Perang Puisi Gerindra vs PDIP Rusak Kesusastraan Indonesia

Bisnis.com,12 Mei 2014, 20:32 WIB
Penulis: Miftahul Khoer
Ilustrasi/Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA - Perang puisi mewarnai ajang Pilpres 2014 antara kubu pendukung Capres Prabowo Subianto dan Capres Jokowi, dinilai menodai dunia sastra Tanah Air.

Adalah Fadli Zon, Sekjen Partai Gerindra yang diduga memulai genderang perang melalui puisi Air Mata Buaya dan Sajak Seekor Ikan.

Diduga, puisi tersebut tercipta akibat sakit hati pihak Partai Gerindra atas kasus Perjanjian Batu Tulis yang dilanggar antara Megawati dan Prabowo Subianto.

Fadli Zon pun tak berhenti mencipta puisi. Sajak berjudul Aku Raisopopo ditafsirkan banyak kalangan untuk menyerang Jokowi. Meskipun pihak PDIP melalui salah satu kadernya, Fahmi Habcy membalas puisi berjudul Aku Iso Opo untuk Fadli Zon.

Sebagian kalangan menilai fenomena perang puisi tersebut tidak elok dilakukan, lantaran bisa mencederai kesusastraan Indonesia. Bahkan, bisa merusak citra puisi itu sendiri.

"Jika mantan Presiden Amerika John F Kennedy pernah mengatakan bahwa politik itu kotor, dan puisi yang membersihkannya. Maka ungkapan itu tidak berlaku di dunia politik Indonesia," kata Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD ITB kepada Bisnis.com, Minggu (11/5/2014) malam.

Acep mengatakan alih-alih puisi membersihkan kotornya politik di Indonesia, justru malah mengotorinya sebagai alat kampanye hitam dan alat serangan.

Menurutnya, politik yang terjadi di Indonesia sudah tidak punya rambu-rambu sesuai kaidah yang mampu menciptakan sebuah demokrasi yang baik.

Di sisi lain, lanjut Acep, sastra sendiri, seni pada umumnya, tidak melibatkan banyak pihak. Puisi menjadi kian ekslusif dan eksentrik. Tidak ada lagi penyair macam Sutan Takdir Alisjahbana (STA), Chairil Anwar, Rendra yang benar-benar pro rakyat dan membela kaum lemah.

Sementara itu, baru-baru ini, Fadli Zon menciptakan puisi barunya berjudul Sajak Orang Hilang yang dinilai sebagian kalangan sebagai rasa peduli terhadap kasus penghilangan paksa para aktivis 1998.

Namun demikian, puisi tersebut banyak dikecam dan dikritik terutama dari salah satu keluarga Wiji Thukul, seorang aktivis yang hilang tak tahu rimbanya hingga saat ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Sepudin Zuhri
Terkini