Jamu & Kosmetik Akhirnya Masuk Industri Padat Karya

Bisnis.com,25 Okt 2013, 20:08 WIB
Penulis: Peni Widarti

Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Perindustrian dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sepakat akan memasukkan sektor industri jamu dan kosmetik dalam klasifikasi industri padat karya.

Menteri Perindustrian M.S Hidayat mengakui saat pihaknya bersama Apindo menyusun draf klasifikasi industri padat karya, industri jamu dan kosmetik tertinggal.

“Sektor-sektor itu kami rapatkan dengan Apindo, tapi saya dan Apindo sepakat untuk ditambahkan [industri jamu dan kosmetik],” katanya dalam Rakernas Kadin Indonesia Bidang Investasi dan Bidang Perdagangan dan Hubungan Internasional 2013, Jumat  (25/10/2013).

Putri K. Wardani, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Industri Tradisional Berbasis Budaya, mengatakan permintaan sektor industri jamu dan kosmetik ini bertujuan agar memiliki daya saing tinggi baik dalam pasar lokal maupun global.

“Saya minta kepada Pak Hi [Menperin] agar ada pengecualian untuk sektor ini, karena kami adalah padat karya, ongkos tenaga kerja lebih dari 20%, dan kami punya pekerja di bawah puluhan juta,” katanya.

Berdasarkan draf Peraturan Menteri Perindustrian tentang Definisi dan Batasan serta Klasifikasi Industri Padat Karya Tertentu, pada Pasal 1 disebutkan bahwa industri padat karya tertentu adalah industri yang memiliki tenaga kerja paling sedikit 200 orang. Kemudian, presentase biaya tenaga kerja dalam biaya produksi paling sedikit sebesar 15%.

Adapun dalam Pasal 2 dijelaskan, jenis industri padat karya yang dimaksud dalam Pasal 1, meliputi enam jenis industri, antara lain industri makanan, minuman, tembakau; industri tekstil dan pakaian jadi; industri kulit dan barang kulit; industri alas kaki; industri mainan anak; dan industri furnitur.

Putri mengungkapkan, hal lain yang menjadi kekhawatiran pengusaha jamu dan kosmetik ini yakni soal Upah Minimum Provinsi (UMP) yang masih dalam proses penentuan Dewan Pengupahan dan Pemerintah Daerah serta biaya produksi dari segi pasokan listrik yang harganya naik terus menerus.

“Kemudian pasokan listrik dan stabilitas harganya [tarif listrik], apalagi kami mau ekspor. Kami  juga tidak bisa setiap 3 bulan mengganti harga ekspor. Ini untuk pengusaha kurang kondusif,” katanya.

Menurutnya, respon pemerintah terhadap persoalan-persoalan kecil tetapi berdampak besar ini cukup lamban. (ra)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Rustam Agus
Terkini