Bisnis.com, Jakarta-- Tidak ada yang menginginkan terjadinya suatu kecelakaan, apalagi mengakibatkan kehilangan organ tubuh dan nyawa.
Secara teoritis, tak ada nilai uang yang bisa menggantikan satu nyawa. Namun, dalam suatu kecelakaan, nilai kemanusiaan untuk mengurangi derita keluarga korban dapat dirumuskan dalam santunan ataupun asuransi.
Dalam musibah kecelakaan pesawat, biasanya ada kompensansi yang harus diberikan sebagai pengganti kerugian atas tiga hal, yaitu; badan dan mesin pesawat, jiwa penumpang, pihak ketiga (barang ataupun jiwa).
Di tataran praktik internasional, nilai santunan dan asuransi itu diatur dalam Konvensi Montreal.
Kesepakatan internasional itu dikenal dengan kode dokumen MC99, yang merujuk pada pertemuan ICAO (badan PBB yang menangani penerbangan sipil) di Montreal-Kanada, pada 1999. Perjanjian tersebut kini telah diratifikasi sedikitnya oleh 103 negara termasuk Indonesia.
Dalam artikel 21 Konvensi Montreal, maskapai penerbangan harus memberikan kompensasi kepada penumpang atau keluarga penumpang sebesar 100.000 special drawing rights (SDR) untuk korban, baik cedera maupun meninggal.
Konvensi Montreal juga mengatur mengenai ganti rugi atas barang yang diangkut pesawat yang mengalami kecelakaan. Jika barang yang diangkut hilang, rusak atau terlambat datang, maskapai wajib memberi kompensasi sebesar 17 SDR per kilogram.
SDR merupakan satuan mata uang yang biasa digunakan oleh International Monetary Fund (IMF). di situs resmi IMF, nilai 1 SDR sama dengan sekitar US$1,5 atau tepatnya US$1,449.
Satuan SDR merupakan ukuran yang kemudian akan dikonversi ke mata uang lokal dengan nilai setara 65,5 miligram emas per SDR, sebagaimana bunyi artikel 23 paragraf 1 MC99.
Sebagai contoh, Malaysia Airlines harus mengeluarkan biaya yang sangat besar akibat musibah kecelakaan MH370 pada Maret 2014 dan MH-17. Ada perkiraan maskapai Malaysia tersebut harus membayar sedikitnya US$150.000 kepada tiap korban.
Nah di Indonesia, ada kebijakan tersendiri juga meski tetap menghormati Konvensi Montreal.
Sebelum 2011, besaran uang santunan bagi korban meninggal kecelakaan pesawat udara di Indonesia dinyatakan senilai Rp50 juta per penumpang yang berasal dari perusahaan asuransi PT Jasa Raharja.
Santunan tersebut didapat dari iuran dari maskapai yang dikumpulkan dari uang tiket yang dibayar penumpang Rp5.000 per orang. Operator transportasi selambat-lambatnya tanggal 22 setiap bulan menyerahkan iuran ke Jasa Raharja.
Namun, besaran tersebut, berdasarkan sejumlah norma penilaian dan alasan, dinilai tak lagi memadai dan terlalu kecil.
Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan pada 8 Agustus 2011 mengeluarkan Permenhub No.PM 77/Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, yang diteken Menteri Freddy Numberi.
Aturan kompensasi angkutan udara tersebut juga telah disesuaikan dengan beleid lainnya seperti UU No.2/1992 tentang Perasuransian, UU No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan tentu saja UU No.1/2009 tentang Penerbangan.
Beleid terbaru itu mendapatkan ujian pertamanya kala terjadi musibah pesawat Sukhoi Superjet 100 yang jatuh di Gunung Salak, Bogor pada 9 Mei 2012.
Kala itu, Sukhoi Company telah mengumumkan pemberian santunan asuransi kepada para korban sebesar US$50.000 per orang atau setara dengan Rp450 juta.
Namun banyak permintaan agar besaran santunan asuransi kepada keluarga korban disesuaikan dengan peraturan yang berlaku di Indonesia meskipun pesawat Sukhoi itu masih terdaftar sebagai maskapai asal Rusia.
Negosiasi yang dipimpin Kementerian Perhubungan akhirnya membuat Sukhoi menyepakati kesanggupannya membayar asuransi Rp1,25 miliar untuk setiap korban.
Permenhub 77/2011 juga menetapkan nilai kompensasi untuk korban yang mengalami cacat tetap dengan besaran santunan sama.
Adapun ganti rugi bagi penumpang atas kehilangan barang tercatat adalah Rp200.000 per kg, maksimal Rp4 juta. Untuk pesawat yang terlambat berangkat (delay) selama empat jam pun dikenakan kewajiban membayar kompensasi Rp300.000.
Adapun terhadap penumpang yang mengalami cacat tetap sebagian, Permenhub 77/2011 juga mengatur secara spesifik.
- Meninggal dunia dan ataupun cacat tetap Rp1,25 miliar
- cacat tetap sebagian satu mata Rp150 juta
- Kehilangan pendengaran Rp150 juta
- Ibu jari tangan kanan Rp125 juta, tiap satu ruas Rp62,5 juta
- Jari telunjuk kanan Rp100 juta, tiap satu ruas Rp50 juta
- Jari telunjuk kiri Rp125 juta, tiap satu ruas Rp25 juta
- Jari kelingking kanan Rp62,5 juta, tiap satu ruas Rp20 juta
- Jari kelingking kiri Rp35 juta, tiap satu ruas Rp11 juta
- Jari tengah (jari manis) Rp50 juta, tiap satu ruas Rp16,5 juta
- Jari tengah Rp40 juta, tiap satu ruas Rp13 juta
Sumber: Permenhub 77/2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara
Ket: Bagi mereka yang kidal, perkataan kanan dibaca kiri, demikian juga sebaliknya.
Sejumlah acuan Permenhub 77/2011 tersebut tentunya bisa pula diterapkan untuk pemberian santunan dalam musibah AirAsia QZ8501, karena secara legalitas, pengangkut angkutan udaranya diregister di Indonesia.
Niat baik (good faith) juga datang dari Allianz, salah satu pemain asuransi global, yang dipastikan menjadi penanggung dalam kecelakaan pesawat Airbus A320-200 AirAsia tersebut.
"Kami mengonfirmasi bahwa Allianz Global Corporate & Specialty UK (AGCS) adalah reasuradur utama bagi rangka pesawat [aviation hull] dan asuransi kewajiban [liability Insurance]," kata juru bicara Allianz dalam keterangannya kepada Reuters, Senin (29/12).
Sementara itu, perusahaan pialang asuransi yang bekerja sama dengan AirAsia adalah JLT (Jardine Lloyd Thompson) Group yang berbasis di Inggris.
Arman Juffry, Presdir JLT Indonesia menegaskan komitmen pihak asuransi untuk membayarkan ganti rugi finansial kepada keluarga korban QZ8501. “Sesuai dengan Permenhub 77, itu Rp1,25 miliar per orang” tegasnya.
Allianz dan perusahaan yang menjalin kerja sama koasuransi seperti Jasindo akan membayar tagihan untuk biaya hilangnya Air Asia dan pembayaran kepada keluarga penumpang. Belum ada angka pasti yang harus dibayarkan karena tentu harus ada penilaian final dari loss adjuster dan kantor firma hukum yang ditunjuk.
Terhadap rangka pesawat, Allianz boleh jadi menilik harga pasar pada 2008 kala pesawat AirAsia itu mulai dioperasikan. Saat itu harga A320 bervariasi dari US$73,2 juta hingga US$80,6 juta.
Ada pula taksiran dari Reuters bahwa pembayaran paling sedikit untuk menjamin kecelakaan ini mencapai sekitar US$100 juta (sekitar Rp1,2 triliun).
Angka tersebut berdasarkan asumsi harga A-320 terkini yang diperkirakan mencapai US$94 juta serta taksiran kewajiban terhadap penumpang (passenger liability) diperkirakan mencapai US$27 juta untuk 162 penumpang (per orang diperkirakan US$165.000).
Allianz juga memiliki usaha asuransi di berbagai negara termasuk Indonesia melalui perusahaan asuransi jiwa PT Asuransi Allianz Life Indonesia dan perusahaan asuransi umum PT Asuransi Allianz Utama Indonesia.
AirAsia juga bekerja sama dengan PT Asuransi Dayin Mitra Tbk dan perusahaan asuransi Tune Insurance yang juga berasal dari Malaysia terkait produk asuransi perjalanan. Dalam informasi yang dirilis oleh laman Tune Insure, premi asuransi perjalanan ke Singapura dari Surabaya sekitar Rp40.000.
Sampai saat ini belum diketahui secara persis apakah 162 penumpang pesawat AirAsia QZ8501 tersebut terdaftar atau tidak sebagai pemegang polis produk asuransi perjalanan AirAsia Travel Protection. Yang pasti, uang pertanggungannya mencapai Rp750 juta.
Pada akhirnya, tentu seberapa besar pun nilai rupiah tak bisa mengganti sanak famili ataupun anggota keluarganya yang menjadi korban dari suatu musibah. Setidaknya, kompensasi tersebut diharapkan mampu mengurangi beban finansial keluarga yang ditinggalkan.
(Yodie Hardiyan/ Wan Ulfa Nur Zuhra)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel