Batik Betawi, Hidup Kembali Setelah Redup Lama

Bisnis.com,07 Nov 2014, 16:18 WIB
Penulis: Veronika Yasinta
batik Betawi/veronika yasinta

Bisnis.com, JAKARTA - Salah satu hasil kebudayaan di Indonesia yang mendunia adalah batik. Di tengah popularitas batik Pekalongan, batik Yogyakarta, batik Solo dan batik Cirebon, batik Betawi mencoba peruntungannya kembali pada persaingan bursa batik di Indonesia.

Keluarga Batik Betawi kembali menyalakan keberadaan batik Betawi yang dulu sempat redup untuk waktu yang cukup lama. Salah satu pengurus Keluarga Batik Betawi Ismoyo W Bimo mengatakan sudah lima tahun komunitasnya memproduksi industri fesyen Betawi melalui batiknya.

"Sebagai anak Betawi dan warga Jakarta punya keinginan mengembalikan lagi keberdaan batik yang dulu pernah hilang," ucapnya di Acara Pekan Produk Kreatif Daerah DKI, di Hotel Bidakara, Jakarta, Jumat (7/11/2014).

Menurut Ismoyo, keberdaan batik Betawi hilang oleh sebab faktor komersial wilayah sehingga menggusur keberadaan sentra batik di Jakarta seperti yang dulu terletak di Bendungan Hilir, Slipi, Tanah Abang, dan Palmerah.

"Pemukiman dibangun gedung-gedung dan tergusurlah mereka. Kemudian hilang dalam kurun waktu yang lama sejak 1900-an", tuturnya.

Motif yang menjadi ciri khas batik Betawi seperti motif ondel-ondel, andong, Monas, dan pengantin Betawi. Selain itu, para pengrajin juga mengembangkan inovasi motif batu seperti daun sirih, legenda si Pitung, dan motif mainan tradisional Betawi.

Batik yang masuk dalam kategori batik pesisiran ini diselimuti warna-warna terang dan berani seperti merah, kuning, hijau dan biru. Batik-batik ini bisa ditemukan di sentra pembuatannya di Gandaria, Setu Babakan, Marunda, dan Tanjung Priok.

Kain batik cap dilabeli harga mulai dari Rp120.000-an, sedangkan batik tulis dihargai Rp350.000 ke atas. Untuk produk dalam bentuk jadi dihargai mulai dari Rp200.000 hingga Rp1 jutaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Sepudin Zuhri
Terkini