"Loan to deposit ratio perbankan Indonesia akan menyentuh posisi 136% pada 2020."
Demikian asumsi Kepala Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Destry Damayanti, belum lama ini. Adapun asumsi yang dipaparkan Destry tersebut, berdasarkan hasil simulasi yang dilakukan timnya di Bank Mandiri.
Simulasi tersebut, menurut Destry, menggunakan data rata-rata pertumbuhan penyaluran kredit perbankan di Indonesia sebesar 16%, dan rerata peningkatan dana pihak ketiga (DPK) sejumlah 10%.
Dari hasil simulasi tersebut, Destry dan timnya juga memprediksi LDR pada tahun depan akan menyentuh posisi 100% atau di atas batas yang ditetapkan Bank Indonesia (BI).
LDR yang akan berada di atas batas yang ditetapkan BI tentunya menjadi alarm bagi industri perbankan. Sebab, ini berarti ruang gerak bank dalam menjalankan salah satu fungsinya yaitu menyalurkan kredit, kian sempit.
Pasalnya, dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 15/7/PBI/2013 tentang Perubahan Kedua Atas PBI nomor 12/19/PBI/2010 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing, kisaran LDR perbankan harus berada antara 78%-92%, berlaku terhitung 2 Desember 2013. Adapun bagi bank dengan LDR di luar kisaran tersebut, dikenai berbagai disinsentif.
Tak tinggal diam, para praktisi perbankan mulai gencar menyuarakan transformasi penghitungan LDR. Pasalnya, pembatasan LDR ini juga diklaim membuat bank enggan agresif dalam menyalurkan kredit.
Berbagai opsi disuarakan. Sunarsip, misalnya. Ekonom The Indonesian Economic Intelligence ini menawarkan opsi perubahan aturan dari LDR ke Loan to Funding Ratio (LFR). Relaksasi tersebut, menurutnya akan membuat bank memiliki kembali keleluasan dalam meningkatkan penyaluran kredit.
Destry juga menuturkan hal serupa. Menurutnya, kini bank memiliki instrumen lain sebagai sumber dana.
Senada, Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Ryan Kiryanto juga menyuarakan hal yang sama. Ryan mengatakan dengan perubahan penghitungan rasio menjadi LFR, surat utang dan sumber dana lain yang ada di bank juga diakui sebagai unsur DPK. Sebab, Ryan mengungkapkan kini kalangan perbankan tak lagi menggantungkan sumber dana hanya dari simpanan masyarakat.
Contohnya, bank bisa menerbitkan surat utang, melelang agunan, sekuritisasi, hingga meminjam dana dari lembaga pembiayaan luar negeri untuk mencari pasokan likuiditas.
Transformasi LDR tersebut memang dinanti kalangan perbankan mengingat dengan penghitungan yang berlaku saat ini, membuat bank mulai mengerem pertumbuhan kredit. "Dengan LDR mencapai 92,19% pada Juli 2014 berarti [bank] harus mengurangi ekspansi kredit atau mendongkrak funding," kata Ryan.
Pemikiran serupa juga disampaikan Analis UOB KayHian Securities Sonny John. Sonny memprediksi pertumbuhan kredit di Indonesia tak akan menyentuh perolehan tahun sebelumnya yaitu di atas 20%, karena LDR telah menyentuh posisi teratas.
Padahal, Ekonom Universitas Gadjah Mada Sri Adiningsih mengatakan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang dibidik pemerintahan Presiden Joko Widodo pada kisaran 7%-8% pada 2019, setidaknya kredit perbankan harus tumbuh sekitar 20% per tahunnya.
Apalagi, Destry mengungkapkan meski LDR bank hampir mencapai batas atas yang ditetapkan BI, tetapi rasio penetrasi industri perbankan di Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan 5 negara lain di regional Asean. Tercatat, rasio kredit terhadap produk domestik bruto (gross domestic product/GDP) di Indonesia baru sebesar 36,25%, tertinggal jauh dari posisi nomor wahid, Singapura, sebesar 157,94%.
Karena itu, untuk memacu kembali pertumbuhan kredit, Ryan memandang perubahan penghitungan LDR bisa menjadi salah satu opsi. "Ekspansi kredit bisa dilakukan jika rasio LDR diubah dengan LFR," ujar dia.
Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku regulator perbankan mengaku tengah mengkaji hal ini. Kepala Eksekutif Bidang Pengawasan Perbankan OJK Nelson Tampubolon mengatakan pihaknya memang telah menerima usulan perubahan LDR menjadi LFR dari kalangan perbankan. "Tentu masukan itu kami pelajari, terutama dari sisi prudensialnya," tulis Nelson dalam pesan singkat kepada Bisnis, pekan lalu.
Namun, ketika ditanya apakah hal ini akan menjadi prioritas untuk tahun depan, Nelson menjawab diplomatis: "Kami lebih melihat dari sisi mikronya. Tentu kami harus bicara dengan BI nanti, untuk melihat kepentingan makronya."
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel