Bisnis.com, KUALA LUMPUR - Menjelang pemberlakukan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015, Malaysia selangkah lebih maju dari Indonesia dengan cetak biru industri halal.
Cetak biru yang diinisiasi sejak 2008 itu fokus ke dalam 4 sektor yakni pangan olahan, kelapa sawit dan produk turunannya, kosmetik dan peternakan.
Menurut Deputi Direktur Unit Komunikasi Korporasi MATRADE Wan Azhamudin Hj Jusoh, cetak biru itu merupakan upaya Malaysia untuk menjadikan halal sebagai sumber baru bagi pertumbuhan ekonomi mereka.
“Ini juga upaya kami untuk menjadi pusat perdagangan halal dunia pada 2020,” katanya Selasa (8/4/2014).
Berdasarkan catatan MATRADE, terdapat 7 sektor yang telah menerapkan sertifikasi halal, dengan presentase a.l. produk konsumsi (28,14%), poduk nonpangan (0,82%), pengemasan pangan, permesinan, dan peralatan katering (1,09%), jasa (0,82%), pasar modal dan jasa keuangan (0,27%), lembaga pemerintahan (2,74%), dan perusahaan internasional (66,12%).
Sekadar catatan, pelabelan halal di Malaysia dilakukan oleh JAKIM, yang berada di bawah kantor Perdana Menteri. Oleh karena itu, label halal pada produk mereka mampu diterima di seluruh dunia, termasuk negara-negara yang tidak didominasi umat Muslim.
Secara sistematis, Pemerintah Malaysia membagi industri halal ke dalam 12 subsektor a.l. pangan, wisata dan tur, farmasi, sanitari dan kosmetik, bahan tambahan pangan, suplemen pangan, obat dan vaksin, keuangan syariah, logistik, produk kulit, asuransi, dan media.
“Karena logo halal kami diakui dunia, Malaysia meraup nilai yang signifikan dari ekspor produk halal,” ujarnya.
Kondisi tersebut bertolak belakang dengan sertifikasi halal di Indonesia. Pembahasan RUU Jaminan Produk Halal (JPH) belum tuntas selama 9 tahun terakhir akibat silang pendapat antara pihak Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel