Efektifitas Belanja Pemerintah Dipertanyakan

Bisnis.com,07 Jan 2014, 22:55 WIB
Penulis: Amanda Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah kalangan mempertanyakan efektifitas belanja negara seiring dengan klaim pemerintah atas realisasi belanja negara pada 2013 yang mencapai 94,9% atau Rp1.639 triliun dari pagu APBN-Perubahan 2013.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai belanja pemerintah secara keseluruhan masih didominasi oleh kepentingan birokrasi dan operasional sedangkan porsi belanja modal hanya berkisar 30%.

"Secara logika sudah terlihat, besarnya belanja birokrasi dan operasional perannya tidak signifikan terhadap perekonomian. Justru belanja modal yang memiliki multiplier effect terhadap perekonomian malah terbatas alokasinya,” ujarnya kepada Bisnis.com, Selasa (7/1/2014).

Kementerian Keuangan mencatat realisasi belanja modal pada 2013 sebesar Rp171,8 triliun atau 89% dari pagu Rp192,6 triliun.

Enny mengungkapkan porsi belanja modal yang setiap tahunnya hanya 30% itu tidak semua diwujudkan dengan pembangunan infrastruktur baru, melainkan hanya perbaikan dan pemeliharaan saja.

Selain terbatasnya porsi belanja modal, belanja pemerintah terjebak pada pola penyerapan yang terpusat pada kuartal III/2013 dan IV/2013 sehingga dikhawatirkan efektifitas penyerapannya tidak maksimal.

Pendapat senada dilontarkan oleh Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng yang mengatakan pola penyerapan yang terpusat pada kuartal terakhir bukanlah pola yang sehat.

"Ya polanya kan seperti itu yang terlihat. Jangan-jangan anggaran asal terserap tapi efektifitasnya tidak maksimal," ucapnya.

Untuk itu dia mengharapkan perubahan sistematik mengenai tahun kalender anggaran pusat dan daerah disesuaikan dengan pola yang ada sekarang. Jika penyerapan anggaran memang baru bisa dimulai pertengahan tahun maka tahun kalender anggaran harus diubah.

Khusus untuk penyerapan APBD yang polanya setali tiga uang dengan APBN, dia menilai terdapat dua problem sistematis yang menyebabkan seretnya penyerapan APBD tersebut.

Pertama adalah permasalahan politik, salah satunya diakibatkan oleh perselisihan antara Bupati/Gubernur dengan DPRD sehingga APBD tidak segera disahkan.

“Sama seperti yang kita lihat di Jakarta sekarang, Gubernur dan DPRDnya berselisih paham sehingga pengesahan APBD-nya molor,”tambahnya.

Kedua adalah terbatasnya kapasitas pemerintah daerah dalam hal administrasi pelaporan dan tata kelola anggaran, mulai dari perencanaan, eksekusi, dan evaluasi.

"Sebenarnya masalah kapasitas ini seharusnya tidak muncul, tapi terus terang saja kapasitas aparatur publik kita ya memang seperti itu,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Rustam Agus
Terkini