Soal Mekanisme Safeguard, RI Perlu Belajar dari Jepang

Bisnis.com,12 Mar 2014, 18:27 WIB
Penulis: Wike Dita Herlinda
Sang Saka dan bendera Jepang /Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menilai Indonesia perlu belajar dari cara Jepang dalam menginisiasi instrumen perlindungan perdagangan (safeguard), yang dianggap masih menghormati kepentingan RI.

Sebagaimana dilaporkan sebelumnya, Jepang berwacana untuk mengonsultasikan keberatan terhadap penerapan UU Minerba ke WTO karena dianggap membebani industri maunfaktur mereka yang sangat tergantung pada pasokan nikel mentah dari Tanah Air.

“Jadi, 44% mineral ore nikel itu adalah pasokan Indonesia. Ore nikel tidak bisa diganti seperti bahan baku emas. Dalam peraturan WTO, memang ada macam-macam, tapi Jepang minta klarifikasi kepada pejabat kita di Tokyo,” jelas Lutfi, Rabu (12/3/2014).

Alasan Jepang untuk tidak langsung menyerang RI di Dispute Settlement Body (DSB) WTO adalah karena posisi mereka selaku negara eksportir terbesar. Jepang, menurut penjelasan Lutfi, menyadari pentingnya menahan diri untuk tidak langsung melancarkan inisiatif restriksi.

“Dia tidak langsung balas, tapi tanya dulua ‘ada apa’. Lalu kita jawab kenapa. Kalau tidak puas, dia akan konsultasi via Jenewa. Kalau tidak puas, baru dia akan tempuh ke DSB. Artinya apa? Mereka hati-hati sekali soal dumping dan safeguard.”

Ekspor nikel dan produk dari nikel ke Jepang pada 2013 mencapai US$928,59 juta atau turun 5,94% dari tahun sebelumnya. Ekspor alumunium dan produk alumunium, sementara itu, bernilai US$276 juta tahun lalu, turun 11,81% dari 2012.

“Kalau barang kita dijatuhi antidumping dan safeguard, kita bisa pontang-panting. Kita ini negara yang ekspornya besar. Jadi, tren ke depan kita lihat cara Jepang untuk bertahan. Mereka harus berinvestasi ke market, sama seperti Indonesia, mereka ingin survive.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Fatkhul Maskur
Terkini