Bisnis.com, BANDUNG--Kementerian Kesehatan memastikan rumah sakit masih mendapatkan untung atau margin minimal sebesar 30% ketika menganut tarif paket Indonesia Nasional Case Base Groups (INA-CBG's) dalam pelaksanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan.
Kepala Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan Kementerian Kesehatan Usman Sumantri mengatakan, kisruh pelaksanan BPJS Kesehatan diantaranya tidak lepas dari INA CBG's yang dianggap oleh rumah sakit nilainya terlalu rendah. Hal ini terjadi karena opini tersebut keluar dari penyataan pribadi bukan institusi.
"Kalau dilihat sejarahnya INA CBG's telah dilaksanakan sejak 2006, lantas pertanyaannya kenapa baru diributkan sekarang. Padahal dulu nilainya lebih rendah," katanya, kepada wartawan 'Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional' di Bandung, Kamis (20/2/2014).
Menurut dia, hal ini terjadi karena tidak sedikit dokter yang merasa sumber pendapatannya hilang. Sebab, yang bersangkutan tidak bisa seenaknya lagi memberikan resep obat kepada pasien.
Selain itu, perlu dipahami bahwa pelayanan kesehatan bukanlah bisnis. Sehingga apabila masalah tarif ini tidak diatur oleh pemerintah akan sangat
berbahaya dalam pemeberian pelayanan.
"Padahal dokter sendiri sebenarnya masih dapat untung. Memang diakui masalah INA CBG's belum sempurna dan terus harus dievaluasi," ujarnya.
INA CBG's merupakan tarif paket mencakup seluruh komponen biaya RS yang berbasis pada data costing dan coding penyakit, yang mengacu pada
International Classification of Diseases (ICD) yang disusun WHO.
Adapun tarif INA-CBG’s terdiri atas 1.077 kode CBG, yakni 789 rawat inap dan 288 rawat jalan dengan tiga tingkat keparahan.
Pada 2008, INA-CBG’s diimplementasikan dalam program Jamkesmas. Sampai 2013, jumlah pemberi pelayanan kesehatan Jamkesmas yang menggunakan INA-CBG’s meliputi 1.273 RS.
Secara terpisah, Direktur Utama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Al Ihsan Baleendah Kabupten Bandung, Komar Hanifi menyatakan bahwa pelaksanaan BPJS masih mengalami sejumlah kendala seperti adanya regionalisasi rumah sakit, Puskesmas dan dokter praktek. Sehingga, pasien dari luar regional yang masuk ke dalam ruang lingkup Al Ihsan tidak bisa berobat disana.
Selain regionalisasi, masalah kendali biaya untuk pelayanan penyakit kronis INA CBG's, dan masalah ketiga adalah tarif yang diberikan oleh BPJS jauh dibawah harga yang ditetapkan oleh Rumah Sakit.
"Meski RS Al Ihsan ini adalah Badan Layanan Usaha Daerah (BLUD) milik Pemprov Jabar. Tapi kami ini rumah sakit yang mengelola dan membayar pekerja secara mandiri. Sedangkan dari Pemprov Jabar ini hanya investasi infrastruktur dan peralatan saja," ujarnya.
Komar berharap pemerintah bisa terus membenahi dan memperbaiki kebijakan yang diberlakukannya. Seperti masalah regionalisasi, tidak terkooptasi oleh kebijakan. Dan bisa mendukung visi rumah sakit sebagai rujukan utama dan terdepan di Jabar setelah RSHS (Rumah Sakit Hasan Sadikin).
Komar melanjutkan, sejak diberlakukannya JKN, RS Al Ihsan menerima pelayanan kurang diatas 1500 orang pasien. Dengan pelayanan, rawat jalan, rawat inap dan beberapa pelayanan lainnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel