Dolar AS Menguat, Petani Perkebunan Raup Untung

Bisnis.com,18 Sep 2013, 20:16 WIB
Penulis: Dinda Wulandari

Bisnis.com, JAKARTA - Delvin terlihat antusias saat bercerita tentang bisnis jual-beli mobil yang digelutinya. Sudah dua minggu ini show room yang dia kelola ramai dikunjungi calon pembeli yang mayoritas adalah tauke karet.

“Penjualan sedang bagus, satu mobil saja sekarang bisa ditawar oleh 5 calon pembeli. Harga karet naik, bisnis mobil juga jadi lancar,” katanya kepada Bisnis beberapa waktu lalu.

Wajar saja jika Delvin ikut merasa senang saat harga karet yang anjlok sejak akhir tahun lalu kembali meningkat. Pasalnya, konsumen show room mobil Auto 77 di Jalan Veteran Palembang itu kebanyakan juragan karet,terutama di daerah Pematang Panggang, Kabupaten OKI, yang merupakan salah satu sentra karet.

Anwar Mujahidillah merupakan salah satu tauke yang sedang menyicipi manisnya harga getah karet. Dengan harga yang sudah menyentuh Rp15.000 per kg, Anwar mengaku pemasukannya lebih banyak dibanding harga jatuh di posisi Rp11.000 – Rp12.000 per kg.

Di tengah kondisi membaiknya harga tersebut, Anwar mengaku, masih mempertimbangkan apakah hendak meng-upgrade mobil Toyota Fortunernya atau menyisihkan keuntungan untuk berinvestasi.

“Namun, mobil saya sudah dua, saya masih memikirkan untuk investasi di bidang lain seperti properti atau uangnya dipakai umroh,” kata Anwar yang memiliki kebun karet seluas 15 hektare dan kebun sawit seluas 10 hektare itu kepada Bisnis.

Berdasarkan data Dinas Perkebunan Sumsel tren peningkatan harga karet telah terjadi sejak Agustus 2013. Di tingkat petani, harga  tertinggi untuk slab 2 mingguan sudah menyentuh Rp13.590 per kilogram pada periode I September 2013 dibanding periode II Agustus 2013 sebesar Rp11.211, sementara harga tertinggi slab giling satu bulan mencapai Rp15.889 per kg dari sebelumnya Rp12.869 per kg.

Kenaikan yang signifikan juga terlihat dari penetapan harga tandan buah segar (TBS) sawit. Pada 2 minggu pertama September 2013 harga sudah menyentuh TBS usia 10—20 tahun sudah menyentuh Rp1.530 per kg dari sebelumnya Rp1.344 per kg pada minggu terakhir Agustus 2013. Harga CPO naik menjadi Rp7.584 per kg dari sebelumnya Rp6.935 per kg.

Peningkatan harga di kalangan petani itu mengikuti alur kenaikan harga di tingkat eksportir. Data Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Sumsel menunjukkan harga free on board (FOB) beranjak naik dari sebelumnya Rp27.008 per kilogram menjadi Rp27.988 per kilogram pada 12 September 2013.

Sekretaris Gapkindo Sumsel Awi Aman mengatakan tren peningkatan harga ini tidak terlepas dari kondisi perekenomian negara tujuan ekspor yang mulai stabil. Selama ini pasar ekspor karet Sumsel ditujukan kepada China, Jepang, Amerika Serikat dan Eropa.

Momentum Pesta

Selain kondisi pasar yang membaik, pelemahan rupiah terhadap Dolar Amerika juga membuat eksportir bertambah girang.

Kondisi tersebut memang merupakan sebuah paradoks dari melemahnya mata uang kita. Di satu sisi industri yang membutuhkan barang impor semakin diberatkan dengan dolar yang sempat menembus Rp11.000 tetapi di sisi lain, ada kalangan yang justru  mendapat berkah dengan penguatan dolar itu.

Ekonomi Sumsel sendiri sedikit banyak dipengaruhi oleh sektor komoditas perkebunan yang berorientasi ekspor, yaitu karet dan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Ada sekitar 750.000 kepala keluarga yang menggantungkan hidup dari perkebunan karet. Sementara perkebunan sawit yang terhampar di Sumsel sudah mencapai 800.000 hektare.

Dalam suatu kesempatan, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan momentum rupiah yang melemah terhadap dolar merupakan kondisi yang memberi berkah tersendiri untuk industri perkebunan sawit.

“Pemilik kebun se-Sumatra lagi senang karena harga tinggi, jadi krisis ini [pelemahan rupiah] jangan lah cepat berlalu,”kata Ketua Bidang Hukum dan Advokasi Gapki  Tungkot Sipayung seraya tertawa.

Pengamat ekonomi pertanian Universitas Sriwijaya Andy Mulyana mengatakan sudah fenomena yang biasa terjadi di Sumsel manakala harga komoditas naik para petani dan tauke menjadi konsumtif.

“Ada semacam rasa ‘balas dendam’ dari kalangan petani maupun tauke ketika harga naik mereka habiskan uangnya karena sebelumnya mereka menderita akibat harga yang jatuh,” jelasnya.

Menurut Andy, perilaku konsumtif itu sebaiknya dihilangkan karena tidak dapat membuat petani karet maju dan berkembang. Alih-alih menyisihkan keuntungan untuk peremajaan lahan, mereka lebih memilih membeli meningkatkan biaya konsumsi rumah tangga, seperti membeli beras premium atau alat elektronik.

“Padahal petani karet dan sawit itu adalah kelompok yang rawan pangan karena mereka tidak memproduksi pangan sendiri, berbeda dengan petani padi ketika harga jatuh mereka sudah menyiapkan cadangan pangan dari lahan mereka,” jelasnya.

Andy memaparkan, petani komoditas perkebunan merupakan golongan paling terakhir yang menikmati kenaikan harga dari rantai bisnis komoditas itu. Pasalnya, tauke baru menghargai tanaman itu lebih tinggi setelah mereka lebih dulu menerima harga baru dari eksportir.  Penetapan harga karet dan sawit di tingkat petani sendiri biasanya dilakukan sebulan dua kali.

Sementara itu, Ketua  KUD Serasan Jaya Gelumbang Ahmad Mantap mengatakan kenaikan harga yang terjadi sekarang belum sesuai dengan yang diharapkan para petani. “Harga memang naik sejak awal Agustus, tetapi kenaikannya masih tipis, harga yang bagus untuk petani jika mencapai Rp15.000 per kilogram,” katanya .

Dia mengatakan kondisi harga saat ini belum terlalu menggairahkan karena petani sudah pernah mengalami masa kejayaan saat harga menyentuh Rp25.000 per kilogram akibat tingginya permintaan komoditas itu.

Akan tetapi, Ahmad mengaku perbaikan harga saat ini sudah cukup meningkatkan penghasilan dan menjaga daya beli para petani.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Martin Sihombing
Terkini