Trade Promotion Center (ITPC) di beberapa negara di negara pada kawasan tersebut.

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan menuturkan peningkatan nilai tambah sebenarnya memang sudah dilakukan oleh pelaku usaha di Indonesia dengan mendatangkan barang modal dan bahan baku/penolong sejak tahun lalu.

 Namun, lanjuntya, upaya peningkatan nilai tambah produk sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang optimal.

Hasil produksi industri tersebut cenderung hanya untuk pemenuhan kebutuhan domestik. Hal ini diakibatkan karena outlook perekonomian dunia belum membaik.

Pihaknya optimistis apabila perekonomian global sudah membaik, produk Indonesia yang sudah bernilai tambah akan mudah diserap oleh pasar dan meningkatkan kinerja ekspor.

Kendati demikian, dalam jangka pendek struktur impor migas masih akan mempengaruhi neraca perdagangan nasional.

Kondisi ini disebabkan karena pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sebagian besar disumbang dari industri membutuhkan konsumsi migas dengan skala besar.  

“Kalau neraca sudah defisit US$3,3 miliar pada semester I/2013, gambaran akhir tahun bisa mencapai setidaknya US$5 miliar,” ujarnya.  (ra)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Rustam Agus
Terkini