Bisnis.com, JAKARTA—Harian Bisnis Indonesia hari ini menggelar Bisnis Indonesia Award (BI Award) sebagai ajang pemberian penghargaan tahunan kepada perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek Indonesia dan perusahaan pendukung lain di pasar finansial.
Berikut ini daftar nominee Bisnis Indonesia sektor pertambangan:
PT Adaro Energy Tbk (ADRO)
PT Adaro Indonesia, seperti dikutip dari laman resmi perseroan, memulai operasi komersial dari Envirocoal pada 1992 dari wilayah konsesi seluas 358 km2 di Tabalong, provinsi Kalimantan Selatan di bawah naungan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dengan Pemerintah Indonesia.
Selanjutnya, pada 2008, PT Padang Karunia, sebuah perusahaan yang berdiri pada 2004 berganti nama menjadi Adaro Energy pada April dan kemudian melaksanakan IPO di Bursa Efek Indonesia pada Juli.
Pada 2012, Adaro memproduksi 47,2 juta ton Envirocoal dari tiga tambangnya: Tutupan, Wara dan Paringin. Adaro memiliki total cadangan sebesar 921 juta tonne dan sumber daya sebesar 4,7 miliar tonne di konsesi ini (menurut kajian JORC tahun 2012).
Sepanjang kuartal I/2014, di bawah kepemimpinan Garibaldi Thohir, ADRO mampu memproduksi batu bara hingga 14 juta ton. Angka tersebut meningkat 22,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 11,4 juta ton.
Sementara itu, perseroan menargetkan produksinya pada tahun ini bisa mencapai kisaran 54-56 juta ton. Namun, hingga saat ini, pihak perusahaan masih dalam proses persetujuan dengan pemerintah untuk mendapat izin.
Mengutip laporan keuangan perseroan untuk kuartal I/2014 Adaro menyimpan kas sebesar US$828,18 juta dolar per 31 Maret 2014. Jumlah itu meningkat hampir 50% secara year-on-year (y-o-y) saat kas Adaro hanya mencapai US$557,78 juta tahun lalu.
Adapun liabilitas perseroan tercatat pada level US$3,56 juta yang terdiri atas liabilitas jangka pendek US$775 juta dan iabilitasjangka panjang senilai US$2,79 miliar.
Total liabilitas tersebut naik tipis dibandingkan dengan akhir tahun lalu, yaitu senilai US$3,53 miliar. Dari jumlah tersebut tahun ini perseroan punya kewajiban untuk membayar fasilitas pinjaman bank sekitar US$114 juta pada 2014.
Sepanjang kuartal I/2014 Adaro membukukan lonjakan pendapatan sebesar 344% dari US$30 juta atau sekitar Rp347,67 miliar menjadi US$131 juta atau setara Rp1,51 triliun secara year-on-year (y-o-y).
Keuntungan tersebut terutama disumbang dari penjualan saham PT Servo Media Sejahtera (SMS) melalui anak perusahaan Adaro, PT Alam Tri Abadi (ATA) sebesar US$11,4 juta.
PT Atlas Resources Tbk (ARII)
Berdiri sejak 2007, PT Atlas Resources Tbk, yang dinakhodai oleh William James Randall, pada awal beroperasinya terlibat dalam sejumlah pengembangan proyek, di antaranya eksplorasi di lokasi tambang Berau Bara Energi (BBE) di Hub Berau yang memproduksi batubara jenis thermal coal serta proyek eksplorasi di lokasi tambang Diva Kencana Borneo (DKB) di Hub Kubar yang memproduksi batubara dengan kandungan kalori tinggi dan batubara jenis metallurgical coal.
Selain itu, Perseroan juga mengakuisisi Hanson Energy di Hub Oku. Ekspansi aset pertambangan Perseroan ini kemudian dilengkapi dengan aksi akuisisi atas Grup Gorby, yang kini dikenal dengan Proyek Muba, serta atas Optima Persada Energi (OPE), yang memiliki 6 lahan konsesi pertambangan dan 2 (dua) anak usaha di bidang jasa logistik. Melalui berbagai langkah strategis tersebut, Perseroan mampu memperluas skala produksi batubara yang dimilikinya
Sejauh ini, perseroan memiliki banyak lahan konsesi yang secara keseluruhan mencapai luas lebih dari 200.000 Ha. Kegiatan eksplorasi maupun produksi batubara Perseroan dikoordinasikan melalui 6 Hub, yaitu hub Kukar, Berau, Kubar, Oku, Muba, Papua.
Pada akhir tahun lalu meraih tiga kontrak penjualan batu bara ke Perusahaan Listrik Negara (PLN) senilai Rp1,05 triliun, yakni untuk PLTU Tarahan Baru di Lampung, PLTU Teluk Naga di Banten, dan PLTU Teluk Sirih di Sumatra Barat.
Sedangkan, dua kontrak lain, untuk PLTU Pangkalan Susu di Sumatra Utara dan PLTU Pelabuhan Ratu di Jawa Barat, tengah dijajaki.
Dengan meraih kontrak baru PLN, perseroan berharap mendulang laba atau setidaknya menekan rugi pada 2014. Per 30 September 2013 pendapatan ARII sebesar US$88,05 juta dan rugi bersih US$12,19 juta.
Penjualan batu bara ke PLN sebanyak 1,75 juta ton setara dengan 58,33% dari target penjualan batu bara 2014 sebanyak 3 juta ton. Target penjualan sebesar itu berasal dari tambang Musi Banyuasin dan Kutai Barat. Target penjualan sebanyak 3 juta ton naik 50% dari target penjualan tahun ini 2 juta ton batu bara.
Sebagai informasi, perseroan menargetkan porsi penjualan batu bara ke lokal 60%, sisanya ekspor.
Lantaran harga batu bara lagi rendah, ARII belum berencara berproduksi di tambang Ogan Komering Ulu Selatan, Musi Rawas, Berau, dan Mamberamo.
Berdasarkan prediksi perseroan, average selling price (ASP) batu bara pada 2014 untuk pasar ekspor sebesar US$51 per ton dan untuk pasar lokal Rp600.000 per ton. Sedangkan, pada tahun ini rerata ASP ekspor dan lokal US$58 per ton.
Pada akhir tahun lalu, ARII siap mengalokasikan belanja modal sebesar US$10 juta yang sebagian besar dananya disuntik ke tambang Musi Banyuasin. Nantinya, dana belanja modal dipakai untuk pembangunan jalan pelabuhan dan land compensation.
Belanja modal pada 2014 lebih rendah 60% dari belanja modal 2013 sebesar US$25 juta karena pembangunan hauling road I sudah dikerjakan pada tahun ini.
PT Samindo Resources Tbk (MYOH)
PT Samindo Resources Tbk (MYOH), yang sebelumnya bernama PT Myoh Technology Tbk), didirikan 15 Maret 2000. Pada 30 Juni 2000, MYOH, yang dipimpin oleh Kim Young-Chan, memperoleh pernyataan efektif dari Bapepam-LK untuk melantai di bursa.
Perusahaan berkonsentrasi pada jasa tambang, dalam hal ini batu bara. Perseroan menyediakan jasa pemindahan lahan penutup atau overburden, pengangkutan atau hauling, dan produksi batubara atau coal getting. Saat ini Samindo menjadi kontraktor pertambangan bagi perusahaan tambang batubara raksasa, Kideco.
Emiten penyedia jasa tambang ini pada tahun ini membagikan 33% dari laba bersihnya sebesar Rp173,78 miliar atau senilai Rp57,36 miliar sebagai dividen tunai untuk tahun buku 2013.
Komisaris perseroan Bob Kamandanu mengatakan dengan demikian jumlah nilai dividen tunai per saham setara dengan Rp26 per lembar. "Pendapatan tahun lalu sangat baik, perusahaan ini sangat efisien," katanya saat ditemui usai rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST) perseroan, Selasa (13/5).
Sementara itu Investor Relation Samindo Ahmad Zaki Natsir menguraikan sebesar 25% porsi laba bersih atau senilai Rp44,12 miliar digunakan sebagai dana cadangan perseroan. Adapun sisanya sekitar 20% atau setara dengana Rp35,74 miliar disimpan sebagai laba ditahan.
Hingga kuartal I/2014 perseroan telah menyerap sekitar seperempat dari alokasi belanja modal (capital expenditure/capex) tahun ini atau sekitar US$6,75 juta.
Adapun pada 2014, perseroan menyediakan capex sekitar US$27 juta, yang diperoleh dari kas internal perusahaan dan sebagian besar diperuntukkan untuk membeli peralatan yang menunjang bisnis jasa tambang perseroan.
Pada kuartal pertama tahun ini, perseroan mengerjakan pemindahan lahan penutup sebesar 13,36 juta bank cubic meter (bcm) atau naik 12,5% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya mencapai 11,87 juta bcm.
Adapun coal getting perseroan tercatat meningkat sekitar 28% menjadi 2,43 juta ton dari triwulan I/2013 saat volumenya hanya 1,90 juta ton. Terakhir, jasa hauling perseroan mengangkut 8,26 juta ton batubara, naik secara year-on-year (y-o-y) dari 7,65 juta ton.
Sepanjang 2014 ini, perseroan menargetkan peningkatan produksi batubara dari 9 juta ton pada 2013 menjadi 11 juta ton. Adapun jasa pengangkutan ditargetkan tumbuh dari 30 juta ton menjadi 33 juta ton sementara overburden diharapkan meningkat dari 52 juta bcm menjadi 58 juta bcm.
Tahun ini Samindo menargetkan pertumbuhan pendapatan sebesar 14% dari tahun 2013 menjadi US$270 juta. Sementara itu laba bersih diperkirakan sedikit lebih rendah atau setara dengan tahun 2013.
PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk (PTBA)
Sejarah pertambangan batubara di Tanjung Enim dimulai sejak zaman kolonial Belanda tahun 1919 dengan menggunakan metode penambangan terbuka (open pit mining) di wilayah operasi pertama, yaitu di Tambang Air Laya.
Selanjutnya mulai 1923 beroperasi dengan metode penambangan bawah tanah (underground mining) hingga 1940, sedangkan produksi untuk kepentingan komersial dimulai pada 1938.
Seiring dengan berakhirnya kekuasaan kolonial Belanda di tanah air, para karyawan Indonesia kemudian berjuang menuntut perubahan status tambang menjadi pertambangan nasional. Pada 1950, Pemerintah RI kemudian mengesahkan pembentukan Perusahaan Negara Tambang Arang Bukit Asam (PN TABA).
Pada 1981, PN TABA kemudian berubah status menjadi Perseroan Terbatas dengan nama PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero), yang selanjutnya disebut Perseroan. Dalam rangka meningkatkan pengembangan industri batubara di Indonesia, pada 1990 Pemerintah menetapkan penggabungan Perum Tambang Batubara dengan Perseroan.
Sesuai dengan program pengembangan ketahanan energi nasional, pada 1993 Pemerintah menugaskan Perseroan untuk mengembangkan usaha briket batubara.
Pada 23 Desember 2002, Perseroan mencatatkan diri sebagai perusahaan publik di Bursa Efek Indonesia dengan kode “PTBA”.
Sepanjang kuartal I/2014, Produsen batu bara pelat merah itu mencetak laba bersih Rp536,3 miliar atau naik 8,74% dari periode yang sama tahun lalu Rp493,18 miliar.
Berdasarkan laporan keuangan yang dirilis perseroan, laba bersih per saham dasar produsen batubara itu naik dari Rp215 menjadi Rp247.
Dari sisi penjualan, Bukit Asam membukukan pertumbuhan sebesar 11,37% menjadi Rp3,09 triliun dari sebelumnya Rp2,77 triliun.
Sejalan dengan itu, beban pokok penjualan perusahaan yang berbasis di Tanjung Enim, Sumatra Selatan itu naik 14,92% dari Rp1,82 triliun menjadi Rp2,09 triliun. Meskipun demikian, laba kotor Bukit Asam tetap naik tipis 4,57% dari Rp954,23 miliar menjadi Rp997,85 miliar.
sejak 2012 semua peralatan operasional beserta penunjang di wilayah operasi Tanjung Enim yang menggunakan tenaga listrik beralih ke pemakaian tenaga listrik milik sendiri yang dihasilkan PLTU Tanjung Enim 3x10 MW.
Sementara itu, sisa pemakaian tenaga listrik (excess power) dijual ke PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Demikian juga halnya di Pelabuhan Tarahan, Lampung. Sejak beroperasinya PLTU Pelabuhan Tarahan 2x8 MW milik sendiri akhir tahun lalu, seluruh peralatan operasional pelabuhan tidak lagi menggunakan listrik milik PLN dan excess power-nya malah dijual ke PLN.
Oleh karena itu, Bukit Asam tidak khawatir dengan kebijakan pemerintah yang akan menaikkan tarif listrik sebesar 64,7% secara bertahap mulai 1 Mei 2014 mendatang.
PT Surya Esa Perkasa (ESSA)
PT Surya Esa Perkasa Tbk (ESSA) berdiri pada 26 Maret 2006 dan merupakan salah satu usaha di bawah grup Keluarga Thohir.
Sepanjang tahun lalu, perseroan yang dipimpin oleh Theodore Permadi Rachmat, berhasil mencatatkan laba bersih US$12,57 juta, naik sebesar 141,26% dari tahun sebelumnya US$5,21 juta.
Selain berhasil menekan beban operasional, pendapatan yang dicatatkan perseroan pada 2013 mengalami peningkatan menjadi US$42,24 juta, dari tahun sebelumnya US$39,50 juta.
Siaran pers perseroan menyebutkan beban penjualan turun menjadi US$277,66 ribu dari sebelumnya US$826,78 ribu. Adapun beban umum dan administrasi perseroan di akhir tahun 2013 menjadi US$8,43 juta dari sebelumnya sebesar US$15, 67 juta.
Selain itu, perseroan juga tidak mengalami selisih kurs dibandingkan tahun sebelumnya menderita US$747,79 ribu. Meningkatnya profitabilitas perseroan pada tahun 2013 inipun ikut mengerek laba per saham dasar yang naik signifikan menjadi US$0,0127 dari sebelumnya US$0,0077 per saham.
Perusahaan yang bidang utama kegiatannya mencakup manufaktur, perdagangan, ekspor, impor, pendistribusian elpiji (liquefied petroleum gas/LPG), kondensat, dan propana itu berencana meningkatkan kapasitas produksi LPG pada tahun ini.
Peningkatan produksi tersebut seiring dengan rencana perseroan yang akan membeli teknologi terbaru di bidang pengolahan LPG, yaitu turbo expander. Targetnya, kapasitas produksi LPG dikerek sebesar 40%, dari 33.797 metrik ton (MT) per tahun menjadi 61.000 MT per tahun mulai Oktober 2014.
PT Vale Indonesia (INCO)
PT Vale Indonesia Tbk (INCO) sebelumnya bernama PT International Nickel Indonesia Tbk. (PT Inco), yang mengoperasikan tambang nikel open pit dan pabrik pengolahan di Sorowako, Sulawesi, sejak 1968
Vale Indonesia merupakan anak perusahaan dari Vale, sebuah perusahaan pertambangan global yang berkantor pusat di Brasil.
Saat ini, INCO menjadi produsen nikel terbesar di Indonesia dan menyumbang 5% pasokan nikel dunia.
Pada kuartal I-2014, INCO mencatat penurunan pendapatan sebesar 17,53% secara year on year. Namun, perseroan yang dipimpin oleh Nico Kanter itu optimistis mampu memenuhi target perseroan dalam meningkatkan volume produksi.
Emiten yang memproduksi timah ini menargetkan volume produksi tahun ini sebesar 79.600 ton atau meningkat 5% dari tahun sebelumnya. Sementara pada kuartal I-2014 produksi INCO sebesar 19.604 ton atau 24,63% dari target.
Sementara itu, sepanjang kuartal I-2014 INCO telah menghabiskan belanja modal (capex) sebesar US$15 juta atau 15% dari total capex yang dianggarkan sebesar US$100 juta.
Biaya yang dihabiskan tersebut kebanyakan dipakai untuk meningkatkan atau meng-upgrade tunggku pembakaran (furnace). “Sebagian besar berhubungan dengan furnace, power demand stabilization,” tuturnya.
Saat ini INCO mempunyai luas lahan sebesar 190.512 hektar di Sulawesi. Namun, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara mengatakan bahwa luas operasi produksi mineral dibatasi hingga 25.000 hektar.
Saat ini perseroan tengah membahas soal luas lahan tersebut dengan pemerintah sehingga terpaksa INCO harus menunda proyek pembangunan smelter di Sorowako dan refinery di Bahodapi. Setelah terjadi kesepakatan dengan pemerintah, maka proyek yang nilainya mencapai US$2 miliar tersebut akan langsung digarap.
Untuk menutupi biaya proyek tersebut, rencananya INCO akan menarik dana dari luar ditambah dana dari kas internal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel