Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom Universitas Negeri Medan Muhammad Ishaq menuturkan right issue diibaratkan seperti obat penenang bagi perbankan dalam jangka pendek. Tetapi, untuk jangka panjang, dana right issue tidak bisa diandalkan bagi pelonggaran likuiditas.
"Untuk jangka panjang bank kecil menengah memungkinkan untuk merger atau konsolidasi tetapi sulit karena adanya egodari pemilik awal bank," ungkapnya, Senin (9/6/2014).
Bank-bank kecil dan menengah, sambungnya, saat ini memang terjepit terutama oleh ekspansi bank-bank besar dan bank asing yang telah merambah ke seluruh wilayah dan segmentasi. Ekspansi bank besar yang merangsek ke pasar ritel dinilai menyebabkan persaingan kian sengit.
Ekonom dan Analis Saham Yanuar Rizky menuturkan pada kuartal II/2014 pada dasarnya dana likuiditas sedang mengucur dari quantitative easing yang dilakukan Jepang hingga akhir bulan ini.
Quantitative easing tersebut memang menyebabkan pemilik modal melarikan dananya ke negara-negara emerging market termasuk Indonesia dalam bentuk dolar Amerika Serikat. Dana-dana tersebut bisa dibelanjakan dalam obligasi korporasi maupun equity.
"Penerbitan right issue hanya memanfaatkan momentum saja, hanya memanfaatkan peluang karena dananya itu ada di debt market. Bukan hanya bank yang right issue," tuturnya.
Right issue yang dilakukan emiten perbankan, sambungnya, biasanya diserap oleh pemegang saham pengendali. Kemudian, saham dari right issue itu akan di-repo oleh pemegang saham.
Dia memastikan apabila emiten bank melakukan right issue saat ini, kondisi market ke depan tidak akan banyak terjadi perubahan. Diperkirakan tappering off, kenaikan suku bunga The Fed, dan pencarian dana di pasar uang akan membayang-bayangi pasar modal Tanah Air.
"Kalau ambil duit di situ, akan melekat market risk, ini bukan dana murah," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel