Inilah Pentas Teater 'Ancaman' Karya Putu Oka

Bisnis.com,05 Okt 2014, 23:20 WIB
Penulis: Deandra Syarizka
Ilustrasi/Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA - Kelompok Insan Pemerhati Seni (KIPAS) pentaskan pertunjukan yang diambil dari naskah “Ancaman” karya Putu Oka Sukanta di Goethe Haus, Sabtu (04/10/2014) malam. 

Pentas tersebut digelar dalam rangka memperingati 60 tahun Putu Oka Sukanta Berkarya di Indonesia.

Pertunjukan yang disutradari oleh seniman sekaligus dosen seni tari IKJ Madia Patra Ismar tersebut menggabungkan konsep seni peran dan tari. Penonton tak hanya disuguhi oleh dialog-dialog yang bernas tetapi juga tarian-tarian yang mengekspresikan rasa yang tertuang dalam cerita.

Dengan menggabungkan dua konsep tersebut, detail properti tak terlalu dihiraukan. Para pemain hanya merespons dua buah kursi yang dijadikan tempat bercengkerama sang aktor. Meski begitu, minimnya properti tak membuat pertunjukan menjadi monoton. Kekosongan properti tersebut digantikan oleh beberapa pemain yang berperan sebagai penari, dan juga beberapa lainnya yang berperan sebagai metafora burung hantu dan tokek.

Naskah Ancaman karya Putu Oka Sukanta bercerita tentang teror yang masih dialami oleh para eks tapol peristiwa ’65 hingga kini. Teror-teror dan aksi diskriminasi tersebut menyeruak melalui peran-peran aparat desa yang masih memendam rasa curiga terhadap aktivitas apapun yang dilakukan oleh warga negara dengan tanda ET (eks tapol) pada KTPnya, meski aktivitas tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dengan politik sekalipun.

“Naskah Ancaman ini saya buat 5 tahun lalu untuk pertunjukan berdurasi 1,5 jam. Metafora seperti burung hantu yang ada di dalam naskah sengaja saya pilih karena burung hantu adalah simbol pengetahuan,” ujar penulis naskah Ancaman Putu Oka Sukanta kepada Bisnis.com. Seniman anggota LEKRA yang pernah menjadi tahanan politik ini menambahkan, burung hantu yang diburu dalam cerita naskah tersebut juga menggambarkan bagaimana intelektualitas para aktivis dipangkas dalam penjara tanpa pengadilan, semata-mata untuk mengaburkan kebenaran yang ada di balik peristiwa kelam tersebut.

“Pertunjukan teater yang merupakan tafsir terhadap naskah ini bukan perkara mudah. Penggunaan simbol-simbol dan metafora memerlukan interpretasi mendalam. Interpretasi yang dilakukan bukan hanya persoalan konsep estetika, tapi juga perlu pengetahuan dan pemahaman sejarah gelap bangsa kita di masa lalu,” ujar sutradara KIPAS Madia Patra Ismar seperti dikutip dari booklet pertunjukan.

Karenanya, menjalin komunikasi dengan para panyintas dan saksi peristiwa ’65 selalu menjadi bagian dari proses kreatif para anggota KIPAS sebelum mementaskan naskah. Ini menjadi bagian penting dari proses bedah naskah dilakukan agar rasa,  kesan dan ruh yang ditimbulkan atas peristiwa kelam di masa lalu tersebut dapat dihadirkan secara tepat di atas panggung.

KIPAS berdiri pada 18 Maret 2001 dengan ,adia Patra Ismar dan R. Rahadi sebagai penggagasnya. Selama ini KIPAS dikenal sebagai kelompok seni yang sering terlibat dalam berbagai forum yang mendukung seni dalam konteks memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Sepudin Zuhri
Terkini