Bisnis.com, JAKARTA – Transaksi lindung nilai (hedging) bersifat mendesak untuk segera dilakukan pemerintah menyusul adanya pembengkakan porsi utang pemerintah pusat pada 2013 senilai Rp163,24 triliun akibat selisih nilai tukar mata uang.
Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk Destry Damayanti menyatakan kebutuhan pemerintah untuk pembangunan infrastruktur dan industri akan berujung pada permintaan dolar. BUMN tidak bisa hanya mengandalkan pasar domestik untuk pembiayaan kebutuhan khususnya yang berhubungan dengan energi.
“Saya rasa sudah saatnya [hedging] ya, karena pemerintah khususnya BUMN itu exposure ke pasar asing gede sekali,” ujarnya di Jakarta, Senin (23/6/2014).
Menurut Destry, langkah hedging sangat penting untuk semua pihak yang menggunakan valuta asing (valas) sebagai modal perekonomian domestik. Kebutuhan akan valas tidak dibarengi dengan penerimaan valas karena pasar domestik khususnya Indonesia menggunakan rupiah untuk transaksi.
Kondisi tersebut dinilai berbahaya jika rupiah terus mengalami deprisiasi. Dalam catatan Bisnis.com, nilai tukar rupiah mengalami tren pelemahan. Pada penutupan perdagangan Jumat (20/6/2014) pekan lalu, rupiah sudah berada di level Rp11.973 terhadap dolar AS. Hari ini, Senin (23/6/2014) rupiah melemah kembali, ditutup di level Rp11.992 terhadap dolar AS.
Dia mengimbau, instrumen atas kepastian hukum yang disusun pemerintah harus bisa memformulasikan kebijakan jika terjadi penguatan kurs saat tenggat pembayaran utang. Risiko pembiayaan lebih besar, menurutnya, bukan harus dijadikan sebagai kerugian namun pembiayaan.
Senada, Ekonom Universitas Indonesia Telisa Aulia Falianty menyatakan risiko terhadap penguatan rupiah harus diambil dalam hedging. Menurutnya, kondisi tersebut lebih baik dibandingkan pemerintah harus membayar utang lebih besar karena rupiah terdepresiasi lebih dalam.
Oleh karena itulah, prediksi perkembangan nilai tukar rupiah juga harus dilakukan untuk mengambil atau tidaknya langkah hedging. Namun, dengan kondisi volatilitas Indonesia yang masih tinggi, hedging memang mendesak untuk dilakukan saat ini.
“Seperti asuransi sajalah. Kalau asuransi kan kalau tidak terjadi apa-apa ya tidak ada klaim. Naik turunnya klaim itulah risiko,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel