Industri Otomotif Agar Konsisten, Mobil Murah Diekspor Saja

Bisnis.com,18 Sep 2013, 18:38 WIB
Penulis: Sri Mas Sari

Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengingatkan industri otomotif agar mengekspor sebagian besar produksi mobil murah, bukan menjualnya di pasar domestik.

Menurutnya, implementasi program mobil murah harus sesuai rencana awal, yakni menjadikan Indonesia hanya sebagai basis produksi, sedangkan produknya dipasarkan ke negara lain.

Langkah ini dilakukan agar Indonesia memiliki daya saing saat Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) diterapkan 2015. Jika tidak, negara tetangga seperti Thailand akan lebih kompetitif menghasilkan mobil murah dan Indonesia terancam sekadar menjadi pasar.

“Jangan sampai peluang itu (program mobil murah) membanjiri market domestik saja. Itu yang tidak kita inginkan,” katanya, Kamis (18/9).

Jauh-jauh hari, kalangan agen tunggal pemegang  merek (ATPM) telah mematok volume produksi. Toyota Agya dan Daihatsu Ayla mematok target produksi masing-masing sekitar 3.000 unit—6.000 unit per bulan.

ATPM besar lainnya, seperti Nissan dengan produk Datsun berencana memproduksi 8.000 unit per bulan dari total pengembangan produksi 100.00 unit per tahun secara bertahap.

Pemerintah merestui program ini karena bermimpi mobil murah dapat menjadi cikal bakal kelahiran mobil nasional yang sempat didengungkan kembali saat Esemka diusung ke publik.

Selain itu, kelahiran mobil murah diharapkan dapat menumbuhkan industri kecil dan menengah (IKM) di Tanah Air yang selama ini mendukung industri otomotif, misalnya industri komponen.

“Kriteria itu yang harus dijaga,” ujarnya.

Mengenai potensi low cost green car (LCGC) akan merongrong subsidi bahan bakar minyak (BBM), pihaknya akan mencermati apakah spesifikasi mesin didesain untuk bisa pula mengonsumsi BBM dengan kandungan oktan di bawah 92 alias BBM bersubsidi.

Kendati demikian, Hatta enggan memberi keterangan ketika ditanya tentang cara pengawasan yang efektif untuk memastikan mobil murah menggunakan BBM nonsubsidi.

“Saya tidak mau mendahului Menteri Perindustrian,” ujarnya.

Kendati digembar-gemborkan tidak akan menggunakan BBM bersubsidi, program mobil murah tetap mengundang kekhawatiran akan merongrong belanja subsidi BBM karena tak ada aturan teknis yang menyebutkan bagaimana pengawasan penggunaan bahan bakar dilakukan.

Jika tidak diawasi, LCGC dikhawatirkan akan ikut menikmati subsidi BBM yang tahun ini dianggarkan Rp199,9 triliun.

Lebih mencemaskan lagi, LCGC dapat membuat pagu anggaran itu jebol mengingat hingga 30 Agustus, realisasi belanja subsidi Rp132,4 triliun atau 66,3% dari pagu.

Padahal, selain karena potensi peningkatan konsumsi, subsidi BBM yang sebagian besar diimpor itu terancam membengkak karena depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang diperkirakan masih berlanjut selama beberapa bulan ke depan.

 

 

 

 

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Lahyanto Nadie
Terkini