PENELITI: 50 Tahun Lagi Sawah Hilang

Bisnis.com,23 Okt 2014, 17:30 WIB
Penulis: News Editor
Pemerintah pusat maupun daerah harus memiliki komitmen yang kuat untuk mempertahankan Jawa sebagai lumbung pangan negara agar terlindungi dari konversi. /Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA - Peneliti Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Yogyakarta Kundarto mengatakan dalam 50 tahun lagi sawah akan hilang akibat konversi lahan pertanian.

"Masalah pangan menghadapi masalah serius dalam hal konversi lahan," kata Kundarto pada diskusi pakar tentang pangan non beras yang digelar Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) di Jakarta, Kamis (23/10/2014).

Salah satu daerah yang harus dijaga dari konversi lahan pertanian menurut Kundarto adalah Pulau Jawa karena pulau tersebut memiliki banyak gunung berapi dengan material vulkanik yang tersebar merata membuat Pulau Jawa subur.

Namun, untuk menjaga lahan pertanian di Jawa diakui Kundarto tidak mudah karena merupakan daerah terpadat di Indonesia.

Pemerintah pusat maupun daerah disebut Kundarto harus memiliki komitmen yang kuat untuk mempertahankan Jawa sebagai lumbung pangan negara agar terlindungi dari konversi.

"Kalau sawah sudah menjadi gedung bertingkat, akan sulit mengembalikannya lagi menjadi sawah," tambahnya. Terlebih lagi, masyarakat Indonesia sangat tergantung pada komoditi beras sebagai bahan pangan utama.

Sedangkan sejumlah wilayah di Indonesia kaya akan sumber pangan utama non beras seperti umbi-umbian, serealia, dan lainnya.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian, pada 1954, pola makan masyarakat Indonesia masih bisa dikatakan bervariasi meski beras memang sudah menguasai separuh sumber bahan makanan pokok namun ubi kayu dan jagung masih bisa bersaing.

Pergeseran pola makanan masyarakat Indonesia yang menjurus hanya pada beras saja mulai terjadi pada 1984 yang sudah mencapai lebih dari 80%.

Hal ini semakin memprihatinkan ketika pada 2010, sumber pangan yang lain bisa dikatakan mulai menghilang.

Masyarakat Indonesia sangat tergantung pada beras sehingga kebutuhan untuk impor komoditi tersebut masih saja tinggi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Fatkhul Maskur
Terkini