Bisnis.com, JAKARTA --Indonesia harus mengantisipasi dampak membaiknya perekonomian di Amerika Serikat.
Kebijakan tappering off Amerika Serikat diyakini akan mengakhiri era easy money dan berpotensi mengoreksi aliran dana ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Membaiknya perekonomian di dalam negeri membuat Amerika Serikat melakukan pengurangan stimulus ekonomi atau tapering off.
Setelah krisis finansial global, negara-negara emerging market mendapatkan manfaat dari banyaknya aliran modal masuk akibat kebijakan quantitative easing (QE) Amerika Serikat.
Adapun QE pertama dilakukan pada periode Desember 2008 hingga Maret 2010, yang diawali dengan pembelian MBS (mortgage backed securities) sebesar US$600 miliar.
Dampak dari QE pertama ini mencapai puncaknya pada Juni 2010 di saat pemerintah AS memegang bank debt, MBS dan United State Treasury (UST) Bond sebesar US$2,1 triliun.
Lalu QE kedua, pada November 2010 hingga Juni 2011, dengan pembelian UST Bonds sebesar US$600 miliar.
Sebelum muncul QE ketiga, maka munculnya periode operating twist pada September 2011 hingga Agustus 2012, dengan pembelian obligasi jangka panjang (6 tahun--30 tahun) sebesar US$400 miliar dan menjual obligasi jangka pendek (dengan tenor kurang dari 3 tahun yang sudah jatuh tempo).
Kemudian, pada Juni 2013, diumumkan rencana penambahan pembelian obligasi jangka panjang sebesar US$267 miliar.
Setelah periode operating twist, maka muncullah QE ketiga yang dimulai pada September 2012, melalui pembelian MBS sebesar US$40 miliar per bulan sampai dengan pasar tenaga kerja membaik.
Lalu pada Desember 2012, the Fed mengumumkan penambahan jumlah QE ketiga menjadi US$85 miliar per bulan dengan tambahan pembelian UST Bond sebesar US$45 miliar dolar.
Laporan Perekonomian Indonesia (LPI) yang dirilis Bank Indonesia, menyebutkan pembaikan perekonomian AS menyebabkan langkah pengurangan stimulus ekonomi atau tapering off.
Sehingga tapering off akan mengakhiri era easy money dan berpotensi mengoreksi aliran dana ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Alhasil, koreksi aliran dana tersebut dapat menimbulkan tekanan pada pasar keuangan domestik.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengungkapkan agar tetap bertahan di tengah pengurangan stimulus tersebut, maka Indonesia harus terus menjaga angka fundamental.
Menurutnya, komponen fundamental yang harus dijaga antara lain neraca perdagangan, utang luar negeri serta inflasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel