Bisnis.com, JAKARTA – Bank Indonesia memberikan sinyal akan tetap mempertahankan suku bunga acuan 7,5% pada Maret guna memberi kepastian kepada pasar tentang keberlanjutan perbaikan transaksi berjalan.
Direktur Departemen Komunikasi BI Peter Jacobs mengatakan penyempitan defisit transaksi berjalan yang disusul penguatan tajam rupiah belakangan ini terjadi karena investor merespons positif kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia yang dianggap antisipatif terhadap segala kemungkinan (ahead the curve).
Meskipun demikian, dia mengakui ketidakpastian yang masih membayangi perekonomian AS turut mendorong capital inflow kembali mengalir ke negara berkembang (emerging market), termasuk Indonesia.
“Ketika itu [kebijakan moneter dan fiskal] dianggap penyebabnya, kami melihat tidak akan ada perubahan kebijakan,” katanya, Selasa (11/3/2014).
Rapat Dewan Gubernur BI akan digelar Kamis (13/3/2014) untuk menentukan apakah bank sentral perlu mengubah atau mempertahankan level BI rate saat ini.
BI mulai Juni 2013 mengerek suku bunga acuan setelah menahannya di level 5,75% selama 15 bulan. Hingga kini, suku bunga telah naik 175 basis poin menjadi 7,5%.
Bersamaan dengan pengetatan moneter itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat ke 5,78%, mencetak angka terendah dalam 4 tahun terakhir.
Di sisi lain, defisit transaksi berjalan kuartal IV/2013 menyempit menjadi US$4 miliar atau 1,98% terhadap produk domestik bruto (PDB) setelah sempat menyentuh US$9,9 miliar atau 4,4% terhadap PDB pada kuartal II/2013.
Sementara itu, rupiah yang tahun lalu melemah hingga 26%, menguat tajam sekitar 6% hingga Maret ini ke posisi Rp11.400 per dolar AS. BI menganggap apresiasi rupiah saat ini masih sesuai fundamental.
“Meskipun [nilai tukar] masih perlu dijaga agar fluktuasinya tidak terlalu tinggi. Kalau menguat, jangan terlalu tajam. Kalau melemah, jangan terlalu lemah,” tutur Peter.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel