Lada Surplus Besar, Mengapa Indonesia Masih Impor?

Bisnis.com,02 Mei 2014, 20:49 WIB
Penulis: Wike Dita Herlinda
Indonesia impor lada saat produksi dalam negeri surplus/Antara

Bisnis.com, JAKARTA - Di tengah proyeksi Indonesia akan mengalami kelebihan  lada dalam tahun-tahun mendatang dan  produksi lada tahun lalu jauh melampaui angka konsumsi nasional, Indonesia mengimpor komoditas bercita rasa pedas tersebut dalam jumlah tidak sedikit.

Dari data BPS yang dihimpun Bisnis, pada Januari-Februari tahun ini saja, Indonesia mendatangkan 114,19 ton lada bernilai setara dengan US$945.233. Lada terbanyak didatangkan dari Malaysia sejumlah 105 ton (US$850.379).

Lada lainnya didatangkan dari Belanda sejumlah 2,7 ton (US$34.973), AS 3,78 ton (US$24.749), Vietnam 1,27 ton (US$15.799), China 416kg  (US$7.618), dan negara lain-lain 1,01 ton (US$11.715).

Permasalahannya adalah, meski Indonesia merupakan produsen lada terbesar kedua di dunia dan memasok 20% kebutuhan lada global, laju produksi lada RI tidak sepesat pertumbuhan permintaan lada dunia yang menyentuh antara 5%-7% per tahun.

Wamen Perdagangan Bayu Krisnamurthi berpendapat apabila produktivitas lada di Indonesia tak kunjung dipacu, negara ini akan kesulitan mengikuti pertumbuhan permintaan dunia. Apalagi 80% dari produksi lada nasional dipergunakan untuk keperluan ekspor. Akibatnya, lama-kelamaan Indonesia akan tersingkir sebagai negara dari percaturan perdagangan lada internasional.

Dewan Rempah Indonesia Bidang Advokasi dan Standardisasi Sofiati Mukadi berpendapat lambatnya produktivitas lada RI dipicu oleh kurangnya pembekalan yang diberikan pemerintah kepada petani, sebagaimana telah dilakoni oleh Vietnam.

Untuk itu, lanjut Sofiati, Indonesia perlu memiliki program berkelanjutan untuk pelatihan petani. Selain itu, kementerian-kementerian teknis sebaiknya mensinergiskan program pelatihan yang mereka adakan. "Selama ini masih terpisah-pisah."

“Di Indonesia ini, pembangunan ekonominya dulu yang diperkuat, sehingga pembagian kuenya tidak merata sampai ke tingkat bawah,” lanjutnya, sebelum menambahkan bahwa selama ini petani berada pada kelas terbawah dalam perataan kesejahteraan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Martin Sihombing
Terkini