Bisnis.com, JAKARTA--Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Irwan Lubis menyatakan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. pernah mendapatkan sanksi terkait ketidakberesan laporan keuangan.
Hal ini menyusul temuan OJK dan Bank Indonesia mengenai tidak terpenuhinya penetapan perhitungan kolektibilitas kredit macet yang direstrukturisasi.
Namun, Irwan menegaskan istilah window dressing yang disebut-sebut belakangan tidak sesuai dengan kasus di BTN.
"Penggunaan istilah window dressing itu tidak pas sebenarnya untuk case BTN ini. Kalau window dressing itu kan sengaja mengaburkan pencatatan dan laporan keuangan, sehingga berdampak serius terhadap kondisi keuangan bank," katanya, Minggu (4/5/2014).
Dalam kasus BTN, sambungnya, lebih banyak kepada aspek tidak memenuhi penetapan kolektibilitas kredit restrukturisasi. Menurutnya katakanlah kredit macet itu direstrukturisasi, tapi tidak sesuai ketentuan.
Lebih jauh Irwan menjelaskan, ketidakberesan laporan keuangan tersebut dilakukan dengan merestrukturisasi kredit macet kolektibilitas 5 menjadi lancar.
Padahal, untuk menaikkan kolektibilitas, harus melewati kolektabilitas 4 atau 3 terlebih dahulu, atau masuk kolektibilitas diragukan atau kurang lancar.
Dia menambahkan, hingga saat ini BTN masih terus membenahi laporan keuangannya dan juga terus diawasi OJK.
Ke depan, lanjutnya, apabila BTN akan melakukan restrukturisasi kredit macet harus memperoleh izin dari pimpinan regulator terkait.
"BI sudah mengambil tindakan tegas waktu itu,makanya direksi tidak lolos fit and proper test lagi waktu mau perpanjang. Dan kita di OJK meneruskan dan memastikan supervisory tersebut," jelasnya.
Berdasarkan laporan keuangan BTN 2013 yang telah diaudit, rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) net bank tersebut mencapai 3,04% dan NPL gross sebesar 4,05%, tertinggi di antara 3 BUMN lainnya, yakni NPL Bank Mandiri yang sebesar 0,58%, NPL BNI 0,5%, dan NPL BRI 0,34%.
Nilai kredit macet BTN juga terus membesar setiap tahun. Sejak 2009-2013, kredit macet yang masuk kolektibilitas 5 naik dari hanya Rp1,06 triliun (2009) menjadi Rp3,15 triliun.
Terus naiknya nilai kredit macet di BTN menimbulkan kecurigaan bahwa beberapa pengembang, yang selama ini menolak ide akuisisi, justru merupakan pihak yang membuat kualitas kredit bank tersebut memburuk.
Sementara itu, ketika diminta berkomentar terkait rencana akuisisi BTN oleh Mandiri, Irwan mengaku mendukung aksi korporasi tersebut.
“Kalau akuisisi itu berdampak baik bagi kedua entitas tersebut, kenapa tidak? Yang penting dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku,” ujarnya.
Hingga 31 Maret 2014, BTN mencatatkan pertumbuhan yang melambat pada kuartal I/2014 yakni tumbuh 2% dari posisi Rp334 miliar menjadi Rp341 miliar.
Padahal pada periode yang sama tahun sebelumnya, perseroan mencatatkan pertumbuhan laba hingga 6,71% dari posisi Rp312,8 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel