“Jangka pendeknya pemerintah bisa mengerem kebutuhan impor yang bisa ditunda,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (20/8/2013).
Pihak swasta, tuturnya, juga bisa berperan dengan mengerem kebutuhan impor dan pinjaman luar negeri. “Mereka bisa melakukan menjadwalkan ulang pinjaman guna mengurangi tekanan Rupiah,” ujarnya.
Menurutnya, Bank Indonesia tidak bisa banyak berperan lagi dalam menahan depresiasi Rupiah, setelah menaikan bunga acuan 75bps, memperketat kebijakan loan to value bagi kredit pemilikan rumah dan memperketat aturan rasio intermediasi giro wajib minimum (GWM-LDR).
“BI tidak bisa jor-joran untuk melakukan intervensi dalam Rupiah karena cadangan devisa cukup terbatas,” jelasnya.
Depresiasi Rupiah yang terjadi saat ini lebih banyak disebabkan permintaan Dolar AS yang cukup tinggi karena pembayaran impor dan utang luar negeri serta repatriasi dividen. Sementara, arus masuk modal asing cukup terbatas akibat ketidakpastian ekonomi global
Destry menambahkan pelanjutan depresiasi Rupiah akan membahayakan pengendalian inflasi. “Menurut perhitungan kami setiap 10% depresiasi Rupiah maka akan menyumbang imported inflation sebesar 0,7-0,8%,” ujarnya.
Destry meyakini depresiasi nilai tukar Rupiah terjadi untuk sementara waktu, meskipun sulit diprediksi akan seberapa dalam pelemahannya. Beberapa faktor makro, tuturnya, akan mengurangi tekanan terhadap Rupiah, seperti tekanan impor yang berkurang dibandingkan dengan semester sebelumnya.
“Terutama pada impor migas akibat penaikan harga BBM Juli lalu. Selain itu juga ada pengurangan impor karena sudah tidak ada lagi faktor musiman seperti Ramadhan,” tuturnya.
Selain itu, lanjutnya, penurunan investasi yang terjadi pada semester I juga akan mengurangi impor barang modal dan bahan baku. “BI bersama pemerintah harus berulang kali meyakinkan hal ini sambil menunjukan aksi nyata,” tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel