Bisnis.com, JAKARTA--Seorang yang telah 2 tahun bekerja di bank plat merah, sebut saja namanya Tari, masih bertanya tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)? Agaknya Tari belum menerima kenyataan Bank Indonesia kini harus berbagi peran dengan OJK. Keningnya mengkerut dan matanya memancarkan rasa ingin tahu. "Lah? Kok bisa? Jadi BI ke mana?" tanyanya polos bernada cepat.
Tari tidak perlu apatis soal peralihan fungsi pengawasan perbankan ke tangan OJK. Berdasarkan UU Nomor 21/2011, OJK mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, penyidikan kepada Lembaga Jasa Keuangan termasuk di sektor perbankan, pasar modal, peransuransian, dana pensiun dan lembaga jasa keuangan lainnya.
Dalam pasal 55, tertulis wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan perbankan sejak 31 Desember 2013 beralih dari BI ke OJK.
Peralihan tersebut berlangsung lancar tanpa mengganggu kinerja industri perbankan. Namun pekerjaan rumah tersebut belumlah selesai.
Perlu diketahui, hanya dalam UU OJK saja tertulis bank-bank diawasi oleh OJK. Sedangkan dalam UU Nomor 7/1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 10/1998, pengawas perbankan adalah Bank Indonesia, berlaku hingga saat ini.
Dalam perubahan UU tentang Perbankan yang berlaku hingga kini, tiada satu kata pun tertulis bank diawasi oleh OJK. Dalam UU No.10/1998 Bab V pasal 29 masih tertulis tegas pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia. Apakah undang-undang yang dirancang saling tindih?
Wakil rakyat, penghuni Senayan tak gegabah. Draft Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perbankan disiapkan. Dalam rancangan anyar itu, pada Bab V barulah tertulis pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh OJK.
Hal yang perlu diperhatikan lamat-lamat dalam rancangan anyar tersebut adalah tentang rahasia bank.
Sebagai pembanding, dalam UU No. 7/2011 dan perubahan UU No.10/1998 hanya terdapat enam pasal yang mengatur tentang kerahasiaan bank. Namun, kini dalam draft RUU perbankan dalam Bab VIII terdapat 16 pasal yang mengatur rahasia bank.
Bab VIII RUU Perbankan terdiri dari dua bagian, bagian kesatu terkait cakupan rahasia bank, hanya seayat sedangkan bagian dua tentang pengecualian rahasia bank terdiri dari 15 ayat.
Kekhawatiran bank semakin menjadi. Atas izin rancangan anyar tersebut, maka Direktorat Jenderal di lingkungan Kementerian Keuangan mempunyai kewenangan untuk melaksanakan pengurusan piutang negara dan piutang daerah.
Kehangatan antar bankir dan OJK belum tercipta, tetapi berbagai kekhawatir muncul. Meski Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad sebelumnya pernah menjabat sebagai Deputi Bank Indonesia, tetapi fundasi komunikasi masih dalam proses pembangunan.
Kala bank-bank besar khawatir kehilangan nasabah-nasabah kakap, sedangkan bank-bank kecil mulai gelisah dengan pungutan-pungutan OJK. Terutama Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang beraset minim.
Tak bisa dipungkiri, bila bankir-bankir beraset minim tersebut merindukan sosok Bank Indonesia yang membina dan mengawasi industri perbankan tanpa memungut biaya. Stigma memang telah terbentuk, pengawasan bank identik dengan BI
Sedikit vokal tetapi tak melawan, industri BPR mulai memperhitungkan nilai rupiah yang bakal disetor ke OJK walau dalam satuan jutaan.
TAMBAL SULAM
Ada ekonom sempat khawatir RUU Perbankan yang dibuat hanya menjadi 'tambal sulam' atas UU No. 10/1998 tentang Perbankan. Artinya RUU Perbankan dibuat sekadar untuk memperbaiki kesalahan masa lalu tanpa memperhatikan nasib perbankan nasional jangka panjang.
Masih ingatkah dengan kasus perempuan asal Aceh, Magda Safrina. Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan bahwa UU No.10/1998 tentang Perbankan bertentangan dengan UUD 1945. Alhasil, MK memutuskan rahasia bank bisa diterobos untuk kepentian pembuktian harta benda bersama di peradilan perdata.
Kini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ingin memperjuangkan batas rahasia bank, beralasan belum tercapainya target penerimaan pajak. Atas kepentingan negara. Pemerintah melalui DJP telah mengibarkan 'bendera putih' untuk memenuhi target APBN 2014 yang ditetapkan Rp1.110 triliun. Pesimistis tersebut diyakini, DJP hanya mampu memenuhi 6,3% dari target yang ditetapkan, yakni Rp70 triliun.
Bagi pemerintah, RUU Perbankan ibarat benih emas. Penerimaan pajak lebih penting ketimbang memenuhi keinginan sebagian orang yang ingin menjaga privasinya.
Namun, Ketua Umum Himpunan Bank-Bank Milik Negara (Himbara) Gatot M. Suwondo ternyata merasa keberatan. Dengan setengah menahan suara, Gatot mengaku keberatan tentang usulan yang disampaikan Dirjen Pajak terkait pembukaan data nasabah kakap individu perbankan dinilai terlalu jauh. Pasalnya kepercayaan nasabah perbankan sangat bergantung besar pada kerahasian nasabah.
Dalam UU tentang OJK, pengawas perbankan adalah OJK sedangkan dalam UU tentang perbankan pengawas perbankan adalah Bank Indonesia. Kalangan bankir berharap RUU Perbankan yang telah menjadi pembahasan selama 2 tahun, semakin mencerahkan masa depan perbankan, terutama di otoritas baru.
Revisi UU Perbankan ini harus memperhatikan hal-hal penting, dan jangan sampai mengulang kesalahan-kesalahan pada masa lalu. Pertama, DPR dan pemerintah selaku perancang UU Perbankan harus memperhatikan pergeseran-pergeseran struktur ekonomi. Lalu, memperhatikan demografi serta keterkaitan teknologi dan inovasi.
Kalangan bankir berharap, melalui rancangan anyar tersebut persaingan perbankan semakin sehat dan efisien sekaligus menjaga stabilitas sektor perbankan maupun keuangan secara keseluruhan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel